Mahar Politik, Maya atau Nyata?

by

Kini, menjelang Pemilu 2019, isu mahar politik sudah menjadi bahan obrolan di warung kopi. Semua sudah bukan rahasia lagi.

WartaPilihan, Jakarta–Berbincang tentang mahar politik, menarik apa yang disampaikan jurnalis senior Hanibal Wijayanta di akun facebook pribadinya yang berjudul Mahar Politik. Kita seperti diajak untuk mengikuti momen-momen politik di Indonesia, dan pelan-pelan kita bisa mulai meraba-raba seperti apa petanya. Berikut kutipan lengkap dari Hanibal (ijin share ya, Han):

Saya mulai meliput kenduri politik di negeri ini sejak akhir masa Orde Baru, yakni Pemilu 1997, ketika masih menjadi Redaktur Muda di Majalah Forum Keadilan. Saat itu saya sama sekali tak pernah mendengar istilah mahar politik. Maklumlah, dengan Demokrasi Perwakilan yang diterapkan, hanya ada tiga partai yang bersaing, sementara yang dipilih hanya anggota DRPD II, DPRD I, dan DPR/MPR.

Euforia demokrasi pasca reformasi akhirnya melahirkan puluhan partai yang tumbuh bagai jamur di musim hujan. Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai. Meski sering disebut sebagai pemilu paling buruk karena banyak terjadi kecurangan, pelanggaran, kejanggalan DPT, campur tangan asing saat perhitungan suara, namun saat itu saya pun tidak pernah mendengar selentingan tentang adanya mahar politik. Mungkin karena saat itu juga masih diterapkan Demokrasi Perwakilan.

Kata mahar politik yang bermakna imbalan uang logistik atas dukungan dari sebuah partai kepada partai pendukungnya dalam pemilihan presiden, baru saya dengar selentingannya menjelang Pemilu 2004, Pemilu Langsung Pertama untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Saat itu saya sudah menjadi Redaktur Politik di Majalah Tempo. Ketika itu kursnya baru sekitar beberapa belas hingga beberapa puluh milyar. Yang menarik, reaksi beberapa tokoh politik yang saat itu saya konfirmasi tentang isu mahar politik ini, sangat beragam. Ada yang menghindar dan mengaku tidak tahu, ada yang marah, ada yang mau menyebutkan angka, tapi ada pula yang menangis sedih dan “getem-getem”.

Saat pemilu 2009, saya sudah menjadi Produser Eksekutif Liputan di ANTV. Ketika itu, isu tentang mahar politik juga rame terdengar. Tapi kali ini semua tokoh politik yang saya tanya tentang isu mahar politik tidak lagi menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tabu, top secret, atau confidensial. Semua menganggap bahwa mahar politik adalah sesuatu yang wajar. Alasannya, uang itu untuk biaya kampanye, untuk biaya penggalangan massa, untuk honor saksi-saksi ke TPS-TPS hingga seluruh pelosok Indonesia. Kursnya saat itu “baru” beberapa ratus milyar saja.

Saya mulai mengerutkan kening.

Pemilu tahun 2014 semakin membuat kita insyaf bahwa kenduri politik bernama Pemilihan Umum ini ternyata semakin mahal harganya. Isu mahar politik berseliweran di mana-mana, dan tak hanya menjelang pemilihan presiden. Argometer sudah berjalan sejak sebelum pengajuan calon, sementara pemberi mahar pun bukan lagi hanya partai politik. Sumbangan finansial dari para taipan untuk mahar politik sudah terdengar santer. Kursnya? Jangan sedih. Saat itu angkanya mulai menyentuh angka T. Dalihnya semakin jelas. “Serangan fajar masih diperlukan”, dan “Menggerakkan mesin politik perlu biaya…”

Kini, menjelang Pemilu 2019, isu mahar politik sudah menjadi bahan obrolan di warung kopi. Semua sudah bukan rahasia lagi. Kabar tentang Capres A menyiapkan uang tak berseri untuk mahar politik, sementara Capres B sedang pusing mikirin mahar untuk partai pendukung, ramai dibicarakan di mana-mana. Ada pula kabar tentang mahar politik yang diselipkan dalam lonjakan anggaran dana partai politik, dari pemerintah. Begitu pula dengan isu perang tawaran antar bowheer partai dan segala cengkuneknya. Misalnya, “Partai X minta 1,5 T dari si anu, tapi ditawari 3 T sama si ono…” atau “Si Nganu mau beli partai Z biar bisa maju nyapres…” atau soal “Si Y nyiapin mahar politik berapa belas T ke partai-partai sebelah situ agar si anu diusung jadi cawapres..” Dan masih banyak lagi.

Kening saya semakin berkerut.

Jika hanya dalam lima belas tahun saja kurs uang mahar semakin melonjak. Bagaimana dengan pemilu sepuluh atau dua puluh tahun lagi? Berapa puluh atau berapa ratus trilyun uang yang akan beredar? Bukankah hal itu berarti pemilu bukan lagi keduri politik rakyat, tapi kenduri politik para konglomerat?

Walhasil, pemilu hanya akan menumbuh suburkan para pedagang suara, makelar kursi, juga korupsi, dan kolusi antara para penguasa dengan pengusaha yang harus balik modal setelah membiayai mahar politik yang diminta. Sementara, sistem mahar politik yang salah kaprah ini pun akan menjebak dan memaksa orang-orang baik menjadi penjahat, koruptor, dan manipulator.

Sayang, hingga kini radar antikorupsi KPK masih tumpul, sehingga belum bisa mengendus peredaran mahar politik ini…

Lalu, apakah anda yakin, bahwa pemilu dan langkah politik akan bisa tetap berjalan tanpa mahar politik?

Mari kita buktikan!!

Sumber: https://m.facebook.com/edits/?cid=10216972911577065&refid=52&__tn__=-R

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *