Lumbung Padi di Merauke

by
Ketersediaan beras di UD. Penggilingan Padi Dwi Sri terletak di Semanggu, Kabupaten, Merauke, Papua. Foto: Zuhdi

Pagi itu, kami mengunjungi tempat penggilingan padi di Semanggu bersama Aksi Cepat Tanggap (ACT), untuk melihat lumbung padi yang menempati posisi kedua secara nasional seperti dikatakan Kepala Sub Divisi Regional Bulog Kabupaten Merauke, Papua Yudi Wijaya.

Wartapilihan.com, Merauke —Pukul 07.00 matahari mulai terbit di Kota Merauke, kami masih asik dengan perbincangan keindahan bumi Cenderawasih. Pesan WhatsApp (WA) dari teman saya asli Merauke bernama Akbar menanyakan rencana ke titik nol Merauke.

Malamnya, kami ceritakan rencana esok pagi ke titik nol Merauke. Sebelum bertolak kesana, kami bersama Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengunjungi salah satu penggilingan beras di daerah Semangga.

“Hayuuuk teman-teman mobil sudah siap,” seru Pak Lukman, Wakil Manajer ACT kepada para media.

Berangkat pukul 10.00 dari hotel Coreinn, kami melewati Jalan Mandala Raya. Aktifitas di sepanjang jalan pertokoan tidak seperti biasanya, karena mayoritas melakukan kebaktian di Gereja.

Menuju Semangga 3, kami melewati jalan Para Komando, tidak jauh dari Masjid Islamic Center terdapat SPBU (Stasiun Pengisian Bahan bakar Ulang). Sang pengemudi menuju ke arah SPBU dan mengisi bensinnya. Anehnya, ketika petugas mengisikan bensinnya, mobil yang kami tumpangi digerakkan ke kanan dan ke kiri.

“Ini kan bensin bukan seperti beras dan kacang, dia cair. Kenapa harus digoyang-goyang he he he,” ujar salah satu presenter dari media elektronik.

Menyusuri Jalan Para Komando, kami menuju Jalan Sutan Syahrir. Sepanjang jalan kanan dan kiri memandang, dipenuhi areal persawahan yang akan digarap para petani. Masih di Jalan Sutan Syahrir, kami melintasi Jembatan Kali Maru.

Suasana laut lepas dikelilingi bukit-bukit rimbun tampak sepanjang aliran sungai. Tidak hanya itu, dari kejauhan antara air sungai dan air rawa seperti tidak tercampur. Pemandangan itu mengingatkan kami pada ayat kauniyah yang terdapat dalam Q.S Ar-Rahman. Moment indah itu tidak dilewatkan, jarak 20 meter dari jembatan, pengemudi memberhentikan mobilnya dan mempersilakan kami mendokumentasikan keindahan Jembatan Kali Maru.

“Di (Zuhdi), fotoin Ane dong,” kata Andri. Pinta dia dari seberang jalan.

Sekitar 15 menit dari Jembatan Kali Maru, kami tiba di penggilingan padi Semangga III. Disana kami jumpa dengan Sakiman. Pria kelahiran Cilacap ini sudah menempati Semangga sejak tahun 1982. Pada tahun 1990, ia mulai merintis jasa penggilingan. Awalnya, hanya seluas 100 meter, lama kelamaan berkembang bahkan saat ini sudah mencapai 2 hektar.

Dalam sehari, Penggilingan Padi (PP) Sri Rejeki itu bisa memproduksi 20 ton gabah kering menjadi beras putih. Proses itu ia dapatkan setelah puluhan tahun bertani. “Ini awalnya milik pribadi. Lama-lama menjadi besar. Sekarang berbentuk UD (Usaha Dagang),” ujarnya.

Alasan dia menggunakan nama Sri Rejeki katanya merupakan filosofi dari kebudayaan Jawa. Dewi Sri atau Dewi Shri (Bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri (Bahasa Sunda), adalah dewi pertanian, dewi padi dan sawah, serta dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali. Pemuliaan dan pemujaan terhadapnya berlangsung sejak masa pra-Hindu dan pra-Islam di pulau Jawa. Kebanyakan kisah mengenai Dewi Sri terkait dengan mitos asal mula terciptanya tanaman padi, bahan pangan utama di kawasan ini.

“Namun permaslahan disini kompleks Mas, kemarin kendala kita di pupuk. Meskipun kita mendapatkan pupuk subsidi. Satu orang dapat jatah dua hektar, tapi disini satu orang punya empat sampai lima hektar. Sehingga produksinya lama,” keluh Sukiman.

Meski begitu, ia bersyukur tidak ada spekulan yang memainkan harga. Sebab, semua penggilingan satu pintu menjual berasnya di Badan Urusan Logistik (Bulog). Bahkan kebutuhan beras mencukupi sampai ke Tanah Merah, Asmat, Timika, dan Manokwari di luar Kabupaten Merauke.

“Saat ini kita menjual Rp 9.000 per satu kilogram. Kita juga mensuplai PT Korindo. Tahun 2017 Kepala Bulog datang kesini dan panen raya sekaligus peresmian gudang Bulog di Burig,” ceritanya.

Saat ini, terdapat 6 penggilingan di Semangga Jaya. Untuk PP Sri Dewi sendiri memiliki 12 karyawan. “Mereka kita beri upah satu hari Rp 120 ribu. Itu belum termasuk rokok, makan dan kopi,” ungkapnya.

Saat ada penggilingan beras yang akan dikirim ke Asmat oleh ACT, para pekerja lembur sampai pukul 21.00 dengan upah tambahan sebesar Rp 80.000,-.

“Merauke aman-aman saja. Kita tidak perlu impor karena disini saja stok berlebih,” tuturnya merespon kebijakan impor beras Pemerintah.

Untuk masyarakat sendiri, PP Dewi Sri memberikan prosentase 10 persen bagi masyarakat yang menggunakan jasa penggilingan. “Misalkan ada yang bawa 50 kg gabah, setelah digiling sampai menjadi padi bersih, kita mengambil 10 persen dari berasnya. Tidak dikenakan biaya lain,” tandasnya.

Hal itu dibenarkan salah satu pekerja PP Dewi Sri Sudarminto. Ia sudah 11 tahun merantau dari Bojonegoro ke Merauke. “Masyarakat yang membutuhkan (beras), kita pinjamkan dulu. Tidak dipersulit disini. Jadi miris sekali saya mendengar di Asmat sampai kelaparan bahkan gizi buruk dan meninggal dunia. Pemerintah (pusat dan daerah) seperti tidak ada (koordinasi),” ungkap Sudarminto sambil meragakan keeratan tangannya.

Bahkan, kata dia, ketika bulan November-Desember lalu PP Dewi Sri tersebut menggiling ratusan ton beras. Mengapa Asmat bisa terjadi KLB gizi buruk dan campak? Kita tunggu penelusuran selanjutnya bersama tim ACT ke Kabupaten Asmat.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *