Oleh: M Rizal Fadillah
Presiden Jokowi baru saja menandatangani Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2018 yang isinya mengatur antara lain adanya ‘bonus’ bagi pelapor korupsi mendapat uang premi maksimal sebesar Rp.200 juta. PP yang keluar di masa kampanye ini terkesan menjadi bagian dari upaya menarik dukungan publik bagi pilihan dua periodenya.
Wartapilihan.com, Jakarta —Kembali pada pola pencitraan yang didahulukan ketimbang makna substansialnya. Ada beberapa persoalan yang muncul dari PP ‘materialistik’ seperti ini, di antaranya :
Pertama, PP ini bukan peraturan organik yang diamanatkan undang-undang anti korupsi, sehingga ia seperti berjalan sendiri yang urgensinya menjadi tidak jelas;
Kedua, masalah utama dari berbagai kasus korupsi yang terjadi adalah pada penanganan baik penyelidikan maupun penyidikan, bukan pada pelaporan. Masyarakat sering mencium hal- hal yang berbau korupsi dan melaporkannya, tapi tidak ditindaklanjuti atau diproses namun tak tuntas;
Ketiga, masalah lain adalah efek jera dari pelaku maupun dampak penghukuman yang tidak menakutkan pihak lain, kita lihat koruptor masih bisa berhaha-hihi di depan media;
Keempat, pola penawaran bonus materi adalah budaya sayembara yang bersifat primitif, seolah kita berada dalam lingkung zaman kerajaan. Seperti tak mampu aparat mengendus dan membongkar kasus korupsi, seolah butuh laporan terlebih dahulu dari peristiwa misteri;
Kelima, besaran korupsi berapa yang dihitung dengan nilai ‘bonus’ Rp.200 juta. Untuk mereka yang tahu atau terlibat dalam proses perbuatan pidana ini dengan skala milyaran (bahkan trilyun) nilai Rp. 200 juta tak berarti. Bagi orang yang berpendapatan kecil tentu jarang atau sulit mengetahui peristiwa korupsi bernilai besar;
Keenam, hadiah materi untuk perbuatan tercela dari segi moral berimbas pada paradigma baru bahwa moral dapat ‘dibeli’ dengan materi dan ini menjadi pondasi dari faham pragmatisme dan materialisme. Akan tumbuh lsm-lsm pemburu hadiah;
Ketujuh, membangun karakter bangsa yang jujur, bertanggungjawab, bermoral dan heroik tak mungkin tercapai dengan cara sayembara- sayembara seperti ini. Korupsi adalah penyakit kanker yang mematikan, tidak bisa diobati dengan jampi-jampi uang ‘wani piro’;
Orang boleh setuju dan tidak pada kebijakan ini, hanya pemimpin bangsa harus menyudahi membangun pencitraan pada musim kampanye melalui kebijakan kenegaraan yang semestinya berdimensi panjang. Bukan kepentingan sesaat yang membuat orang bertanya-tanya kartu apalagi yang akan dimainkan. Kartu tidak sehat untuk negeri yang semakin sakit.