Putusan MK yang dijadikan acuan KPU dalam membuat peraturan bersifat retroaktif, hanya bisa diterapkan pada pemilu selanjutnya.
Wartapilihan.com, Jakarta — Komisi II DPR mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera mengubah Peraturan KPU (PKPU) yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan. Selain melanggar undang-undang, sejumlah peraturan KPU juga bernuansa diskriminatif dan terkesan tebang pilih.
Anggota Komisi II DPR, Firman Soebagyo menyatakan, dua peraturan KPU yang mendapat sorotan tajam Komisi II DPR adalah larangan calon anggota legislatif (caleg) eks napi koruptor dan keharusan caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengundurkan diri dari partai politik. Selain melanggar peraturan perundang-undangan, kedua peraturan tersebut juga sarat akan kepentingan dan ‘tebang pilih’ dalam menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“MK tidak melarang eks napi korupsi nyaleg, tapi KPU buat larangan. Di sisi lain, KPU meminta caleg DPD dari unsur parpol mengundurkan diri dari parpol dengan alasan putusan MK. Kok aturannya beda-beda?,” tanya Firman di Jakarta, Senin (2/10).
Ia mengatakan, seluruh fraksi di Komisi II DPR telah meminta KPU untuk mencabut kedua aturan itu. Terlebih, kata dia, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meloloskan sejumlah caleg eks napi korupsi mencalonkan diri pada pemilu 2019 nanti.
“Ini soal azas keadilan dan HAM yang dilanggar KPU. Kalau caleg eks napi korupsi mencalonkan diri, apakah mereka langsung jadi, belum tentu. Begitupun calon anggota DPD dari unsur parpol, kalau mereka tidak jadi (anggota DPD), apakah partainya masih bisa terima,” tutur Firman.
Karenanya, ia mendesak, KPU segera mencabut kedua aturan tersebut. Terlebih, putusan MK yang dijadikan acuan KPU dalam membuat peraturan bersifat retroaktif, hanya bisa diterapkan pada pemilu selanjutnya.
“Pada rapat konsultasi, Kamis (30/8) lalu, KPU tak bisa menjawab sejumlah pertanyaan anggota Komisi II DPR tentang adanya nuansa diskriminatif dan kepentingan dalam peraturan yang mereka buat. Kami mendesak, sejumlah poin itu segera direvisi agar pemilu 2019 berjalan dengan azas keadilan,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Abhan sebelumnya membantah jika pihaknya memiliki penafsiran semaunya terkait PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan UU Pemilu.
Abhan menilai, putusan Bawaslu meloloskan sejumlah caleg dari kalangan mantan narapidana korupsi sudah sesuai dengan kedua aturan tersebut.
“Kami bukan interpretasi sendiri. Coba dibaca, PKPU 20 itu di pasal 7 tidak ada syarat persoalan napi korupsi itu tak ada. Persis itu di Undang-undang (nomor) 7,” kata Abhan di Gedung Bawaslu, Jakarta, Jumat (31/8).
Menurut dia, apabila pasal 7 memuat syarat tersebut, Bawaslu bisa memahaminya. Oleh karena itu, kata Abhan, dengan tidak adanya syarat tersebut, seorang mantan narapidana korupsi bisa ikut menjadi caleg.
Ia mengatakan, PKPU tersebut hanya mengatur larangan mantan narapidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak dan narkoba dalam bentuk pakta integritas sebagaimana yang termuat pada pasal 4.
Pakta itu harus ditandatangani oleh ketua umum partai dan sekretaris jenderal partai.
Pasal 4 Ayat 3 PKPU disebutkan, dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Kemudian, dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf e diyatakan bahwa pimpinan parpol sesuai tingkatannya menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat 3.
Formulir pakta integritas itu berisi tiga poin, di antaranya jika ada pelanggaran pakta integritas, berupa adanya bakal calon yang berstatus mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi, maka bersedia dikenai sanksi administrasi pembatalan pencalonan.
“Kalau sebuah perikatan yang wanprestasi itu adalah ketum dan sekjen, hukum lah partainya, bukan calonnya. Ini kan di syarat pencalonan, bukan syarat calon,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua KPU RI Arief Budiman telah menetapkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten atau kota.
PKPU tersebut juga mengatur larangan eks koruptor berpartisipasi sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019, yang mana poin itu tertera pada Pasal 7 Ayat 1 huruf h, berbunyi “Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.”
Dengan ditetapkannya PKPU Nomor 20 Tahun 2018, ketentuan tentang larangan eks koruptor mencalonkan diri menjadi anggota legislatif sudah bisa diterapkan pada masa pendaftaran bakal caleg mendatang.
Adapun pendaftaran bakal calon anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten atau kota untuk Pemilu 2019 akan dibuka mulai 4 Juli hingga 17 Juli 2018.
Ahmad Zuhdi