Tak lama kemudian Aisyah mengabarkan kepada Khaulah, bahwa ada tanda-tanda wahyu turun pada Rasulallah SAW yaitu ketika Rasulallah berkeringat dan wajahnya menjadi merah. Aisyah berkata, itu mesti wahyu untuk urusanmu, Khaulah. Khaulah membalas, “Ya Allah, semoga wahyu yang turun untuk kebaikanku. Sebab, tak ada yang keluar dari mulut nabi-Mu ya Allah kecuali kebaikan.”
Maka, turunlah firman Allah SWT yang berbunyi:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Khaulah binti Khuwailid menjadi sebab diturunkannya surah al-Mujadilah. Pada ayat kedua dan seterusnya, Allah SWT menjelaskan kafarah (denda) bagi suami yang melecehkan istrinya. Yaitu apabila suami menyebut istri mirip dengan punggung (atau bagian lain yang merupakan aurat) dari ibunya sendiri.
Dalam ilmu fiqh, kafarah itu disebut sebagai kafarah dzihar. Dendanya adalah memerdekakan seorang budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh fakir miskin. Ketika Rasulallah SAW menjelaskan denda itu pada Khaulah dan Aus bin Shamit, Khaulah menjawab: “Ya Rasulallah, suamiku tak punya budak yang bisa dimeredekakan.”
Kalau begitu suruh dia puasa dua bulan. “Ya Rasulallah, pandangan matanya sudah mulai kabur, pendengarannya mulai terganggu tapi makan dan minumnya kuat”, Kalau begitu, suruh dia sedekah. “Ya Rasulallah, dia tak punya apa-apa yang bisa disedekahkan”. Rasulallah SAW kemudian berkata,
فَإِنَّا سَنُعِينُكِ بِعذْقٍ مِنْ تَمْرٍ
“Maka (kalau begitu) biar aku saja yang akan memberimu sekarung kurma”.
Sabar banget ya Rasulallah. Kalau kita menghadapi kasus seperti itu, paling juga kita bilang, “sudah tahu susah, bikin masalah pula.” 🙂