Oleh: M Rizal Fadillah
Hukum dibuat dengan tujuan agar masyarakat damai dan adil. Ironi tentu jika justru dengan hukum terjadi kezaliman. Semestinya perilaku zalim lah yang dihukum. Akan tetapi jika kekuasaan dan uang dominan, hukum sering tidak berdaya. Para penegak hukum yang “tertekan” oleh kekuasaan dan “tergairahkan” oleh uang sering menjadi causa dari kezaliman hukum.
Wartapilihan.com, Jakarta —Contoh sederhana adalah dalam perlakuan hukum kepada “dua A”. Ahmad Dhani dan Ahok. Kebetulan Ahok keluar, Ahmad Dhani masuk. Ahok menista agama, Ahmad Dhani menista “golongan”. Satu KUHP yang lain ITE. Dua duanya “seni” man. Politisi yang jadi “seniman”, dan seniman yang jadi politisi. Ahok “Veronica” Ahmad Dhani “Mulan Jameela”. Kini ahok sedang bahagia, Ahmad Dhani bersabar teraniaya. Dari penjara ternyata masih bisa bicara. Aksi di jalur kebenaran.
Kezaliman hukum sangat vulgar. Ahok bebas selama menjalani proses peradilan. Setelah vonis in kracht masuk penjara, tapi bukan di Lapas melainkan di Mako Brimob. Alasan pun dibuat. Sejarah bangsa tergores hitam. Terpidana di “simpan” di Mako Brimob Depok. Prosedur dan perlakuan yang tentu berbeda dengan mereka yang berada di lembaga pemasyarakatan. Masyarakat tak mampu mengontrol apa yang terjadi di “dalam” ruang khusus Mako.
Berbeda dengan Dhani yang baru vonis tingkat pertama sudah dengan perintah penahanan. Di lapas Cipinang bersama puluhan terpidana lain. Kini dipindah ke lapas Medaeng Surabaya. Maklum Dhani bukan Gubernur atau orang yang memiliki “pelindung” kuat. Ia hanya seniman yang berani berpolitik dan berpolitik dengan berani. Ia seperti kebanyakan rakyat Indonesia yang lain merasakan ada yang tak beres dalam pengelolaan negara di bawah rezim ini. Lalu ia mengkritisi. Konsekuensinya ya dibully, dipersekusi dan kini dibui.
Nampaknya seniman musik perlu menciptakan lagu “Hukum Bermata Jeli” mengingatkan betapa pilih kasihnya penegakkan aturan yang ada. Jika pro Jokowi bebas dan aman aman saja, sebaliknya jika itu pro pada Prabowo habis sudah. Celah kecil bisa diperbesar. Entah dampak ke depan siapa pemenang kompetisi. Yang jelas kini sangat kentara kezaliman hukum itu.
Wahai Doktor dan Guru Besar serta akademisi bidang hukum, dulu dibangku kuliah semua diajarkan tentang makna dan teori teori hukum yang agung. Fungsi hukum yang memberi manfaat bagi masyarakat. Keadilan bagi semua. Kini di depan kita pergaulan hukum dirusak oleh tangan tangan jahil. Ayo pertaruhkan wibawa dan martabat akademik untuk ikut terjun membenahi kezaliman hukum yang terjadi. Ahok dan Dhani hanya contoh, masih banyak warga masyarakat yang menjerit menjadi korban hukum yang “dimain-main” kan.
Hukum yang biasa kita agungkan dan banggakan dinistakan kadang oleh alumni juga. Kesadaran hukum melemah dan keadilan semakin goyah. Masih terngiang para dosen memotivasi agar selalu memperjuangkan tegaknya hukum, apapun profesi dan pekerjaan serta dimanapun.
Ketika negara masih memprioritaskan pola ekonomi “trickle down effect”–menetes ke bawah, yang prakteknya “trickle up effect”–mengayakan segelintir orang, dan politik masih menjadi panglima, maka hukum tetap bergerak merangkak. Cita cita hukum untuk menjadi sarana penataan masyarakat atau lebih jauh bisa menjadi penata politik “as a tool of political engineering” sangatlah memerlukan kepemimpinan yang kuat, bermoral dan berprinsip bahwa hukum harus menjadi panglima. Berani dan bertanggungjawab hanya kepada Tuhan Yang Esa, Maha Kuasa dan Maha Adil. Bukan pemimpin yang licik, lemah iman, dan sok kuasa.