Ketua Umum Parmusi : Pancasila Bukanlah Pedoman Hidup Umat Islam

by
Foto: istimewa

Pancasila sebagai dasar negara adalah sebuah konsensus nasional dan komitmen kebangsaan.
   
Wartapilihan.com, Jakarta — “Ijinkan Ketua Umum menegaskan kembali, Pancasila sebagai dasar negara bukanlah pedoman hidup umat Islam. Karena pedoman hidup ummat Islam adalah Al Quran dan As Sunnah, yang hanya dapat ditegakkan dengan mewajibkan umat Islam Indonesia melaksanakan syariat Islam, yang dibangun melalui tiga fondasi utama, yakni iman (aqidah), Islam (syariat), dan ihsan (akhlak),” kata Usamah Hisyam, Ketua Umum Persaudaraan Muslim Indonesia dalam pembukaan Silatnas Ulama dan Dai Perbatasan Parmusi di Masjid at Tin, TMII Jakarta Rabu dinihari (27/9).

Dalam acara yang dihadiri ratusan dai dan aktivis Islam dari berbagai daerah itu, Usamah juga menyatakan bahwa negara tidak boleh dipisahkan dari ajaran-ajaran agama. Dalam konteks Indonesia, negara tidak boleh dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin, rahmat bagi semua alam.

“Pancasila sebagai dasar negara adalah sebuah konsensus nasional komitmen kebangsaan, alat pemersatu untuk mengatur sistem ketatanegaraan di dalam penyelenggaraan negara dengan penduduk heterogen – baik suku, agama, dan ras – dari Sabang sampai Merauke, yang bernama Indonesia, di mana umat Islam menjadi golongan mayoritas bangsa,” jelasnya.

Jadi menurutnya, Pancasila adalah produk nyata toleransi umat Islam Indonesia di dalam mengatur tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara atau disebut dasar negara /ideologi negara. “Pancasila juga merupakan bukti nyata toleransi ummat Islam Indonesia di dalam menghargai dan menghormati bhineka tunggal ika yang menjadi sesanti Negara,” terangnya.

Menurut Usamah, belakangan ini ada upaya untuk membangun stigma di tengah-tengah masyarakat, bahwa ada segolongan umat Islam yang intoleran, anti bhineka tunggal ika, tidak Pancasilais, bahkan radikal. “Radikalisme cenderung diarahkan hanya terhadap kegiatan segolongan aktifis Islam yang dinilai garis keras, padahal sesungguhnya radikalisme juga tumbuh di luar golongan Islam.”

Tokoh Partai Persatuan Pembangunan ini menyatakan bahwa munculnya hal terebut akibat sejumlah elit negara gagal paham dalam menempatkan “nilai-nilai syariat Islam” dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. “Syariat Islam yang sesungguhnya merupakan ruh dari kalimat tauhid Laa ilaha Illallah: yakni sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, justru dijadikan momok bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia,”jelasnya.

Usamah mengingatkan bahwa bangsa ini pernah memasuki masa krisis sepanjang tahun 1949 di dalam melaksanakan sistem ketatanegaraan yang nyaris melumpuhkan sendi-sendi kehidupan persatuan berbangsa dan bernegara pada era Republik Indonesia Serikat (RIS). Ketika itu Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen RIS, Bapak H. Muhammad Natsir, dalam pidato di parlemen pada 3 April 1950, justru tidak setuju bila mana Irian Barat tidak dimasukkan ke dalam RIS. Beberapa bulan sebelumnya, dua tokoh pergerakan Islam, Natsir dan Haji Agus Salim menolak hasil Konferensi Meja Bundar yang berlangsung di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus sampai 2 November 1949. Bahkan Natsir menolak jabatan Menteri Penerangan, dan memilih konsentrasi sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen.

“Setelah berkeliling Indonesia untuk menyerap aspirasi rakyat, dalam pidato di parlemen, Natsir memberikan solusi bangsa dengan menawarkan terbentuknya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Solusi bangsa itu dikenal dengan istilah Mosi Integral Natsir, yang kemudian dilaksanakan oleh Presiden Republik Indonesia Bung Karno.” kata Usamah yang juga Sekretaris Nasional Gerakan Indonesia Sholat Subuh.

Dengan NKRI, menurutnya, bangsa Indonesia bisa tetap bersatu dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh sampai Irian Barat atau Papua, dengan berbagai rumpun suku, agama, dan ras. Bahkan Muhammad Natsir ditetapkan sebagai Perdana Menteri pertama di Republik ini periode 1950-1951. Atas jasanya terhadap Negara tersebut, pak Natsir ditetapkan sebagai pahlawan nasional di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008.

Dalam acara itu juga diserahkan penghargaan Parmusi Award kepada tokoh Muhammadiyah KH AR Fakhruddin (alm) dan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab, atas jasa-jasanya terhadap Islam. ||

Izzadina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *