Ketika Para Kiyai Disembelih (2)

by
Korban keganasan PKI tahun 1948 Foto:Istimewa

Dalam bukunya Ayat-ayat Yang Disembelih, Anab Afifi dan Thowaf Zuharon menuliskan ivestigasinya terhadap kekejaman PKI di berbagai kota. Menurutnya, Oktober 1945 di kota Tegal ada tokoh PKI bernama Kutil. Di Slawi, Tegal ia pernah menyembelih seluruh pejabat pemerintah di sana. “Dari namanya saja sudah menjijikkan meskipun nama aslinya adalah Sakyani. Kutil ini sangat ditakuti karena pernah memimpin pemberontakan yang gagal di Tegal dan sekitarnya pada tahun 1926, kemudian dibuang ke Digul. Namun Kutil bisa lari dari Digul setelah membunuh sipir Belanda dan mencuri kapal. Kutil juga melakukan penyembelihan besar-besaran di Brebes dan Pekalongan. ,” terang kedua wartawan ini.

Kekejian berikutnya dari kota Lebak, Banten. Di sana ada nama Ce’ Mamat, pimpinan gerombolan PI dari Lebak yang merencanakan menyusun pemerintahan model Uni Soviet. Gerombolan Ce’ Mamat berhasil menculik dan menyembelih Bupati Lebak R Hardiwinangun di Jembatan Sungai Cimancak pada 9 Desember 1945.

Di Jakarta juga kekejaman PKI terjadi. Di Jalan Oto Iskandar Dinata di selatan Kampung Melayu, tokoh nasional Oto Iskandar dihabisi secara kejam oleh Laskar Ubel-Ubel dari PKI pada Desember 1945.

Sumatra Utara, juga menyimpan banyak kisah duka. PKI pernah menumpas habis seluruh keluarga (termasuk anak kecil) Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjungpura, serta merampas seluruh harta kerajaan pada Maret 1946. Dalam peristiwa ini putra Mahkota Kerajaan Langkat, Amir Hamzah (dikenal sebagai sastrawan), ikut dibunuh. Tak ada lagi penerus kerajaan Langkat.

Di Pematang Siantar, Sumatra, PKI menunjukkan kebrutalannya. Pada 14Mei 1965, PKI melakukan aksi sepihak menguasai secara tidak sah tanah-tanah negara. Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia melakukan penanaman secaraliar di areal lahan milik Perusahaan Perkebunan Negara Karet IX Bandar Betsi.

Pembantu Letnan Dua Sudjono yang sedang ditugaskan di perkebunan itu secara kebetulan menyaksikan ulah anggota PKI tersebut. Sudjono pun memberikan peringatan agar aksi mereka dihentikan. Anggota-anggota PKI itu bukannya pergi, justru balik menyerang dan menyiksa Sudjono. Akhirnya Sudjono tewas dengan kondisi yang mengenaskan.

Kekejian PKI juga terjadi di Jawa Timur. Gubernur Jatim RM Soerjo beserta dua pengawalnya setelah pulang dari lawatan menghadap Soekarno, dicegat pemuda PKI di tengah jalan. Soerjo diseret menggunakan tali sejauh 10km hingga tewas, lalu mayatnya dicampakkan di tepi kali.
Padahal, Soerjo  dikenal sebagai pemimpin penting dalam perang melawan Belanda di Surabaya. Kini di Ngawi berdiri Monumen Gubernur Soerjo.

Di Madiun lebih mengerikan. Di sini PKI menusuk dubur banyak warga Desa Pati dan Wirosari (Madiun) dengan bamboo runcing. Lalu mayat mereka ditancapkan di tengah-tengah sawah, hingga mereka kelihatan seperti hantu pengusir burung pemakan padi. Salah seorang diantaranya wanita, ditusuk kemaluannya sampai tembus ke perut, juga ditancapkan di tengah sawah.

Di Kota Magetan, anggota-anggota PKI merentangkan tangga melintang di bibir sumur, kemudian Bupati Magetan dibaringkan di atasnya. Ketika terlentang terikat itu, algojo menggergaji badannya putus sampai dua, lalu langsung jatuh ke dalam sumur.

Di Magetan juga PKI pernah menimbun di sumur Soco Kiyai Sulaiman bersama 200 santrinya yang saat it uterus berdzikir. Kejadian itu pada September 1948.

Begitu juga yang terjadi Pabrik Gula Gorang Gareng yang genangan darahnya sampai setinggi mata kaki. Disitu Kiyai Imam Mursyid Takeran hilang tak jelas rimbanya dan baru ketemu rangka tubuhnya setelah 16 tahun. PKI diduga kuat mengadakan pesta daging bakar ulama dan santri di lumbung padi.

Kisah Isro seorang guru di Jawa Timur juga menyedihkan. Pada usia 10 tahun, pada tahun 1965, ia hanya bisa memunguti potongan-potongan tubuh ayahnya yang sudah hangus dibakar PKI di pinggir sawah untuk dimasukkan dalam kaleng.

Kekejian PKI juga terjadi di Blora. Pasukan PKI menyerang Markas Kepolisian Distrik Ngawen, Blora pada 18 September 1948. Setidaknya 20 orang anggota polisi ditahan PKI. Tujuh polisi yang masih muda dipisahkan mereka. Sementara yang lainnya dibantai atas perintah Komandan Pasukan PKI Blora. Tujuh polisi muda itu ditelanjangi dan kemudian leher mereka dijepit dengan bamboo. Dalam kondisi luka parah, tujuh polisi itu dibuang dalam jamban (WC) dalam kondisi masih hidup. Setelah itu mereka baru ditembak mati.

Sastrawan terkemuka Taufik Ismail juga mencatat kekejaman PKI ini : “Di samping lubang pembantaian yang sengaja digali, tempat penyembelihan itu praktis dilakukan di sumur-sumur tua tak terpakai, yang banyak terdapat di desa-desa itu.

Karena repot dan sibuk, di Cigrok korban dikubur hidup-hidup. Di sebuah sumur tua yang tak tertimbun penuh, terdengar suara azan dari dalamnya. Tapi Kiai Imam Sofwan dari Pesantren Kebonsari tidak tertolong.
Pesantren-pesantren menjadi sasaran utama PKI, karena itulah komunitas yang anti-Marxis-Leninis, yaitu Pesantren Takeran, Burikan, Dagung, Tegalredjo (tertua), Kebonsari, dan Immadul Falah…
Seorang ibu, Nyonya Sakidi, mendengar suaminya dibantai PKI di Soco. Dia menyusul ke sana, sambil menggendong dua anak, umur satu dan tiga tahun.

Dia nekat minta melihat jenazah suaminya. Karena repot melayaninya, PKI sekalian membantai perempuan malang itu, dimasukkan dan dikubur di sumur yang sama, sementara kedua anaknya itu menyaksikan pembunuhan ibunya.

Adik Sakidi menyelamatkan kedua keponakannya itu.  Yel-yel PKI di Madiun dalam gerakan Republik Sovyet tersebut. “Pondok bobrok, pondok bobrok! Langgar bubar, langgar bubar! Santri mati, santri mati!” yang disorakkan dengan penuh kebencian dan ancaman.”

Menebar Angin, Menuai Badai

Pada 13 Januari 1965 sekitar pukul 04.30 subuh, lebih kurang 3000 anggota massa PKI yang dipimpin Ketua Pengurus Cabang Pemuda Rakyat Kediri, Soerjadi mengadakan teror dengan melakukan penyerbuan terhadap para aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII).
Saat itu para pelajar sedang mengadakan mental training (pelatihan mental) di desa Kanigoro, Kediri, Jawa Timur. Pada kesempatan itu massa PKI melakukan pemukulan dan penganiayaan terhadap para kiyai dan imam masjid serta merusak masjid, dan bahkan menginjak-injak kitab suci al Qur’an.

Mereka melakukan penyerbuan sambil meneriakkan kata-kata antara lain: Ganyang Santri, Ganyang Masjumi, Ganyang Sorban, Ganyang Kapitalis, Ganyang Kontra Revolusi, Dulu waktu peristiwa Madiun besar kepala, kini rasakan pembalasan.

Selain ada aksi PKI di berbagai daerah,  Ketua CC PKI DN Aidit dalam apel kesiapsiagaan Dwikora tanggal 2 April 1965, antara lain mengatakan bahwa,”Manipol harus dibela dengan senjata. Manipol tidak bisa dibela hanya dengan tangan kosong. Oleh karena itu, latihan militer penting bagi orang-orang revolusioner manipolis dengan tujuan membela Manipol dengan senjata.”
Pada saat berlangsungnya peringatan HUT PKI ke-45 di Stadiun Utama Senayan Jakarta, tanggal 23 Mei 1965, Ketua CC PKI mengomandokan kepada massa PKI untuk meningkatkan “ofensif revolusioner sampai ke puncaknya.”

Pada kesempatan HUT itu terpampang poster-poster raksasa, slogan-slogan tertulis menyeramkan seperti Ganyang Tujuh Setan Desa, Ganyang Tiga Setan Kota, Ganyang Kapbir, Intensifkan Konfrontasi Dengan Malaysia, Bantu Vietnam Utara, Ganyang Kebudayaan Ngak Ngik Ngok, Sekarang Juga Bentuk Angkatan V dan lain-lain.

Selain itu juga dipajang format raksasa gambar-gambar Bung Karno, DN Aidit, Lenin, Mao Tse Tung dan Karl Marx sebagai hiasan.

Pada bulan Agustus 1965 bertempat di Rawabinong, sekitar satu kilometer dari Lubang Buaya, diselenggarakan pelatihan khusus bagi para kader yang dikirim oleh CDB PKI Jawa Barat, sejumlah 120 orang dan kader-kader BTI (Barisan Tani Indonesia) Jakarta sejumlah 80 orang. Pada awal September 1965, juga di tempat yang sama diadakan pelatihan khusus bagi kader-kader tingkat pusat sejumlah 60 orang.

Hingga akhirnya terjadilah peristiwa Gerakan 30 Sepember 1965. Dimana pasukan-pasukan PKI menculik dan membunuh perwira-perwira Angkatan Darat dengan tujuan untuk ‘mengkudeta pemerintah’.

Ternyata PKI gagal, karena para perwira Angkatan Darat cepat mengkonsolidasikan diri dan bersama rakyat –khususnya umat Islam—menangkap dan melawan PKI di berbagai daerah. Hingga akhirnya jatuh korban banyak dari PKI.  Taufik Ismail menyebut bahwa jumlah besar korban dari PKI itu akibat dari ulah PKI sendiri yang kejam dalam aksi-aksinya.

Waktu terus berjalan. Kini simpatisan PKI telah berhasil menghapuskan kewajiban pemutaran film G30S PKI yang menceritakan aksi-aksi kejam PKI. Dan justru yang beredar di kalangan pemuda kini film aksi-aksi pembunuhan terhadap PKI (seperti film The Act of Killing/Jagal 2012 yang lebih pro PKI).

Juga buku-buku kini banyak beredar di tengah masyarakat yang berusaha ‘mencuci dosa PKI’. Seolah-olah PKI adalah korban dan tidak pernah menjadi pelaku aksi kebiadaban dalam sejarah bangsa ini.

Akhirnya, Jenderal AH Nasution yang selamat dari pembunuhan PKI, dalam sambutannya di depan penguburan perwira-perwira TNI yang menjadi korban kebiadaban PKI menyatakan: “Rekan-rekan adik-adikku sekalian, saya sekarang sebagai yang tertua dalam TNI yang masih tinggal bersama yang lainnya, akan meneruskan perjuanganmu, membela kehormatan kamu.

Menghadaplah sebagai pahlawan, pahlawan dalam hati kami seluruh TNI, sebagai pahlawan menghadaplah kepada asal mula kita yang menciptakan kita, Allah Subhana Wata’ala. Karena akhirnya Dialah Panglima Kita yang Tertinggi. Dialah yang menentukan segala sesuatu, juga atas diri kita semua.

Tetapi dengan keimanan ini juga kita semua yakin bahwa yang benar akan tetap menang dan yang tidak benar akan tetap hancur. Fitnah-fitnah lebih jahat daripada pembunuhan, fitnah berkali-kali lebih jahat daripada pembunuhan.” Wallahu azizun hakim. II
Nuim Hidayat
—–
Rujukan :
Fadli Zon dan M Halwan Aliuddin, Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948, Komite Waspada Komunisme, Jakarta, 2005
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Setneg RI, Jakarta 1994
Jenderal Besar Dr AH Nasution, Peristiwa 1 Oktober 1965 Kesaksian Jenderal Besar Dr AH Nasution, Penerbit Narasi Yogyakarta, 2012
Taufik Ismail, Presiden (15/8/15) Mau Minta Maaf Kepada PKI?, republika.co.id, 12 Agustus 2015
Anab Afifi dan Thowaf Zoharon, Ayat-Ayat yang Disembelih, Penerbit Cordoba Books, Mei 2016
H Abdul Mun’im DZ, Benturan NU PKI 1948-1965, Penerbit Langgar Swadaya Nusantara, 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *