Ketika Feminis Mempolitisasi Tubuh Perempuan

by
foto:istimewa

Oleh : Dr. Henri Shalahuddin, Direktur Eksekutif Insists

 

Tubuh perempuan termasuk organ reproduksinya diyakini mempunyai kuasa tawar (bargaining power) untuk membangun tradisi baru dalam kehidupan individu, keluarga dan sosial.

Wartapilihan.com, Jakarta —Dora Russell, misalnya mengusulkan agar menjadikan tubuh perempuan sebagai alat politik untuk meraih tuntutan hak-hak perempuan. Ide pembebasan tubuh perempuan dalam menikmati kesenangan seksual adalah tema yang ditekankan berulang-ulang untuk memberi kemajuan perempuan ke arah kesetaraan dan kebebasan. Maka tugas penting feminisme modern menurut Russel adalah untuk menerima dan mempropagandakan seks. Dari sinilah muncul ide mempolitisasi tubuh perempuan untuk menguasai dunia. (lihat: The Body and Socialism: Dora Russell in the 1920s).

Shulamith Firestone dalam bukunya: The Dialectic of Sex berpendapat bahwa penyebab diskriminasi terhadap perempuan karena mereka punya organ reproduksi, sehingga mudah didominasi/dikontrol laki-laki dan dipandang lebih rendah derajatnya sepanjang sejarah.

Solusi feminis untuk melawan hegemoni dan dominasi laki-laki dalam masalah seksual terangkum dalam jargon ”MY BODY MY RIGHTS”. Tubuh perempuan adalah milik perempuan yang tidak boleh diintervensi oleh agama, negara dan laki-laki. Maka perempuan mempunyai kewenangan mutlak untuk mengelola, mengatur dan mengekspresikan tubuhnya sendiri secara bebas dan mandiri. Termasuk hak melakukan aborsi dan hak memilih melakukan atau menolak berhubungan seksual dengan suami atau orang yang dikehendaki/dipilih.

Maka mudah dipahami kenapa feminis selalu mengusung istilah “kekerasan seksual”, bukan “kejahatan seksual”? Sebab Kekerasan seksual adalah segala aktivitas seksual yang didasarkan atas ketiadaan persetujuan & kerelaan dari korban, atau karena keterpaksaan.

Dengan menggunakan istilah “kekerasan seksual” maka cakupan deliknya semakin luas, termasuk berpotensi memidanakan suami atas delik pemerkosaan terhadap istrinya; atau kepada suami yang selalu membujuk istrinya agar mau melahirkan anak. Juga termasuk tentang kebebasan perempuan melakukan aborsi, dan di sisi lain istilah kekerasan seksual berkecenderungan “melindungi” pegiat penyimpangan seksual, seperti prostitusi, LGBT, dll yg dilakukan atas dasar kerelaan/pilihan.

Maraknya kasus kebebasan seksual yang berakibat pada pemerkosaan, kehamilan di luar nikah, fenomena penyimpangan perilaku seksual, dll., adalah tragedi kemanusiaan yang seharusnya menuntut penyelesaian secara arif. Bukan malah dipolitisasi untuk menancapkan ideologi yang merusak ketahanan keluarga Indonesia. Segala bentuk kejahatan seksual adalah tindak kemungkaran dan berbasis nafsu, bukan gender. Sebab baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi pelaku atau korban kejahatan seksual. Maka memaksakan solusi hukum dan norma budaya baru yang berangkat dari pandangan hidup (worldview) asing yang kosong dari nilai-nilai spiritualitas dan keadaban adalah bentuk ANOPSIA akal gender yang tidak berkeindonesiaan. II

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *