Pada 24 April 2018, peneliti politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi bersama Edward Aspinall, Diego Fossati, dan Eve Warburton menulis artikel berjudul “Mapping the Indonesian Political Spectrum” di New Mandala. Artikel itu kemudian diterjemakan Tirto.id dan diterbitkan dengan judul “Corak Ideologi Partai-partai di Indonesia”.
Wartapilihan.com – Artikel itu memaparkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Australian National University (ANU) pada akhir Desember 2017 hingga awal Januari 2018 terhadap 508 responden yang dipilih secara acak dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di seluruh provinsi di Indonesia, kecuali Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Barat.
Untuk menganalisa ideologi parpol, peneliti meminta responden mendudukkan posisi parpol masing-masing dalam konteks sembilan pertanyaan kunci tentang ideologi. Jawaban mereka diberi skor 1-10. Rata-rata skor itu lantas dihitung guna menempatkan partai pada spektrum ideologis berdasarkan isu.
Salah satu pertanyaannya mengenai sejauh mana parpol berpijak pada Pancasila atau Islam. Skor 1 diberikan untuk Pancasila, sementara skor 10 untuk Islam. Dengan ukuran ini, partai yang paling Islami dari sudut pandang kadernya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dengan skor rata-rata 7,22. Sedangkan yang paling Pancasilais adalah PDIP dengan skor rata-rata 1,82.
Selain itu, responden menerima pertanyaan mengenai kehendak parpol agar Islam punya peran lebih kecil (skor 1) atau lebih besar (skor 10). Empat partai berbasis Islam—PKB, PAN, PKS, PPP—cenderung menginginkan Islam punya peran lebih besar. Skor rata-rata PPP sebesar 8,30, sementara PDIP sebesar 4,51.
“Kalau dibikin skala, PPP dan PKS itu paling kanan dalam isu Islam dan politik. Sedangkan yang paling kiri itu PDIP dan NasDem. PKB dan PAN lebih dekat dengan PPP dan PKS dalam isu peran Islam dalam politik,” kata Burhanuddin Muhtadi.
Kalau dibikin skala, PPP dan PKS itu paling kanan dalam isu Islam dan politik. Sedangkan yang paling kiri itu PDIP dan NasDem. PKB dan PAN lebih dekat dengan PPP dan PKS dalam isu peran Islam dalam politik.
Dalam wawancaranya dengan Tirto.id, Burhanuddin menjelaskan bahwa dalam menempatkan parpolnya Islami atau Pancasilais, PPP (skor 7,22) yang paling kanan disusul PKS (skor 5,53) agak sedikit ke tengah, kemudian PKB (skor 4,68) dan PAN (skor 4,67). Yang paling Pancasilais menurut anggota DPRD adalah PDIP (skor 1,82), kemudian NasDem (skor 2,09).
Penelitian ini menggunakan responden para elit partai, pada akhir 2017 dan awal 2018. Survai ini dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan Australian National University (ANU). Mereka melakukan survei terhadap 508 responden yang dipilih secara acak dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Responden-respondennya dipilih dari anggota legislatif yang berasal dari 31 provinsi di Indonesia (tiga provinsi lainnya, Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Sulawesi Barat tak lolos sebagai sampel), dengan pertimbangan bahwa mereka mewakili keseluruhan populasi nasional anggota DPRD provinsi. Survei ini meliputi sejumlah besar isu, termasuk penyikapan para legislator terhadap demokrasi, pandangan keagamaan, latar belakang keluarga dan profesi, serta apa yang mereka pikirkan tentang isu-isu politik utama saat itu.
Mereka menanyakan kepada responden misalnya tentang sejauh mana partai mereka berpijak pada Pancasila—ideologi resmi negara yang menyiratkan posisi pluralis. Skor 1 diberikan untuk Pancasila, sementara skor 10 untuk Islam. Dengan ukuran ini, partai yang paling Islami dari sudut pandang kadernya adalah Partai Persatuan Pembangunan(PPP), dengan skor rata-rata 7,22. Sedangkan yang paling Pancasilais adalah PDI-P dengan skor rata-rata 1,82.
Dua partai dengan posisi saling berkebalikan ini dipisahkan oleh jurang skor yang cukup signifikan: 5,4. Jika dua partai ini tidak dihitung, jarak skor antara partai-partai yang mengambil sikap berbeda ini pun masih cukup besar, yakni 3,4. Posisi rata-rata semua partai (3,27) lebih condong ke Pancasila daripada Islam.
Soal apakah mereka menginginkan peran politik yang lebih besar atau kecil untuk Islam, empat partai berbasis Islam bertemu dalam satu kluster yang condong ke sebelah kanan spektrum. PDI-P dan Partai Nasdem adalah satu-satunya partai yang rata-rata anggotanya sepakat menginginkan peran yang lebih sedikit untuk Islam. Sementara itu, empat partai lainnya bertemu di sebelah kanan tengah. Dalam skala sebelumnya tentang Pancasila vs. Islam, sebaran posisi partai-partai ini jauh lebih luas.
Islam dan Pancasila
Kesalahan mendasar penelitian Burhanuddin Muhtadi dan kawan-kawannya ini adalah mempertentangkan Islam dan Pancasila. Seolah-olah mereka yang fanatic terhadap Islam kurang Pancasilais dan begitu pula sebaliknya.
Harusnya Muhtadi mempertentangkan Islam dan sekulerisme. Bukan Islam dengan Pancasila. Karena Islam dan Pancasila tidak ada pertentangan. Bahkan tokoh-tokoh Masyumi setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, menyatakan bahwa Pancasila adalah bagian (kecil) dari Islam. Ulama besar Hamka menyatakan bahwa sila pertama Pancasila adalah tauhid. Begitu pula sikap ulama Nahdhatul Ulama terhadap Pancasila. Mereka menyatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. (Baca https://www.wartapilihan.com/18-agustus-dan-polemik-dasar-negara-ri/)
Sikap Muhtadi mempertentangkan Islam dengan Pancasila menunjukkan adanya bias dalam penelitian ini. Dan ini membuat opini partai-partai Islam –khususnya PKS dan PPP- seolah-olah tidak atau kurang Pancasilais, anti keragaman dan seterusnya.
Dan penelitian ini bila ditelaah lebih jauh mengandung konsekwensi yang ruwet juga. Misalnya partai yang paling Pancasilais kenapa kok banyak yang korupsi atau menyelewengkan uang negara dan seterusnya.
Termasuk kenapa yang paling Pancasilais kok dalam sejarahnya banyak menentang Undang-Undang yang merupakan aspirasi umat Islam. Mulai dari UU Perkawinan, UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, Revisi KUHP dan seterusnya.
Jadi yang tepat seharusnya penelitian itu mempertentangkan antara Islam dan sekulerisme. Sejauh mana sikap partai Islam dan sejauh mana sikap partai sekuler.
Tapi bila penelitian ini menggunakan kerangka itu, maka tidak menjual untuk masyarakat Indonesia. Dengan mempertentangkan Islam dan Pancasila, maka penelitian ini memudahkan penggalangan dana dan kepentingan nilai Barat masuk di sana. Lihat tuh, partai yang Islam dan partai yang Pancasilais.
Para peneliti memang tidak lepas dari ideologinya. II
Nuim Hidayat Dachli