Kecil-kecil Punya Karya

by
Fatih Madini. Foto: Pesantren Shoul Lin Al Islami/Facebook.

Menurut Undang-undang, anak merupakan pihak yang berusia 0 hingga 18 tahun. Tetapi ada yang beda di Pondok Pesantren At-Taqwa Depok, dimana pada usia baligh sejak 13 tahun, anak sudah dididik menjadi mandiri, khususnya mandiri secara pemikiran.

Wartapilihan.com, Depok — Namanya Fatih Madini. Siswa Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilizations (PRISTAC) berusia 16 tahun itu duduk di bangku pembicara, bersama dua Ustadz lainnya, yaitu Ustadz Adian Husaini yang merupakan ayah sekaligus gurunya, dan Ustadz Ardiyansyah yang getol menemaninya dalam proses pendidikan.

Hari itu adalah hari yang istimewa baginya karena buku pertama hasil rangkaian kata-katanya diluncurkan. Buku yang berjudul ‘Mewujudkan Insan dan Peradaban Mulia: Catatan Pemikiran Santri Milenial’ tersebut berisi tentang pemikiran dirinya dan rangkuman nasihat para guru. Dengan baju koko putih, ia berbicara di depan khalayak, yaitu teman-teman, orang tua murid, dan tentunya di depan para gurunya.

Tak ada sirat malu ataupun keraguan dalam berbicara di depan publik itu. Ketika namanya dipanggil oleh pembawa acara, di dalam surau sebuah Pesantren yang terletak di wilayah Cilodong Depok, suara mikrofon menggema. Di antara surau yang padat oleh para santri itu, ia jelaskan mengapa bisa melakukannya.

Pada Selasa, (23/10/2018), Warta Pilihan berkesempatan duduk bersama untuk berbincang dengan Fatih Madini yang akrab disapa Imad, di pesantren At-Taqwa, Cilodong, Depok, untuk menggali soal motivasi ia menulis dan impian-impiannya.

1. Bagaimana awalnya motivasi Imad menulis buku ini?

Motivasi untuk menulis ada dua figur yg jadi inspirasi yaitu Abah saya (Dr. Adian Husaini). Ketika itu saya lihat karya beliau begitu banyak. Dari tahun 90-an dan sampai sekarang menulis tentang pendidikan Islam sudah begitu banyak.

Saya jadi berpikir, masa saya anaknya enggak bisa. Kakak kedua saya, waktu itu saya buka blog dia. Ketika saya buka saya sangat takjub dengan apa yang beliau tulis. Itu hanya yang dimasukkan di blog, mungkin masih banyak (yang tidak dipublikasikan). Dia menulis tentang sejarah, kitab, akidah, dan lain sebagainya.

Oh, kakak saya bisa masa saya enggak bisa, harusnya saya contoh. Saya buat satu hal yang bisa dikenang dan dibanggakan oleh orang lain. Jadi, sekarang semangat menulis. Bukan karena kontennya maka jadi mau menulis, tetapi ketika saya paham bahwa manusia tidak akan bisa dikenang kecuali melalui karyanya. Makanya saya perlu untuk mengikuti mereka.

2. Saat ini kan sering ada sebutan Generasi Milenial, apakah Imad merasa termasuk bagian tersebut?

Saya kurang suka gaya itu (millenial) saya kurang banyak dengar kosakata ‘alay’. Saya kalo denger saya lebih sering diajak Abah kajian, saya juga ikut beberapa kali seminar tentang pemikiran. Jadi saya jarang mendengar percakapan anak muda, saya lebih mendengar Ustadz Henri, Ustadz Syam, dan lainnya.

Bahasa yang saya gunakan tidak berat, tidak merombak bahasa saya jadi bahasa yang tinggi. Makanya ada pengurus Hidayatullah yang bilang bahwa sebetulnya tulisan saya ini bisa menurunkan umur pembaca. Anak muda bisa kok baca, kalau bisa dikembangkan.

3. Tipe buku apa yang disukai Imad? Sudah berapa banyak membaca buku?

Kurang suka novel, baru satu novel yg Kemi saya baca full. Tere Liye katanya seru saya baru sampe halaman berapa saya enggak suka. Novel yang ditulis Buya Hamka juga sedikit, saya lebih suka buku genre tentang pemikiran. Dalam satu bulan berapa kali belum terlalu banyak, satu bulan satu buku, kadang dua buku. Buku yg sering saya baca buku Abah sendiri, tentang Habibie, Gusdur dan sebagainya.

4. Bagaimana menurut Imad dalam meng-counter pemikiran liberal seperti Afi Nihaya Faradisa?

Syaratnya kita harus memahami pemikiran kontemporer ini, di SMA (PRISTAC) sudah dikenalkan sekularisme karena itulah yg sedang terjadi. Tidak bisa seorang Afi tiba-tiba kita kalahkan dg pedang, tapi dengan tulisan. Dulu pernah sekali waktu dia nulis tentang “Warisan” yang sangat fenomenal.

Saya disuruh guru untuk mencoba buat satu kritikan, dan mengoreksi kata-kata dia (Afi), udah saya tulis tapi belum dipublikasikan. Belum boleh posting di media sosial.

5. Bagaimana caranya agar rajin menulis?

Pertama, sadar aja bahwa di negara ini penulis sangat dibutuhkan untuk Islam sendiri. Kedua, banyak membaca tentang buku apapun itu asal bukunya baik karena nanti akan dituangkan menjadi tulisan. Coba banyak dengarkan suatu yang baik, nasihat yang baik, meski 15 tahun membahas liberalisme tapi enggak masalah sehingga ada kosakata baru yang ingin ditulis dengan lebih baik.

Jujur dari dulu sampe sekarang belum pernah nulis diary sedikit pun. Saya pernah waktu itu sendiri tapi bukan diary suatu hal yang lebih dari itu.

6. Apakah Imad banyak diajarkan oleh Abah (Dr. Adian Husaini) sehingga bisa menulis?

Abah orangnya jarang di rumah. Abah nggak ngajarin, saya baca buku-bukunya saja. Saya pelajari bagaimana bahasa menulisnya, cara mengutip, dan sebagainya.

Yang diberikan Abah pendidikan tersirat bukan yang jelas, kadang menjelaskan tapi lebih sering belajar sendiri. Saya juga belajar dari cara beliau berperilaku di rumah, dari cara beliau menyampaikan. Beliau bagi saya adalah sosok yang sangat hebat, berkat beliau bisa seperti ini.

7. Imad punya impian kuliah di mana setelah lulus SMA?

Karena Abah suka bilang bahwa di berbagai perguruan tinggi itu ‘begitu’, jadi saya nggak begitu tertarik untuk kuliah di PTN. Keinginan kuliah di ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) tapi sekarang sudah nggak ada, paling kuliah nunggu di kampus INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations).

 

Eveline Ramadhini dan Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *