Untuk memuluskan kepentingan investasi asing, pemerintah Presiden Joko Widodo terus-menerus mengorbankan kepentingan buruh lokal. Ini membuat kehidupan perburuhan menjadi makin suram.
Wartapilihan.com, Jakarta – Pemerintah terus merilis berbagai aturan yang menyerahkan kesempatan kerja di dalam negeri kepada buruh asing, termasuk untuk pekerjaan-pekerjaan kasar. Selain itu, pemerintah juga selalu menyangkal dan menutup mata atas membanjirnya buruh kasar asal Cina di Indonesia. Ini membuat kehidupan perburuhan menjadi suram. Celakanya, alih-alih melakukan penegakkan hukum yang tegas dan ketat, pemerintah justru kian melonggarkan aturan tentang tenaga kerja asing.
“Tiga tahun lalu, misalnya, melalui Permenakertrans No. 16/2015, pemerintahan telah menghapuskan kewajiban memiliki kemampuan berbahasa Indonesia bagi para pekerja asing. Belum ada setahun, peraturan itu kembali diubah menjadi Permenakertrans No. 35/2015,” kata Fadli Zon di Jakarta, Selasa (1/5).
Jika sebelumnya ada ketentuan bahwa setiap satu orang tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh perusahaan harus dibarengi dengan kewajiban merekrut 10 orang tenaga kerja lokal, maka dalam Permenakertrans No. 35/2015, ketentuan itu tidak ada lagi.
“Itu bukan regulasi terakhir yang merugikan kepentingan kaum buruh kita. Bulan lalu, tanpa kajian seksama atau melalui proses konsultasi yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, pemerintah justru meluncurkan Perpres No. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing,” jelasnya.
Menurutnya, Perpres No. 20/2018, secara gegabah telah menghapus ketentuan mengenai IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing). Meskipun Perpres masih mempertahankan ketentuan tentang RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing), namun karena tak ada lagi IMTA, maka tidak ada lagi proses ‘screening’ atau verifikasi terhadap kebutuhan riil tenaga kerja asing.
“Dengan kata lain, semua RPTKA ke depannya otomatis disetujui, apalagi kini seluruh prosesnya dipersingkat tinggal dua hari saja. Menurut saya, kebijakan ini sangat ceroboh dan berbahaya, selain tentu saja melanggar ketentuan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan,” papar Wakil Ketua DPR itu.
Masih terkait izin, sesudah menghapus IMTA, Perpres No. 20/2018 juga membuat perkecualian mengenai kewajiban membuat RPTKA. Pada Pasal 10 ayat 1a, disebutkan bahwa pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau komisaris tidak diwajibkan memiliki RPTKA. Ketentuan ini juga menyalahi UU No. 13/2003 , yaitu Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 43 ayat 1. Sebab, seharusnya perkecualian bagi jabatan komisaris dan direksi untuk orang asing hanyalah dalam hal penunjukkan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping dan pelatihan pendidikan saja, bukan kewajiban atas RPTKA-nya.
“Saya menilai kebijakan ketenagakerjaan yang disusun oleh pemerintahan saat ini kacau balau. Hanya demi mendatangkan dan menyenangkan investor, banyak aturan dilabrak,” ungkap Fadli.
“Klaim bahwa Perpres No. 20/2018 ini disusun untuk melindungi tenaga profesional kita, menurut saya juga omong kosong. Coba baca Pasal 6 ayat 1, di mana diatur bahwa seorang tenaga kerja asing boleh menduduki jabatan yang sama di beberapa perusahaan. Ketentuan semacam ini kan berpotensi menutup kesempatan tenaga profesional kita. Lalu di mana perlindungannya?,” tanyanya.
Terlebih, kata Fadli, Perpres No. 20/2018 mengabaikan kewajiban sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Sesuai dengan Pasal 18 UU No. 13/2003, dan PP No. 23/2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), yang merupakan turunannya, setiap tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia seharusnya memiliki sertifikasi kompetensi yang diakui oleh BNSP. Namun, jika proses perizinan harus keluar dalam dua hari, apa mungkin verifikasi bisa dilakukan?
“Maka jangan heran jika kemudian ada tenaga kerja asing asal Cina yang dalam RPTKA-nya disebut sebagai insinyur, tapi dalam kenyataannya ternyata hanyalah seorang juru masak. Kasus semacam ini sudah banyak ditemukan. Selain karena lemahnya pengawasan, kasus-kasus semacam itu bisa terjadi karena ada malpraktik dalam kebijakan perburuhan,” terangnya.
“Kondisi ini sangat memprihatinkan. Apalagi dari sisi kesejahteraan upah minimum buruh kita merupakan yang terendah keempat di ASEAN. Kita hanya unggul atas Myanmar, Laos dan Kamboja,” sesalnya.
Menurut catatan pemerintah, ada lebih dari 230 ribu perusahaan di Indonesia. Jika tiap-tiap perusahaan memiliki serikat buruh, seharusnya jumlah serikat buruh cukup banyak. Namun nyatanya, dalam 10 tahun terakhir jumlah serikat buruh Indonesia malah anjlok hingga 50 persen. Pada tahun 2007 jumlah serikat buruh masih berada di angka 14.000. Namun, pada 2017 jumlahnya tinggal 7.000 saja. Ke mana sisanya?
Ia khawatir, meski pemerintah selalu mengklaim kondisi perburuhan kita dalam keadaan baik-baik saja, namun kenyataannya tidaklah demikian. Menurut data BKPM, jumlah lapangan kerja di Indonesia memang mengalami penyusutan dalam 10 tahun terakhir. Pada 2010, misalnya, setiap investasi sebesar Rp1 triliun masih bisa menyerap tenaga kerja hingga 5.015 orang. Namun di tahun 2016, rasio tersebut tinggal 2.272 orang saja per Rp1 triliun nilai investasi.
“Itu sebabnya kita harus kritis terhadap turunnya angka pengangguran yang sering diklaim pemerintah. Di atas kertas, persentase jumlah pengangguran dilaporkan menurun, tetapi sebagian besar angkatan kerja itu tak lagi bekerja di sektor formal, melainkan telah terlempar menjadi pekerja di sektor informal,” sambung Fadli.
Itu sebabnya, ia menyimpulkan kehidupan perburuhan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sejauh ini semakin suram. Dan kebijakan atas tenaga kerja asing kian memperburuk semua itu.
Fadli membaca pernyataan pendukung pemerintah yang menyebut banjirnya tenaga kerja asing saat ini merupakan efek kebijakan pemerintah Orde Baru atau presiden di masa lalu. Menurut saya apologi itu sangat tak cerdas. Seharusnya dia baca buku dan berbicara dengan data.
Dia menyebut APEC dan lain sebagainya, padahal sesudah KTT APEC di Bogor tahun 1994, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia justru turun, meskipun pertumbuhan ekonomi kita waktu itu rata-rata berada di angka 7 hingga 8 persen per tahun. Tahun 1995, misalnya, jumlah tenaga kerja asing 57,2 ribu. Angka itu turun menjadi 48,7 ribu pada 1996, dan turun kembali menjadi 37,2 ribu pada 1997. Itu dari sisi data jumlah tenaga kerja asing.
“Sekarang, dari sisi akal sehat. Jika pemerintahan saat ini tak setuju kebijakan masa lalu, lalu kenapa tidak koreksi? Bukankah itu alasan kenapa demokrasi mendesain diadakannya Pemilu secara berkala, yaitu supaya kita bisa mengkoreksi pemerintahan di masa sebelumnya secara periodik?,” tandasnya.
Nyatanya, bukan di masa Presiden Soeharto terbit Permenakertrans No. 16/2015, atau Permenakertrans No. 35/2015, ataupun Perpres No. 20/2018, yang kesemuanya menyisihkan kepentingan kaum buruh lokal. Semua kebijakan tadi terbit di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Saya mendukung Perpres No. 18/2018 dicabut begitu juga aturan-aturan lain yang mengkhianati buruh dan menghambat kesempatan buruh lokal sejahtera,” tutupnya.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri didampingi oleh Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Eko Sulistyo menerima para buruh yang mewakili berbagai elemen dan organisasi buruh dan pekerja yang merayakan Hari Buruh atau May Day, 1 Mei 2018, di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan Republik Indonesia.
Berbagai organ dan kelompok pekerja hari ini merayakan Hari Buruh di sekitar Lapangan Monumen Nasional dan jalan-jalan seputar Istana Kepresidenan. Di antaranya Gabungan Serikat Pekerja Manufaktur Independen Indonesia (GSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Federasi Serikat Pekerja Aneka Sektor Indonesia (FSPASI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK), pegawai PT Pos Indonesia, komunitas pekerja transportasi daring, organisasi pekerja media, dan masih banyak lagi. Puluhan ribu buruh tumpah di kawasan tersebut. Setelah dari situ, para buruh akan menuju ke Senayan, Jakarta.
Ketua Umum Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia Rieke Dyah Pitaloka membacakan lima maklumat pekerja untuk disampaikan kepada Presiden Jokowi. Pertama, mendesak terbentuknya badan riset nasional tentang cetak biru industri di Indonesia.
“Kedua, mewujudkan upah yang layak dan perlindungan terhadap tenaga kerja. Ketiga, meminta Menaker lebih ketat dalam membuat aturan tentang tenaga kerja asing. Keempat, menurunkan komite pengawas tenaga kerja. Dan kelima, mengangkat para tenaga honorer yang telah bekerja bertahun-tahun untuk menjadi pegawai negeri sipil,” katanya di Jakarta, Selasa (1/5).
Mereka juga memberi mandat kepada Presiden Jokowi untuk menyelamatkan aset negara dan mengelola BUMN sesuai dengan mandat konstitusi yakni untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Hanif Dhakiri menyampaikan ucapan terima kasih kepada para pekerja atas kontribusinya dalam pembangunan nasional dan akan meneruskan lima butir tuntutan kepada Presiden. “Kami berencana untuk membentuk satuan tugas yang bertanggung jawab mengawasi penggunaan tenaga kerja asing di wilayah Republik Indonesia,” ujar Hanif.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko bersama Menaker Hanif Dhakiri juga menerima perwakilan organisasi buruh, antara lain Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) yang dipimpin oleh Presiden KSBSI Mudhofir Khamid dan KSPSI yang dipimpin Almansyur DD dan Hermanto.
Pada kesempatan itu, Mudhofir mengatakan, pihaknya melihat tidak ada yang salah dari Perpres No 20/2018. “Itu melindungi tenaga kerja Indonesia. Hanya saja, waktunya tidak tepat karena bersamaan dengan tahun politik,” tuturnya.
Perpres itu kemudian menimbulkan persepsi yang berbeda-beda dan dimanfaatkan oleh berbagai kelompok. Sementara Hermanto meminta supaya Pemerintah mengeluarkan aturan yang pro buruh.
Moeldoko menjelaskan bahwa kebijakan pembangunan yang dijalankan Pemerintah berfokus untuk pembangunan sumber daya manusia, termasuk pekerja. Tujuannya untuk mengatasi kesenjangan. Ia menambahkan bahwa Pemerintah telah mendorong program vokasi supaya tenaga kerja Indonesia kita lebih kuat di keterampilan, terutama di era teknologi dan digitalisasi seperti sekarang ini.
“Jangan bilang konon, saya dengar. Tolong dibaca dengan baik Perpres itu spiritnya melindungi pekerja Indonesia,” katanya.
Ahmad Zuhdi