Oleh: Budi Handrianto
Saya pernah menulis buku berjudul Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, sekitar tahun 2003 ketika sedang marak-maraknya pernikahan beda agama di kalangan artis dan selebritis. Setelah beberapa tahun buku itu terbit, bahkan saya sudah lupa tahun berapa, saya diundang seminar oleh HMI Jakarta membahas buku tersebut. Rupanya saya dipanel dengan artis Betawi senior Nazar Amir dan seorang pelaku nikah beda agama (NBA) yang -katanya sudah mualaf (waktu itu).
Pak Nazar Amir bicara keras sekali. NBA atau waktu itu lebih dikenal dengan istilah Kawin Campur, menurutnya modus operandi mengkristenkan orang Islam. Selain tidak setuju, Pak Nazar meminta agar praktek NBA dihentikan, sembari menunjukkan bahwa buku itu penting untuk pasangan pra-nikah agar tahu NBA itu haram. Panitia -dalam hal ini MC-nya pun tidak kalah kerasnya bicara. NBA adalah sesat dan menyesatkan.
Namun saya agak curiga. Tokoh satunya lagi kok sepertinya salah tingkah. Asal tahu saja, pembicara satunya ini saya tulis di buku saya sebagai contoh pernikahan yang haram dan tidak sah karena mempelai wanitanya seorang muslimah (berkerudung pula). Lalu saya bisik-bisik ke dia, “Mas, apa benar mas sudah mualaf?” Dan yang mengagetkan saya, ternyata dia belum mualaf! Dia bilang dirinya masih beragama Katholik dan istrinya pun masih muslimah. Saya pastikan sekali lagi, dan dia tekankan bahwa dia agamanya Katholik. Wah, panitia salah panggil orang nih. Panitia berpikir orang ini sudah mualaf sehingga bisa diminta testimoninya. Si mas ini mungkin juga berpikir bahwa seminar ini untuk mendukung praktek NBA jadi dia pun datang.
Saya minta break dan dekati MC. Saya beritahu tahu narasumber yang panitia undang bukan mualaf, tapi masih Katholik. MC pun kaget. Ini tidak sesuai dengan setting acara. Niatnya ingin “menghabisi” NBA ternyata yang hadir salah satu pelakunya. Nggak etis lah. Ketika saya sampaikan hal ini saat kesempatan saya bicara, jamaah pun kaget, bingung dan suasana jadi canggung.
Akhirnya, untuk menormalisasi suasana, saya tidak jadi bicara soal buku yang saya tulis. Tapi saya minta mas ini untuk menceritakan perjalanannya melakukan NBA hingga bisa terjadi. Mulailah dia cerita. Awalnya dia pacaran dengan muslimah ini. Ternyata setelah hubungannya serius mereka bingung karena tahu NBA tidak boleh di negara ini. Lalu mereka mendengar ada tokoh Islam yang katanya membolehkan NBA. Mereka berdua pun datang kepada sang tokoh ini dan mengutarakan maksudnya. Ujungnya mereka minta dinikahkan.
Ternyata, tokoh ini tidak mau menikahkan pasangan beda agama ini tapi menyuruh mereka berdua untuk pergi ke Cirebon menemui seorang kiai di sebuah pesantren. Mereka pun ke sana. Di depan kiai ini mereka pun dinikahkan. Namun, kata si mas, sebelum mengucapkan akad nikah dia disuruh membaca sesuatu dalam bahasa Arab dengan mengikuti omongan kiai tersebut yang dia tidak mengerti artinya. Setelah “menikah” merekapun pulang ke Jakarta.
Saya menduga, mas ini disuruh baca syahadat sehingga secara fikih pernikahannya sah. Si kiai bisa berkilah bahwa yang dia nikahkan bukan pasangan beda agama karena yang pria sudah syahadat. Tapi pertanyaannya, mengapa pria non-muslim ini tidak diberitahu bahwa ucapan itu merupakan tanda dia menjadi Islam? Sekali lagi saya pastikan ke mas ini, setelah pulang dari sana, apakah dia menjadi muslim? Jawabnya, karena merasa tidak ada apa-apa ya dia tetap Katholik dan masih rutin, sampai saat itu, pergi ke gereja.
Saya tidak tahu motivasi kedua tokoh Islam ini baik yang di Jakarta maupun di Cirebon. Yang di Jakarta kalau keyakinan dia NBA itu boleh, mengapa tidak sekalian saja mereka dinikahkan. Mengapa menyuruh orang lain yang menikahkannya? Kiai yang di Cirebon juga mengapa tidak terus terang saja jika sebenarnya pengantin pria harus muslim dan untuk itu dia harus bersyahadat. Sekali lagi, itu kalau dugaan saya benar kata-kata yang dia ucapkan itu adalah kalimat syahadat.
Karena sudah kepalang tanggung, di akhir acara seminar yang bisa saya sampaikan hanya mengajak mas ini untuk masuk Islam atau belajar Islam dulu agar yakin Islam adalah ajaran agama yang benar. Semoga sekarang beliaunya sudah muslim.
Beberapa minggu ini NBA atau kawin campur kembali marak. Masyarakat padahal tahu kawin campur itu haram. Istilah agamanya ma’lumun minaddin bidh-dharuri. Artinya sesuatu yang sudah umum atau jamak diketahui orang. Tapi mengapa ada tokoh agama (Islam) yang bergenit-genit membolehkan NBA walaupun kalau “dijabanin” ternyata tidak berani menikahkannya. Beberapa tahun kemudian, ada juga tokoh Islam lain yang setuju dengan NBA, tapi ketika anaknya sendiri (muslimah) menikah dengan orang Yahudi, ia pun syok. Sungguhpun begitu ada juga cendekiawan muslim yang kerjanya menjadi penghulu swasta yang menikahkan pasangan NBA terutama di kalangan artis.
Dulu saat natal atau lebaran, pasangan kawin campur sering pamer kemesraan dan kebahagiaan di acara-acara televisi atau media cetak. Misal ketika natal, suami menghadiahkan pohon natal, lalu istri yang non-muslim menghadiahkan sajadah dan ditaruh di bawah pohon natal. Sepertinya para fans pun jadi percaya bahwa pasangan kawin campur itu bahagia. Padahal jika mereka terus mengikuti “gosip” artis, beberapa pasangan “bahagia” itupun akhirnya bercerai. Mungkin ketika perasaan cinta sedang berkecamuk di dalam dada, perasaan lain -termasuk keimanan, ketaatan pada orang tua atau tatanan masyarakat, tidak dihiraukannya.
Kawin campur dalam ajaran Islam hukumnya haram. Baik mempelai pria yang muslim apalagi kafir. Perkawinan campur antara pria non-muslim dengan wanita muslimah mutlak haramnya, baik pria non-muslim itu ahli kitab (Yahudi/Nasrani) atau musyrik. Dalilnya jelas dalam al-Quran QS al-Baqarah ayat 221 dan QS al-Mumtahanah: 10. Kawin campur antara pria muslim dengan wanita musyrik di luar ahli kita juga mutlak haram. Contohnya, seorang pria muslim menikahi wanita Hindu, Budha, Konghuchu, penganut atheis, agnostik, bairawa tantra, dharmogadul gatholoco, dsb. Perkawinan campur seperti ini tidak sah dan hukumnya haram. Dalilnya pada QS al-Baqarah: 221.
Mengenai perkawinan campur antara pria muslim dengan wanita ahli kitab (Yahudi/Nasrani) memang ada perbedaan pendapat. Hukum asalnya boleh. Namun kalau ada kemudharatannya bisa dilarang. MUI telah mengeluarkan fatwa Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama yang isinya (1) Perkawinan Beda Agama adalah haram dan tidak sah (2) Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Kalau seorang muslim yang masih ada imannya melakukan perbuatan yang melanggar agama, pasti hatinya tidak tenang. Seorang koruptor ketika ada sidak atau audit, pasti panik karena dia melanggar aturan. Jika dia santai-santai saja dan malah senang, tentu dia sakit. Sakit jiwa maksudnya. Demikian pula pelaku kawin campur. Karena Islam telah melarangnya, berarti ketika ia menjalaninya hatinya tidak tenang dan -tentu, tidak bahagia. Sekali lagi, kalau dalam dirinya masih ada iman. Tapi kalau keimanan sudah menjadi suatu yang tidak penting lagi baginya, tentu dia cuek saja. Ketiadaan iman akan menghilangkan rasa malu karena malu adalah sebagian dari iman (HR Muslim). Dan sabda Nabi saw, “Jika kamu tidak punya rasa malu, lakukanlah apa yang kamu suka.” (HR Bukhari) Jika seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa menghiraukan aturan dan norma agama, berarti dia tidak punya rasa malu dan telah kehilangan sebagian imannya.
Maka, penjelasan rasionalnya, dengan keterangan di atas tidak mungkin pelaku kawin beda agama itu mendapatkan kebahagiaan sejati di dalam rumah tangganya. Kebahagiaan semu mungkin iya. Lalu penjelasan empirisnya, banyak pasangan kawin beda agama beberapa tahun kemudian, kalau masing-masing mempertahankan agamanya, berakhir dengan perceraian. Jika salah satu tidak pindah agama mengikuti pasangannya, perkawinan beda agama yang langgeng sampai akhir biasanya dilakukan oleh orang yang tidak peduli dengan agama. Jika di dunia saja tidak mungkin mendapatkan kebahagiaan sejati, apatah lagi di akhirat kelak.
Maka, pantaslah dikatakan, ”Kawin campur bikin hidup pelakunya tersungkur.” Bagaimana kalau sudah terlanjur? Bertaubatlah, lalu ajak pasangannya masuk Islam. Insya Allah kesalahan masa lalu akan terhapus dengan taubat dan menjadi perantara datangnya hidayah bagi pasangannya.