Tak perlu menunggu tahun 2030 seperti yang dikatakan Prabowo pada pidatonya sambil menunjukkan Novel ‘The Ghost Fleet’, Indonesia bisa dibubarkan kapan saja.
Wartapilihan.com, Jakarta –Hal itu disampaikan oleh Mahfud MD, mantan Menteri Pertahanan sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tahun 2008 hingga 2013 ini. Ia mengatakan, dalam fakta sejarah, Indonesia selalu terancam oleh pembubaran oleh gerakan separatisme, misalnya Timor Timur, Papua dan juga Aceh.
“Di berbagai belahan Indonesia, fakta sejarah kita menyatakan sejak dahulu memang sudah ada upaya gerakan separatisme ini,” tutur dia, di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One bertajuk ‘Prabowo Menyerang’, Selasa malam, (3/4/2018).
Ia pun menceritakan ketika ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan, ada seseorang yang datang kepadanya dan menyatakan Indonesia akan dipecah menjadi tujuh bagian negara federal dengan menunjukkan petanya.
“Maka dari itu, saya hendak menyampaikan, Indonesia bisa bubar kapan saja. Besok pun juga bisa,” tukas dia.
Menurut dia, masalah-masalah yang ada di Indonesia seperti perilaku koruptif dan kolutif dan juga kesenjangan yang tak pernah usai dari satu rezim ke rezim lainnya ialah karena bangsa Indonesia tersandera oleh kejahatan masa lalu. Misalnya, kebijakan Freeport yang disahkan pada era Orde Baru yang merupakan hasil kesepakatan antara DPR dan Pemerintah yang berdampak hingga saat ini.
“Saya punya dokumennya, UU tentang Freeport kontraknya bagaimana. Asal Anda tahu, pasal di jaman orde baru diperjual belikan kepada perusahaan. Satu orang panitia khususnya (pansus) saja bisa Rp. 50 juta. Makanya, Freeport tidak akan pernah habis kontraknya dengan Indonesia, karena di UU itu tertera, meskipun pasal tersebut dicabut tidak akan mengubah kontraknya,” papar Mahfud prihatin.
Ia menegaskan, Indonesia juga bisa bubar kapan saja karena moralitas bangsa yang bobrok yang bahkan juga diwariskan dari satu rezim ke rezim lainnya. “Setiap periode (pemerintahan) baru muncul, muncul lagi penjahat-penjahat baru,” tekannya.
Belum lagi soal penegakan hukum yang disorientasi sehingga menyebabkan masyarakat tidak percaya kepada pemerintahnya sendiri. “Kalau rakyat sudah tidak percaya, maka bisa terjadi pembangkangan dan akhirnya memisahkan diri,” pungkas dia.
Terlepas dari pidato Prabowo, ia pun menyayangkan soal pidato ini dilihat seolah-olah Prabowo sangat anti terhadap Jokowi, sehingga membuat pengikut keduanya berperang. “Padahal Jokowi dan Prabowo berpelukan, naik kuda bersama, tetapi pengikutanya yang berperang. Kenapa tidak melihat masa baru, mendidik rakyat ke arah itu,” tukas Mahfud.
Sementara itu, Prof Rizal Ramli selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia mengatakan, tidak ada yang salah dari prediksi yanga disampaikan oleh Prabowo dalam pidatonya. Ia menjelaskan, di masa depan apapun bisa terjadi.
“Pada November 1996 saya pernah memprediksikan akan terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998. Analis dalam negeri dan luar negeri membantah, begitu pula Bank Indonesia dan Menteri Keuangan, semuanya membantah. Tapi, kenyataannya prediksi tersebut terjadi,” papar Rizal.
Ia bisa menerawang hal tersebut karena ada beberapa indikator yang dapat mendorong terjadinya krisis ekonomi, yaitu (1) akun defisit Indonesia besar yang dapat menyebabkan rupiah anjlok, (2) mata uang rupiah yang over valued hingga 8%, dan (3) hutang negara yang banyak.
“Maka dari itu, saya menanggapi perdebatan di media sosial yang sangat norak. Karena yang dikritik secara personal, bukan substansi pendapatnya,” kata Rizal mencoba bersikap objektif.
Ia memaparkan lebih jauh, bubarnya suatu negara bukanlah sesuatu yang mustahil. Pasalnya, sudah banyak juga negara yang bubar atau terpecah belah, seperti Uni Soviet, Libya, Yugoslavia dan juga Syiria. Menurutnya, disintegrasi tersebut dapat terjadi karena masalah (1) agama yang dipecah belah, (2) Intervensi negara asing dalam memperebutkan SDA, dan (3) bangsa Indonesia tidak menghargai sejarahnya.
“Negara juga bisa bubar karena kepemimpinan yang lemah. Maka, kuncinya, Indonesia bsisa semakin kuat jika ada kepemimpinan yang kuat dan adil. Tidak harus selalu jenderal dan tentara, yang penting efektif namun tetap demokratis,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini