Oleh: Nindira Aryudhani
Label ‘kampus radikal’ bagai bola panas yang menggelinding liar. Kampus mana pun, intelektual siapa pun, termasuk mahasiswa/i muslim, sangat mungkin terlibas dengan penjalarannya. Terlebih dengan wacana revisi UU Anti Terorisme yang jika Mei ini tak selesai, maka Juni akan diterbitkan Perppu Anti Terorisme. Bagai legalisasi dugaan akan adanya kampus radikal di dunia nyata.
Wartapilihan.com, Jakarta –Kita tak boleh lupa, bahwa di setiap masa, civitas kampus adalah para agen perubahan. Kekritisan aktivis kampus adalah mikrofon sosial yang mampu mengubah peta politik, sosial, dan kemasyarakatan di berbagai belahan bumi. Tak terkecuali negeri ini.
Dua puluh tahun reformasi, masih begitu segar memori akan peristiwa pendudukan Gedung MPR/DPR oleh mahasiswa, yang mampu mempurnatugaskan Orde Baru. Juga gelaran akbar Simposium Nasional BKLDK 2016 di Bogor, yang baru berbulan-bulan berikutnya dimunculkan fitnah sebagai acara yang menginisiasi makar karena mewacanakan Khilafah. Lalu aksi kartu kuning kepada Presiden oleh Zaadit Taqwa, Ketua BEM UI. Pun aksi dua profesor kritis yang berujung pemeriksaan mereka berdua oleh Tim Adhoc Etik Senat Akademik. Kedua profesor ini, yang satu kritis mengatakan bahwa Khilafah sejalan dengan Pancasila. Yang satunya lagi, kritis menyatakan penolakan terhadap putusan PTUN yang resmi mencabut status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) sebuah ormas Islam yang tengah fenomenal. Dan harus diakui, aksi para intelektual kampus ini semuanya terbukti mampu menorehkan arus perubahan di negeri kita.
Betul, kita harus ingat akan adanya Deklarasi Kebangsaan Perguruan Tinggi se-Indonesia Melawan Radikalisme, di Peninsula Island, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, September 2017 lalu. Dalam deklarasi yang dihadiri sekitar 3.000 rektor dan direktur perguruan tinggi se-Indonesia itu, para pimpinan perguruan tinggi menyampaikan bahwa muncul kecenderungan dan berkembangnya ajaran-ajaran atau faham yang bersifat radikal di Indonesia, yang mengajarkan kekerasan dalam mencapai tujuan, dengan mengatasnamakan suku, agama, ras, dan antar golongan, atau yang bertentangan dengan Pancasila. Ini dianggap sebagai keadaan yang membahayakan bangsa, negara dan kemanusiaan. Para pimpinan perguruan tinggi itu bahkan diimbau agar ideologi Pancasila perlu dimasukkan pada sistem pendidikan, baik pada kurikulum, ekstra kurikuler, tempat kerohanian atau ibadah, yang ditanamkan sejak penerimaan mahasiswa baru.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa secara olah bahasa, radikalisme senantiasa dilekatkan pada Islam. Horornya, definisi radikal versi pemerintah malah melahirkan persekusi dan kediktatoran konstitusional dengan terbitnya Perppu Ormas no 2 tahun 2017, yang kini telah disahkan menjadi UU Ormas. Karena itu, tak berlebihan jika Deklarasi Kebangsaan ini ke depannya harus dipantau agar berpegang pada objektivitas dan tunduk pada konstitusi hukum, bukan subjektif ala penguasa.
Perguruan Tinggi (PT) sebagai pusat pengembangan teknologi, pengetahuan, dan seni, sudah seharusnya objektif dan proporsional dalam menyajikan pemikiran termasuk yang terkait ajaran Islam. Segala bentuk monsterisasi ajaran Islam atas nama deradikalisasi atau label ‘kampus radikal’ adalah bukti kampus telah terkooptasi kepentingan politik sekular. Karena itu, hendaklah upaya deradikalisasi kampus ini diargumentasi dengan menyampaikan hakikat-hakikat ajaran Islam kaffah, termasuk Khilafah, secara simultan. Bukan sebaliknya, di mana program deradikalisasi kampus justru menjadi alat sistemik untuk membungkam suara kritis civitas kampus.
Indonesia akan menjadi negara berdaulat di dalam dan luar negeri jika mampu untuk mulai membuka ruang bagi aspirasi rakyat, ulama, intelektual dan ormas Islam yang terus menyerukan pelaksanaan ajaran Islam demi keberkahan negeri ini. Bukan justru bersikap represif menutup pintu diskusi dengan dalih “melawan radikalisme”.
Karenanya, sungguh urgen bagi civitas dan intelektual muslim untuk menggawangi garda terdepan, memperjuangkan tegaknya kebenaran berlandaskan identitas hakiki sebagai hamba Allah. Mengembalikan kejayaan negeri, menuju Islam rahmatan lil ‘alamin.