Pengungsi mancanegara yang jumlahnya puluhan ribu di Indonesia, dalam situasi dan kondisi ‘menunggu’, perlahan-lahan bisa menghancurkan jiwa mereka. Bulan Maret 2017, seorang pengungsi yang melarikan diri dari perang di Afganistan gantung diri di Medan. Ini bisa saja bukan satu-satunya kasus. Bagaimana Permakultur dapat berperan?
WartaPilihan.com, Depok— Indonesia sejatinya bukan penandatangan Konvensi Pengungsi tahun 1951. Di Indonesia pengungsi diurus oleh UNHCR. Indonesia telah mengalami peningkatan yang luar biasa dalam jumlah orang yang mencari suaka dalam lima tahun terakhir, naik dari 385 pendatang baru di tahun 2008 menjadi 3.230 di tahun 2009. Sejumlah besar pendatang baru terus berdatangan, pada bulan Juli 2012 saja, misalnya, ada 753 kasus baru. Pada akhir Februari 2013, ada 9.226 pengungsi dan pencari suaka, berdasarkan data dari UNHCR, di Indonesia, di antaranya terdapat 1.938 orang telah dikenali sebagai pengungsi. ada lebih banyak pengungsi yang memilih untuk tidak mendaftar di UNHCR dan tidak termasuk dalam statistik di atas. Indonesia memiliki tiga belas pusat suaka imigrasi jangka panjang dan dua puluh jangka pendek, pengungsi pada umumnya diizinkan untuk tinggal bersama masyarakat, sementara menunggu kasus mereka diproses oleh UNHCR. (https://www.kompasiana.com/intannilaputri/)
Sekelompok peneliti melaporkan bahwa badan PBB untuk urusan pengungsi UNHCR menghitung ada 14.337 pencari suaka dan pengungsi di Indonesia pada Juni 2017. Tidak adanya pekerjaan membuat para pengungsi yang menunggu penempatan di negara ketiga menderita suatu keadaan yang perlahan-lahan menghancurkan jiwa mereka. Mereka tidak memiliki banyak hal yang bisa mereka lakukan kecuali menunggu. Demikian yang dilansir laman online https://theconversation.com/.
Lembaga-lembaga kemanusiaan lokal seperti Dewan Dakwah (https://www.wartapilihan.com/dewan-dakwah-terus-bantu-pengungsi-rohingya/), biasanya memiliki program untuk membantu pengungsi mengisi waktu-waktu luangnya.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin berbagi tulisan Malcolm Johnstone di Permaculture Magazine (Kamis, 9 Maret 2017) yang mengusulkan untuk menggunakan prinsip-prinsip permakultur di tempat-tempat penampungan pengungsi.
Bagaimana prinsip dan desain permakultur dapat diterapkan untuk membuat tempat pengungsian lebih berdaya guna dan tempatnya layak huni.
Tempat penampungan pengungsi (kamp) yang dibangun, seringkali lebih permanen dari yang direncanakan semula sebagai tempat penampungan sementara. Kamp yang dibangun dalam beberapa minggu untuk menampung pengungsi, bertahun-tahun kemudian, tumbuh menjadi kota kecil dengan toko-toko, sekolah-sekolah dan aktivitas sosial yang ramai. Namun kota ini tidak mandiri karena kurangnya basis industri atau pertanian yang dikembangkan. Sederhananya, tidak disiapkan visi untuk berdagang/berbisnis dengan dunia luar. Sebaliknya, pengungsi bergantung pada bantuan dari luar – gaji pemerintah untuk beberapa orang yang beruntung – tetapi lebih sering dalam bentuk voucher makanan, barang dan uang tunai dari organisasi kemanusiaan.
Prinisip-prinsip permakultur dapat digunakan untuk meningkatkan kemandirian kamp-kamp ini dan memiliki efek positif pada ketahanan pangan, nutrisi, mata pencaharian, dan harga diri.
Mengingat bahwa kamp biasanya direncanakan dengan cepat sesuai dengan pedoman perencanaan yang telah lama ditetapkan, titik awal yang mudah untuk menerapkan ide dari permakultur adalah di kamp yang sudah ada, daripada di fase perencanaan tata ruang. (Padahal, permakultur banyak bicara tentang desain tata ruang). Ada banyak aspek permakultur yang dapat diimplementasikan di tingkat rumah tangga dan dalam sistem pengelolaan air yang memiliki dampak yang sangat baik.
Air, Sanitasi dan Kebersihan, di sektor kemanusiaan memiliki peran paling besar dari perspektif permaculture. Inovasi dalam bidang ini memiliki potensi untuk membantu dalam produksi makanan, membantu melindungi tempat penampungan melalui pembentukan sirkulasi angin, mempercantik lingkungan, mempekerjakan orang dan meningkatkan keterampilan, interaksi sosial, dan harga diri penduduk kamp. Berikut adalah cara menuju ke sana:
Makanan
Teknik zonasi adalah teknik desain dalam permakultur yang membantu mengurangi kesulitan yang diperlukan untuk membuat suatu sistem bekerja. Zona ditentukan oleh tempat di mana sebagian besar kegiatan terjadi – biasanya rumah – dan ketersediaan air – yang bisa dari atap rumah, atau lokasi lain.
Zona dalam (Zona 1) adalah tempat yang bagus untuk menanam rempah-rempah dan sayuran untuk digunakan di dapur. Kebun-kebun dekat dapur (warung hidup) ini membutuhkan jumlah air yang relatif tinggi, sehingga harus ditempatkan dekat dengan dapur dan sumber air. Dalam pengaturan kamp sering ada cukup ruang di sekitar tempat penampungan atau tenda untuk warung hidup kecil dan produktif.
Sedikit lebih jauh, di zona 2, pohon buah mungkin ditanam, karena membutuhkan lebih sedikit air. Budidaya ayam mungkin dipertimbangkan di sini untuk menjaga gulma tumbuh, menyuburkan tanah dan menyediakan telur dan daging.
Mengambil keuntungan dari jalur yang sering dilalui adalah inovasi yang berguna dari sistem permakultur. Jika orang sudah biasa berlalu lalang pada suatu jalur, mengapa tidak menanam sesuatu di sepanjang jalan yang bisa dilalui ini? Dalam situasi kamp, jika air harus dibawa dari suatu lokasi, sebagian bisa digunakan untuk menyirami tanaman di rute yg dilewati. Jika ayam berada di jalur yang sesuai, maka sisa dapur dapat dengan mudah diberikan kepada mereka.
Melindungi tempat penampungan
Perbatasan kamp, atau di sepanjang sisi jalan adalah tempat yang bagus untuk membuat saluran air, dan menanam pohon sebagai penahan angin. Paparan angin dan matahari mengurangi umur/mempercepat kerusakan tenda darurat dan perlindungan dari elemen-elemen ini (angin & matahari) membuat kamp menjadi tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali. Pohon yang cepat tumbuh dapat ditanam pada awal pembangunan kamp. Misalnya dari kelompok tanaman leguminosa (lamtoro, turi, gamal, dll)
Pekerjaan
Permakultur sangat bergantung pada tenaga kerja manual sehingga cocok untuk kamp di mana tenaga kerja adalah salah satu dari sedikit aset yang dimiliki orang. Menyiapkan sistem distribusi air dan penanaman pohon sering dapat didukung secara finansial oleh organisasi kemanusiaan. Sistem ini kemudian dapat dipelihara oleh penduduk kamp.
Keterampilan, Interaksi sosial dan Harga Diri
Kebosanan di pengungsi dan kamp pengungsi adalah masalah nyata bagi penghuni kamp. Sementara untuk beraktifitas diluar kamp, biasanya dilarang karena statusnya sebagai pengungsi. Belajar keterampilan dan melakukan kegiatan dapat menjadi cara untuk mencapai berbagai tujuan di tingkat pribadi dan masyarakat. Proses perencanaan, penggalian, penanaman dan pemeliharaan dapat bersifat terapi, dapat memberikan pengetahuan baru dan dapat mengintegrasikan sebuah komunitas bersama.
Keindahan
Deretan tenda yang mencolok, seringkali di lokasi terpencil, memberikan pemandangan yang tidak menarik bagi penduduk kamp setiap hari. Permakultur, dengan fokusnya pada berkebun, dapat membantu mempercantik lingkungan dengan tanaman. Pagar hidup dapat menggantikan pagar, dan jika ditanam dalam zigzag dapat menyediakan banyak ceruk ekologis untuk mendukung jenis tanaman dan hewan lainnya.
Tidak pernah terlambat untuk mulai berpikir dari perspektif permakultur. Organisasi kemanusiaan seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia harus memulainya sekarang! Wallahu A’lam
Abu Faris
Praktisi, Alumni 7th Permculture Design Course, Bumi Langit Institute, Imogiri Yogya