Disampaikan Pada Webinar Nasional “Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2020”
“Islam membolehkan orang beristeri banyak. Perempuan memiliki kedudukan rendah, pergundikan dan perbudakan masih ada dalam Islam. Orang Islam tidak memiliki inisiatif sendiri, semua sudah ditentukan Allah. Nabi Muhammad dihinggapi penyakit epilepsy (ayan). Jika ia berbicara ketika diserang penyakit itu maka akan dicatat dan dijadikan wahyu. Agama Islam meniru agama Yahudi dan Kristen. Dikarenakan Arab miskin maka Nabi Muhammad memerintahkan haji agar Negara Arab memiliki penghasilan.”
Kalimat-kalimat itulah yang selalu diingat oleh salah seorang anggota JIB, Mohammad Roem, yang mengenang bagaimana Belanda mengonstruksi citra Islam kepada kaum pelajar.
Menurut Roem, di sekolah, para murid diajarkan bahasa dan sastra Belanda, Jerman, Prancis, dan Inggris. Bila mana ada (pelajaran) yang menyinggung Islam, mereka tidak memandang agama ini secara apresiatif atau mendalam. Bahkan, kadang dengan sengaja meremehkan Islam.
Pada bulan Maret 1925, JIB setelah terbentuknya pada tanggal 1 Januari 1925, menerbitkan majalah An-Nur (Het Licht). Pada halaman muka tercantum surat At-Taubat ayat 32 : “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulutnya, tapi Allah menolak kemauan mereka, melainkan lebih menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang kafir tidak menyukainya.”
Mengutip ayat itu sebagai pembuka menjelaskan betapa keras dan terbukanya pertarungan antara Islamisme dan sekularisme saat itu. Sekularisasi saat itu didukung secara politik dan dana oleh pemerintah kolonial.
Samsurijal anggota Jong Java yang menjadi pelajar pada Rechtsschool (Sekolah Tinggi Hukum), tahun 1924 menjadi Ketua Umum Jong Java. Ia memiliki pemikiran tentang tugas yang ia kerjakan dalam masyarakat bagi kepentingan bangsa yaitu menyiapkan para anggotanya menjadi pemimpin rakyat. Tentang hal ini, Sam memiliki gagasan yang berbeda yaitu : Sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam, setidaknya menjadi jiwa dari rakyat. Terlepas apapun agama sang pemimpin maka ia patut mengetahui agama rakyat yang dipimpin.
Sebagai Ketua Umum Sam mengajukan usul yang sederhana : Agar dikalangan Jong Java dibuka kesempatan mempelajari agama Islam. Andaikata usul itu ditambah dengan agama-agama lain, Sam tidak akan keberatan. Ia mengusulkan agama Islam karena merupakan mayoritas. Usul ini tidak diterima bahkan ditolak mentah-mentah dengan tuduhan Sam bermain politik.
Sam tetap merasa bahwa mempelajari agama Islam bagi pemuda Islam terpelajar adalah sangat penting. Ia menghubungi Kiai Ahmad Dahlan dan Haji Agus Salim yang kemudian merestui. Maka pada akhir tahun 1924 di sebuah Sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta berbekal dengan lampu tempel, organisasi-organisasi pemuda mengadakan kongres membentuk sebuah organisasi, Jong Islamieten Bond. Meskipun secara resmi didirikan di Jakarta pada tanggal 1 Januari 1925.
JIB memiliki Asas dan tujuan:
Bestudering van de Islam en bevordering van de naleving van zijn voorschriften. (Mempelajari agama Islam dan menganjurkan agar diamalkan).
Het opwekken van sympathie voor de Islam en zijn belijaers, naast positieve verdraagzaamheild voor andersdenkenden. (Menumbuhkan simpati terhadap Islam dan pengikutnya, disamping toleransi positif terhadap orang-orang yang berlainan agama).
Anggota JIB tidak dibatasi suku atau kedaerahan, di tahun yang sama JIB mendahului penghapusan kedaerahan yang baru terlaksana secara penuh pada Sumpah Pemuda tahun 1928. JIB menjadikan Islam sebagai identitas pokok di atas identitas kedaerahan. Melebur kebanggaan kedaerahan kepada cita Islam yang jauh lebih luas dan luhur.
Di tengah bangkitnya rasa kebangsaan dapatkah JIB memberikan pendidikan nasionalisme? Pertanyaan itu mengemuka karena adanya kekhawatiran JIB akan kurang nasionalis sehingga cita-cita bangsa ke arah kemerdekaan melemah. JIB menegaskan tidak kurang sedikitpun cintanya kepada tanah air. Islam mengajarkan untuk berjuang memberantas kebatilan dan menegakkan keadilan dengan segala pengorbanan yang di antaranya adalah berjuang untuk kemerdekaan bangsa.
Kekhawatiran itu tidak berdasar ketika JIB menjadi peserta Kongres Pemuda. Meski berazas Islam JIB tidak dapat dilepaskan tempatnya sebagai bagian dari Indonesia.
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada awal tahun 1942, semua organisasi, apapun bentuk dan coraknya dibubarkan. Hanya organisasi yang bekerjasama dengan Jepang yang dibolehkan hidup, JIB termasuk yang dibubarkan, serta tidak pernah didirikan kembali walaupun Indonesia telah merdeka.
Meskipun begitu kelak para tokoh intelektual muslim Indonesia seperti M. Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singgodimedjo, Jusuf Wibisono adalah hasil kaderisasi JIB. Mereka belajar kepada “The Grand Old Man of Indonesia” yaitu Haji Agus Salim. Kecuali kemampuan berbahasa Arab (yang hanya dimiliki M. Natsir) mereka telah mewarisi kehebatan sang guru berupa kejujuran, Intelektualisme Islam, percaya pada diri sendiri, kecakapan mengurus Negara, kesetiaan pada perjuangan, kesederhanaan dan rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan Negara.
Dalam catatan sejarah, gerakan sekularisasi dan upaya menyingkirkan Islam dijalankan pula di kalangan kelompok-kelompok pemuda. Sebagaimana diketahui, keluarnya Samsurijal dari Jong Java dan kemudian mendirikan JIB adalah karena organisasi Jong Java menolak untuk mengadakan kuliah atau pengajaran keislaman bagi anggotanya yang beragama Islam dalam organisasi ini. Sementara, agama Katolik dan Theosofi justru mendapat tempat untuk diajarkan dalam pertemuan-pertemuan Jong Java. Pada masa lalu, Jong Java adalah organisasi yang berada dalam pengaruh kebatinan Theosofi.
Sosok yang dianggap berpengaruh dalam menyingkirkan Islam dari organisasi Jong Java adalah Hendrik Kraemer, utusan Perkumpulan Bibel Belanda yang diangkat menjadi penasihat Jong Java. Sejarawan Karel Steenbrink dalam “Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda Islam di Indonesia 1596-1942″ menulis bahwa Kraemer adalah misionaris Ordo Jesuit yang aktif memberikan kuliah Theosofi dan ajaran Katolik kepada anggota Jong Java. Di organisasi pemuda inilah, Kraemer masuk untuk menihilkan ajaran-ajaran Islam. (Lihat, Karel Steenbrink, hal.162-163)
JIB berupaya keras agar pemuda dan pelajar Islam tidak lepas dari agamanya. JIB menyadari penjajahan tidak hanya mengancam harta rakyat dan kekayaan alam nusantara tetapi juga ancaman bagi agama Islam. JIB membangkitkan kesadaran dan kebanggaan generasi muda Islam kepada agamanya sekaligus semangat berjuang membela tanah air.
Dalam kongres pertama JIB, Samsurijal dengan tegas menyatakan : “Allah SWT mewajibkan kami tidak hanya berjuang untuk bangsa dan negara kita, tetapi juga untuk umat Islam di seluruh dunia. Hanya, hendaknya di samping aliran-aliran Islam, kita selalu memberi tempat kepada aliran-aliran nasionalistis. Selain kewajiban yang utama ini, kami wajib berjuang untuk umat Islam seluruhnya, sebab kami orang Islam adalah hamba Allah SWT. dan kami hanya mengabdi kepada-Nya, Yang Maha-kuasa, Maha-arief, Maha-tahu, Raja alam semesta. Inilah prisip yang menjiwai JIB”.
Terkait proses kaderisasi di JIB, M. Natsir sebagai ketua JIB cabang Bandung saat itu, menyatakan bahwa H. Agus Salim adalah mentor politiknya. Dalam buku “Percakapan Antar “Generasi”, Natsir mengatakan dalam bidang politik dirinya banyak mendapatkan pelajaran dari pemikiran politik H. Agus Salim.
M. Natsir mengisahkan dalam buku tersebut dirinya mulai terlibat aktif dalam pergerakan menghadapi penjajah mulai tahun 1925 an. Saat itu muncul banyak organisasi kepemudaan. Ia sendiri bergabung dengan JIB. JIB sedari awal mencita-citakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan mengupayakan agar bahasa tersebut dipakai oleh rakyat Indonesia.
M. Natsir menuturkan ada satu kisah unik setelah Sumpah Pemuda 1928, dimana ia diminta untuk mengisi suatu acara di Kongres JIB Semarang. Di saat ia pidato ada peserta yang menginterupsi agar ia menggunakan bahasa Belanda saja. Rupanya banyak peserta belum bisa berbahasa Indonesia. Menurut M. Natsir, bagaimana menasionalisasi bahasa Indonesia ini saja sudah merupakan suatu perjuangan tersendiri.
Tetapi, kata M. Natsir, karena JIB selalu menekankan supaya anggotanya berbahasa Indonesia akhirnya usaha itu berhasil. JIB merupakan salah satu organisasi nasional yang paling awal menggunakan dan mengampanyekan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan alat perjuangan melawan penjajah. JIB, menurut M. Natsir, berjuang menyadarkan rakyat akan pentingnya kesadaran satu nusa dan satu bangsa.
JIB telah menanamkan kepada semua anggotanya termasuk M. Natsir anti sekularisme. M. Natsir kemudian dikenal sepanjang hayatnya berjuang keras menangkal sekularisme. Ada 3 tantangan umat menurut Natsir: Sekularisme, Kristenisasi dan Nativisme. Bagi M. Natsir, proses sekularisasi secara otomatis akan diikuti oleh proses pendangkalan aqidah. Sehingga umat perlu disadarkan akan bahaya paham itu dan dibentengi agar selamat aqidahnya.
M. Natsir, dalam buku “Percakapan Antar Generasi” itu mengajak para intelektual muslim untuk memikirkan bagaimana menghadapi arus sekularisasi yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja. M. Natsir tidak hanya mengajak tapi juga terjun langsung dengan beragam cara membendung sekularisasi di Indonesia.
M. Natsir inilah salah seorang produk kaderisasi JIB yang cerdas, shalih, memiliki komitmen terhadap Islam sangat tinggi dan berjuang sekuatnya membentengi umat dari paham-paham yang merusak terhadap agama dan keutuhan bangsa. Dapatkah kita meneladaninya?
Wildan Hasan (Ketua Natsir Center Dewan Dakwah)