Ketika membuka sekolah calon guru di Muntilan, Kolese Xaverius, van Lith tidak memasukkan pelajaran bahasa Melayu ke dalam kurikulumnya, meskipun bahasa itu adalah lingua franca antar berbagai suku bangsa di kepulauan Nusantara, jauh sebelum kedatangan Belanda.
Wartapilihan.com, Jakarta– Alasannya cukup ideologis, karena bahasa Melayu sudah mengalami Islamisasi yang intens, sehingga penutur bahasa Melayu, sadar atau tidak sadar, pikiran, logika dan hatinya akan terislamkan. Oleh karena itu, van Lith hanya mengajarkan bahasa Jawa dan Bahasa Belanda.
Kebijakan ini terjadi tidak hanya di Jawa tetapi di berbagai wilayah lainnya. Karena memang salah satu metode “memangkas pengaruh Islam” ke dalam masyarakat Nusantara adalah mengunggulkan kembali budaya lokal pra Islam, demikian tulis Karel Steenbrink di buku Kawan dalam Pertikaian. Kebijakan ini mempunya pengaruh yang besar, sehingga di awal pergerakan kemerdekaan, organisasi kepemudaan yang muncul, kebanyakan bercorak kedaerahan. Apabila bertemu dengan anggota pergerakan yang berasal dari wilayah berbeda, mereka bercakap dengan bahasa Belanda. Karena bahasa Belanda pada saat itu memang merupakan simbol elit intelektual.
Organ kepemudaan dan organisasi yang mempunyai peranan penting dalam mengganti bahasa pengantar dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia adalah kelompok pemuda Islam yang berasal dari Jong Islamieten Bond. Karena pada waktu itu, organisasi-organisasi Islam memang telah menjadikan bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa melayu Islam sebagai bahasa resmi organisasinya. Pak Natsir menuturkan hal ini dalam buku Pesan Perjuangan seorang Bapak, buku yang merupaka rangkuman wawancara lima intelektual muda Islam di tahun 1989, saat pak Natsir menjelang usia 80 tahun.
“Apa yang saya ceritakan tadi memang tidak saya alami semuanya, sebagian saya baca atau dengar dari guru-guru dan teman saya yang lebih tua. Saya benar-benar mulai aktif terlibat dalam pergerakan menghadapi penjajah ialah di atas tahun 1925. Ya, sesudah itulah boleh dikata tampil generasi kami. Waktu itu kami sudah mulai mengadakan gerakan di kalangan pemuda. Adalah Jong Java, Jong Sumatera, ada Jong Ambon, dan sebagainya. Kalau dari berbagai Jong itu sifatnya kederahan, maka Jong Islamieten Bond sifatnya lebih me-nasional, karena di mana-mana ada cabang Jong Islamiten Bond. JIB-JIB ini tidak terpisah-pisah melainkan menjadi satu.”
“Ada satu pengalaman yang unik, yaitu dalam rangka memperjuangkan kebulatan tekad menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Anda mungkin sulit membayangkan, betapa susahnya memperjuangkan bahasa ini. Suatu kali saya diminta mengadakan satu pidato atau ceramah pada kongres Jong Islamieten Bond di Semarang. Saya diminta untuk menerangkan “Hak-hak wanita dalam Islam”. Belum lima menit saya ceramah, tiba-tiba terdengar interupsi dari hadirin, mereka meminta saya melanjutkan dalam Bahasa Belanda. Ya, kawan kita itu belum mengerti bahasa Indonesia, walaupun di tahun 1928 sudah diproklamirkan bahwa “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, Indonesia.” Tapi dalam prakteknya belum, mereka masih menggunakan bahasa Belanda. Jadi, bagaimana menasionalisir bahasa Indonesia ini sudah merupakan suatu perjuangan tersendiri.”
“Tapi Alhamdulillah, oleh karena kita dalam himpunan Jong Islamieten Bond selalu menekankan supaya berbahasa Indonesia, lambat laun, usaha kita juga berhasil. Misalnya kita dulu punya majalah, yang semula menggunakan bahasa Belanda, kemudian setengah-setengah, dan akhirnya kita gunakan bahasa Indonesia. Demikian juga perjuangan kita menyadarkan anggota-anggota dan rakyat banyak mengenai kesadaran satu nusa dan satu bangsa, kami yang di Jong Islamieten Bond merasakan sebagai tugas yang tidak mudah. Namun karena kami menyadari bahwa ini merupakan tugas mulia, bahkan sebagai bagian dari kewajiban sebagai muslim, tugas ibadah, akhirnya berbekal kesadaran tersebut dengan penuh ketekunan terus-menerus kita perjuangkan.”
Jadi, pada masa itu, kebanyakan kakek dan nenek moyang sobat rahayu, yang kini mengaku paling Indonesia itu belum terbiasa berbahasa Indonesia. Itu sebabnya ketika mereka berteriak bahwa budaya Indonesia kini dijajah Arab, merujuknya hanya pada sejarah Jawa, itupun Jawa yang tanpa merasa pernah dijajah budaya Belanda. Tapi ya harap maklumlah, karena memang demikian genetiknya. Tugas anak muda Islam lintas suku bangsa di nusantara ini untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Penulis:
Arif Wibowo
Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo