Jokowi-Gatot 2019, Mungkinkah?

by
Foto : tempo.co

Setelah membantah koran Tempo (26/9), bahwa dirinya menjadi konsultan politik untuk Gatot Nurmantyo untuk 2019, kemarin (27/9) Denny JA membuat tulisan yang memuji habis Gatot.

Wartapilihan.com, Jakarta –Pendiri Lingkaran Survei Indonesia ini, membuat judul tulisannya di inspirasi.co : Tinta Emas Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Puisi. Ia menulis : “Ada sisi lain dari Gatot Nurmantyo, panglima TNI, yang membuatnya akan terus dikenang sejarah secara positif. Ia satu satunya panglima TNI di Indonesia, yang mewarnai pengantar pengarahannya (pidato), di gelanggang politik utama, dengan membacakan kutipan puisi cukup panjang. Audience tepuk tangan meriah ketika ia membacakan puisi itu lengkap dengan intonasi suara penuh penghayatan.”

Menurutnya, tak tanggung- tanggung, ia membacakan puisi yang sama pada tiga gelanggang politik utama. Yaitu di hadapan ratusan politisi di Rapimnas Partai Golkar di Balik Papan, Mei 2017, di Departemen Agama.

“Ia bacakan kembali puisi itu di acara pembekalan kepemimpinan departemen dalam negeri di hadapan ratusan kepala daerah, di bulan dan tahun yang sama. Ia ekspresikan lagi puisi itu dalam acara peneguhan pancasila di hadapan ratusan aparat sipil negara di Departemen Agama, di bulan dan tahun itu juga.”

Berikut puisi Denny JA yang dibaca Panglima TNI :
Tapi Bukan Punya Kami (Denny JA)

Sungguh Jaka tak mengerti mengapa ia dipanggil ke sini

Dilihatnya Garuda Pancasila, tertempel di dinding dengang gagah.

Dari mata burung Garuda, ia melihat dirinya
Dari dadah burung Garuda, ia melihat desa
Dari kaki burung Garuda, ia melihat kota
Dari kepala burung Garuda, ia melihat Indonesia

Lihatlah hidup di desa, sangat subur tanahnya
Sangat luas sawahnya, tapi buka kami punya

Lihat padi menguning, menghiasi bumi sekeliling
Desa yang kaya raya, tapi bukan kami punya

Lihatlah hidup di kota, pasa swalayan tertata
Ramai pasarnya, tapi bukan kami punya

Lihatlah anekah barang, dijualbelikan orang
Ooh makmurnya, tapi bukan kami punya

Jaka terus terpanah, entah mengapa, meneteskan air mata, air mata itu ia punya

Menurut Denny, Gatot akan dikenang seperti kutipan John F Kennedy: “Jika saja para pemimpin (politisi) lebih banyak membaca puisi, dan para penyair lebih banyak mengerti politik, maka kita akan hidup dalam dunia yang lebih baik.” Ia melanjutkan : “Di sisi lain, penyair juga diharap lebih membawa puisinya ke tengah gelanggang, mengekspresikan batin zamannya. Batin zaman acapkali lebih bisa berbunyi tidak melalui angka atau makalah ilmiah, tapi kekuatan kata dalam puisi. Kita belum tahu langkah Panglima TNI berikutnya. Apakah ia akan menjadi presiden atau wapres? Apakah ia akan menjadi ketua umum partai? Namun inovasinya membacakan puisi di panggung politik akan dicatat dengan tinta emas.”
000

Pujian untuk Gatot juga datang dari berbagai kalangan. Di kalangan umat Islam, dukungan terhadap Panglima TNI kini dilakukan karena ceramah-ceramahnya tentang sejarah yang memihak umat Islam dan kebijakannya yang menggegerkan, yang membuat nobar G30S-PKI di kalangan TNI dan masyarakat. Padahal di lingkaran Jokowi sendiri –atasannya- masih banyak yang fobia terhadap film itu.

Berbagai analisa pun kini muncul. Gatot sedang mempersiapkan diri untuk menjadi Capres atau Cawapres 2019. Gatot sedang menjadi ‘good cop’ untuk Jokowi. Gatot sedang menjadi pengalih-isu keruwetan politik dan ekonomi yang dilakukan Jokowi dan lain-lain.

Gatot sedang mempersiapkan dirinya nanti menjadi capres atau cawapres, boleh jadi. Sebab, dalam diri manusia ada nafsu kekuasaan. Bagi seorang jenderal, maka tentu ia ingin melangkah lagi jadi capres atau cawapres. Meskipun, jalan ini tidak mudah bagi Gatot. Karena ia tidak punya kendaraan politik dan kemungkinan besar ia sudah pensiun Maret 2018 nanti.

Bila sudah pensiun, maka tidak mudah bagi Gatot untuk membuat dirinya lagi menjadi ‘newsmaker’ sebagaimana yang dilakukannya minggu-minggu ini. Kecuali ia merangkul konsultan politik yang piawai –seperti Denny JA—dan melakukan gebrakan-gebrakan yang dirinya terus menerus menjadi berita sampai 2019 dan ‘kalangan umat Islam’ pro kepadanya.

Tentu saja naiknya pamor Gatot ini menjadikan kelompok Prabowo ketar ketir. Sebab, Gatot mempunyai keunggulan pemahaman dan pengamalan Islam yang lebih baik dari Prabowo. Prabowo didukung umat karena konsep ekonomi dan kelompok ‘think tank’nya yang memihak umat Islam.

Yang jelas, sulit bagi Gatot untuk memecah dukungan PKS-Gerindra yang solid kepada Prabowo.  Jadi bila Gatot maju sebagai Capres, akan bersinggungan dengan partai-partai yang selama ini mendukung Prabowo.

Bagaimana dengan kemungkinan pasangan Jokowi-Gatot 2019? Sulit. Bagi sebagian besar kalangan umat Islam –kecuali ‘NU struktural’- Jokowi adalah ‘kartu mati’ untuk 2019. Siapapun pasangannya, kemungkinan besar umat akan berslogan asal bukan Jokowi. Sebab selama hampir tiga tahun ini –Jokowi dilantik 20 Oktober 2014- Jokowi kurang menunjukkan pemihakannya kepada umat.

Pemberian kekuasaan yang besar kepada Luhut B Panjaitan yang non Muslim, menjadikan sebagian umat Islam mencibir Jokowi dimana-mana. Apalagi Jokowi kemudian membubarkan HTI dan membiarkan gerakan-gerakan radikal non islam/separatisme non Islam tetap eksis. Belum lagi kebijakan Jokowi di bidang ekonomi yang membuat rakyat menjerit. Seperti, penaikan tarif listrik, hutang yang terus menumpuk dan lain-lain.

Bila Gatot maju sebagai cawapres Jokowi 2019, maka sebagian besar tetap pesimis. Sebab, dulu sebagian kalangan umat Islam berharap dengan majunya Jusuf Kalla sebagai Cawapres, dapat mengimbangi Jokowi yang lemah pemahamannya di bidang ekonomi dan politik. Kenyataannya, peran Jusuf Kalla kini sangat dibatasi dan digantikan peran Luhut yang menggurita di istana.

000

Dinamika politik September ini memang cukup panas, terutama berkaitan dengan acara di LBH yang berupaya untuk menghapuskan dosa-dosa PKI di masa lalu.

Tapi begitulah berita dan peristiwa. Hampir tiap tahun di bulan September, masalah PKI ini selalu ramai. Karena beberapa ‘penganut komunis garis keras’ terus menerus berusaha menghapuskan dosa-dosa PKI di masa lalu dan ingin menyalahkan umat Islam-tentara pada tahun 1965.

Di bulan Oktober kemungkinan besar isu komunis akan surut, diganti dengan isu-isu lainnya. Dan Jokowi tentu saja ingin membuat sisa dua tahun ini, kebijakannya memihak umat Islam, agar citranya kembali bersinar. Tapi selama Jokowi memberikan kekuasaan besar kepada Luhut dan berangkulan dengan tokoh-tokoh liberal di tanah air, maka sulit umat untuk memihaknya.

Lebih baik Jokowi menyadari hal ini. Ucapkan alhamdulillah sudah menjabat presiden satu periode, dan legowo menyerahkan presiden kepada yang lain di 2019 nanti. Menjadi presiden di negeri ini mesti mempunyai kepribadian yang kuat, memahami sejarah pembentukan negara ini dan mesti memihak umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Wallahu azizun hakim. ||

Nuim Hidayat Dachli

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *