Jokowi Gagal Menjaga Rupiah

by
foto:istimewa

 

Selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai dari kuartal empat 2014 hingga kini, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 13 persen. Kemungkinan akan terus mengalami tren penurunan. Kondisi ini jauh sekali dari apa yang dulu pernah dijanjikan pada 2014.

Wartapilihan.com, Jakarta – Melemahnya nilai tukar rupiah hingga menembus angka Rp. 14.000 per dollar Amerika Serikat pada awal pekan ini mendapat tanggapan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Meskipun selalu disangkal oleh pemerintah, menurutnya Indonesia saat ini sebenarnya sudah berada di tahap awal krisis, dan pemerintah telah gagal dalam menjaga stabilitas rupiah.

“Nilai tukar memiliki efek domino yang sangat besar dalam struktur perekonomian kita. Dalam periode Februari hingga Maret 2018 saja, misalnya, kita sudah menghabiskan sekitar US$2 miliar devisa untuk menyelamatkan rupiah. Itupun ternyata tak sanggup mencegah rupiah jatuh ke angka Rp.14.000 per dollary,” ujar Fadli di Jakarta, Rabu (9/5).

Dalam catatan dia, selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai dari kuartal empat 2014 hingga kini, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 13 persen. Kemungkinan akan terus mengalami tren penurunan. Kondisi ini jauh sekali dari apa yang dulu pernah dijanjikan pada 2014. Sebagai catatan, nilai tukar rupiah saat ini 38 persen lebih rendah dari janji kampanye dulu. Ini menunjukkan perhitungan pemerintahan sekarang jauh dari realistis. Dan pemerintah gagal menjaga rupiah.

“Itu sebabnya pemerintah harus bersikap transparan mengenai risiko yang tengah kita hadapi. Sikap itu diperlukan agar kita bisa mengambil langkah tepat mengantisipasi terjadinya krisis ekonomi yang lebih dalam,” tegas Fadli.

“Jangan berdalih indikator makroekonomi kita cukup baik dengan modal argumen bahwa indikator perekonomian negara-negara lain saat ini jauh lebih buruk dari kita. Ini bukan soal apakah kondisi kita lebih baik atau lebih buruk dibanding negara lain, tapi soal apakah pemerintah telah mengantisipasi terjadinya krisis atau tidak? Jika kondisi negara lain lebih buruk, bukan berarti kita baik-baik saja,” sambungnya.

Risiko di depan mata yang di hadapi, lanjutnya, terkait dengan utang, karena sekitar 41 persen utang Indonesia ada dalam denominasi mata uang asing. Artinya, perubahan kurs rupiah atas mata uang bersangkutan akan mempengaruhi posisi utang kita secara keseluruhan.

Menurut data Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 31 Desember 2017 lalu, dari total utang sebesar Rp3.938,45 triliun, utang dalam denominasi rupiah adalah sebesar 59%, dollar Amerika 29%, Yen Jepang 6%, Euro 4%, SDR IMF 1%, dan lainnya sebesar 1%.

“Jadi, utang kita yang berdenominasi valuta asing sebear 41%, baik dalam bentuk pinjaman, SBN (Surat Berharga Negara), maupun SBN Syariah,” katanya.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini menuturkan turunnya nilai tukar rupiah jelas akan berpengaruh terhadap beban pembayaran utang, baik bunga utang maupun cicilan jatuh tempo. Ujungnya, APBN akan semakin terbebani pembayaran utang.

“Saya kira, turunnya nilai tukar rupiah juga telah berimbas pada turunnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Terbukti, sudah tiga kali berturut-turut lelang SUN (Surat Utang Negara) tak pernah mencapai target,” papar Fadli.

Pada 24 April, misalnya, SUN hanya terjual Rp 6.150 miliar, padahal target indikatifnya Rp 17.000 miliar. Berikutnya, pada 2 Mei 2018, SBSN (Syariah) hanya terjual Rp 5.530 miliar dari target indikatif Rp 8.000 miliar. Terakhir adalah kemarin, tanggal 8 Mei, pemerintah bahkan gagal menjual SUN sama sekali dari Rp17.000 miliar yang ditargetkan.

“Ini sebenarnya lampu merah untuk pemerintah. Kredibilitas mereka kini semakin diragukan investor,” terangnya.

“Selain itu, melemahnya rupiah juga ternyata tak punya dampak positif terhadap nilai ekspor. Apa yang mau diekspor?,” tanya Fadli.

Eksportir justru lebih menginginkan nilai tukar rupiah yang stabil, karena bagaimanapun komponen bahan baku atau komponen produksi komoditas masih banyak yang diimpor. Lagi pula, nilai ekspor juga cukup kecil jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Pada 2017, nilai ekspor Indonesia hanya 145 miliar dollar, kalah jauh oleh Thailand yang nilainya mencapai 231 miliar dollar, atau bahkan Vietnam yang nilai ekspornya 160 miliar dollar.”

“Sekali lagi, saya meminta agar pemerintah bersikap transparan mengenai risiko ekonomi yang sedang kita hadapi. Jangan kecilkan arti depresiasi rupiah. Sebab, nilai tukar mata uang pada dasarnya mewakili martabat sebuah bangsa. Dan sejauh ini pemerintahan Presiden Joko Widodo terbukti gagal menjaga martabat mata uang kita,” pungkasnya.

Adi Prawira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *