Jangan Takut Disebut Kafir Kalau Tidak Merasa

by

Oleh : Ilham Firdaus Alviansyah Rinjani

(Pemerhati Politik, Guru Pondok Pesantren at-Taqwa Depok)

Perasaan takut adalah hal yang wajar. Menjadi tidak wajar apabila merasa takut kepada hal yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Takut merasa terhina, ini kan aneh. Biasanya, orang yang merasa terhina dengan panggilan tertentu itu secara tidak langsung membenarkan predikat panggilan kepadanya. Orang pelit pasti tidak terima kalau dirinya dibilang pelit, orang sombong, orang gila, apalagi orang kafir. Bagi orang waras, paling cuma ketawa –atau seminimalnya senyum- kalau diteriaki sebagai orang gila. Orang mukmin dipanggil kafir, tak perlu khawatir. Yang jadi khawatir adalah mereka yang kafir dianggap/dipanggil/disebut kafir. Langsung gusar.

Mungkin, kata kafir dirasa mengandung unsur kekerasan teologis. Supaya terkesan lebih ‘empuk’ maka diganti jadi “non-muslim”. Apapun agamanya selain agama Islam disebut non-muslim saja. Kalau begitu orang yang tidak beragama (atheis) termasuk ke dalam kategori non-muslim. Anak yang belum aqil baligh, yang Iman dan Islamnya memang belum diakui secara syariat juga terancam disebut non-muslim, walaupun orang tuanya muslim. Tambah aneh.

Kata kafir sendiri ada karena terdapat lawan katanya, yaitu mukmin. Sama seperti halnya kata “baik” lawan katanya adalah “buruk”, “tua-muda”, “kaya-miskin”. Tidak semua kata itu cocok untuk diberi imbuhan “non” untuk menunjukan frasa negatif dari maknanya. Maka, lagi-lagi akan terdengar aneh oleh telinga misalnya “non-muda”, “non-kaya”, “non-buruk”. Yang luar biasa aneh dan cenderung nyeleneh adalah penolakan istilah kafir ini datangnya dari kalangan yang mengaku sebagai muslim. Jadi, ada orang muslim takut kalau orang kafir disebut kafir. Dengan alasan menjunjung tinggi semangat nasionalisme dan kebhinekaan, urusan teologi justru diabaikan.

Dalam Islam, konsep yang terkandung dalam istilah “kafir” adalah sesuatu yang mutlak, bukan hasil pengembangan bahasa dan budaya. Kafir berasal dari kata kufur yang berarti ingkar, menolak, menutup. Siapapun boleh melakukan pengingkaran atau penolakan. Ada orang yang yakin telah berbuat jujur dan mengingkari dirinya telah berbohong, sah-sah saja. Dalam ranah teologis, seorang mukmin mengingkari perbuatan dosa dan maksiat menjadi suatu keharusan. Oleh karena itu, mengingkari apa yang diingkari oleh Allah adalah konsekuensi logis dalam teologi Islam.

Dalam al-Quran, kata kafir dan derivasinya digunakan dalam tingkatan yang berbeda, antara lain :

Kufur at-Tauhid (Menolak Tauhid)

Ditujukan kepada mereka yang mengingkari keberadaan Allah, menyakini adanya Tuhan lain selain Allah, dan/atau menyembah kepada selain Allah. “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (al-Baqarah : 6).

Kufur an-Ni’mah (Mengingkari Nikmat)

Ditujukan kepada mereka yang tidak mau bersyukur, mengingkari nikmat-nikmat yang diberikan Allah. “ Maka ingatlah kepadaKu, niscaya Aku akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu  ingkar kepadaKu “. (Q.S. al-Baqarah : 152)

Kufur at-Tabarri (Melepaskan Diri)

Yaitu berlepas diri dari segala kekufuran dan tuhan-tuhan palsu yang mereka sembah selain Allah. “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Q.S. al-Mumtahanah : 4)

Kufur al-Juhud (Mengingkari Sesuatu)

“Dan setelah datang kepada mereka al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (Q.S al-Baqarah : 89)

Kufur qt-Taghtiyah (Menanam atau Mengubur Sesuatu)

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (kuffar).” (Q.S al-Hadid : 20)

Dari jenis-jenis kekufuran di atas, tidak ada satupun yang baik dan patut dipuji. Aqidah Islam mengharuskan orang muslim untuk mengkufuri perbuatan kufur dan mengkafirkan para pelaku kekafiran. Inilah salah satu bentuk adab seorang muslim kepada Allah. Jadi, jangan karena merasa ingin beradab kepada pelaku kekafiran, kita jadi tidak beradab kepada Allah.

Adapun dalam hubungan bermu’amalah, konsep teologi Islam tentang istilah kafir tersebut harus diaplikasikan dengan cermat. Parameter keimanan dan kekafiran yang sudah sangat jelas itu seharusnya lebih banyak digunakan untuk evaluasi ke dalam diri seorang muslim, apakah tingkat keimanannya sudah sesuai standar atau justru dosanya yang sudah mencapai ambang batas kekafiran. Evaluasi indikator kufur secara zhahir kepada orang lain yaitu dengan mencermati dari apa yang termuat dalam al-Quran dan al-Hadits, diantaranya; orang kafir adalah orang mengatakan Allah itu adalah al-Masih putera Maryam (Q.S al-Maidah : 17 dan 72), orang yang mengatakan Tuhan itu tiga (Q.S al-Maidah : 73), orang Yahudi yang mengatakan “Uzair putera Allah” (Q.S at-Taubah : 30), orang Nasrani yang mengatakan “al-Masih putera Allah” (Q.S at-Taubah : 30), orang yang mengaku muslim tetapi tidak pernah mengerjakan shalat (HR. Muslim no. 257). Ini baru cermat.

Cermat dalam menggunakan istilah kafir bukan lantas menolak frasa itu dengan alasan kekerasan teologis. Cermat disini maksudnya agar tidak serampangan menyebut kata “kafir”. Karena jika tidak didasari pemahaman dan ilmu yang benar, konsekuensi sebutan itu akan berbalik kepada yang memanggil. “Apabila seseorang menyeru kepada saudaranya: ‘Wahai kafir!’, maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya. Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan.” (HR. Al-Bukhari no. 6104 dan Muslim no.60).

Memanggil gila kepada orang gila saja nampaknya kurang berfaedah, bukannya sadar malah diajak bertengkar. Memanggil kafir kepada orang kafir, bisa jadi pertengkarannya lebih besar. Untuk yang disebut kafir santai saja kalau memang tidak merasa kafir. Orang muslim sendiri sampai saat ini tidak ada yang mempermasalahkan disebut sebagai domba tersesat oleh orang Nasrani, ghoyim oleh orang Yahudi, maitrah oleh orang Hindu, abrahmacariyavasa oleh orang Budha. Mau disebut apapun oleh umat lain, seorang muslim tetap merasa dirinya adalah muslim. Jadi, kalau tidak mau disebut kafir, ya jangan kufur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *