Pengusiran dan pengasingan terhadap anak-anak terduga teroris merupakan pelanggaran serius terhadap UU Perlindungan Anak. Terlebih ketika negara bersikukuh bahwa “anak-anak terduga teroris” bisa disamakan begitu saja dengan “anak-anak teroris”.
Wartapilihan.com, Jakarta – Hal tersebut disampaikan Seto Mulyadi, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI). Seperti halnya yang dialami ASA, salah satu korban yang selamat dari serangan bom.
ASA bukan satu-satunya anak yang membutuhkan perlindungan khusus itu, menurut Seto. Ada sekian banyak anak lagi yang ayah mereka tewas dengan sebutan sebagai terduga teroris.
Walau status “terduga” sesungguhnya bermakna bahwa yang bersangkutan “belum terbukti bersalah”, namun anak-anak dan isteri para terduga teroris itu kerap juga menerima sanksi sosial yang berat.
“Para yatim dan janda itu diusir dari tempat tinggal mereka dan dialienasi sedemikian rupa sehingga kesulitan mempertahankan hidup,” kata Seto, Rabu, (23/5/2018).
LPAI juga turut mengapresiasi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang berjanji akan memberikan perlindungan khusus itu kepada ASA.
“Anak-anak terduga teroris, bahkan sesungguhnya seluruh masyarakat, membutuhkan kepastian apakah orang tua mereka benar-benar teroris ataukah selama-lamanya berstatus sebagai orang yang diduga teroris,” tukas dia.
Padahal pasal 59 UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak-anak tidak boleh menjadi sasaran stigma, termasuk stigma akibat perbuatan orang tua mereka.
Anak-anak terduga teroris merupakan subjek yang relevan dengan isi pasal tersebut.
“Selalim apa pun orang tua (terpidana teroris), anak-anak yang mereka lahirkan tidak sepantasnya menerima getah akibat teror yang diduga mereka perbuat. Hak-hak atau kepentingan-kepentingan terbaik anak-anak para terduga teroris sepatutnya tetap terpenuhi,” terang Seto.
Kendati belum ada proses hukum yang pernah diselenggarakan untuk menetapkan status tersebut, Seto mengatakan, negara semakin dituntut konsekuen untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak korban jaringan terorisme.
“Pengabaian oleh negara serta persekusi (tepatnya, vigilantisme) oleh masyarakat terhadap anak-anak dari para terpidana dan terduga teroris, dikhawatirkan justru akan menciptakan prakondisi bagi anak-anak malang tersebut untuk kelak benar-benar menduplikasi perilaku kekerasan sebagai cara mencapai tujuan,” imbuhnya.
Seto menekankan, untuk menangkal regenerasi teror, negara harus terpanggil. Negara harus hadir. Sebagai kementerian yang telah berencana menyantuni anak-korban ASA di Surabaya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kembali LPAI dorong untuk juga dapat mengoordinasi pendataan.
“Kami juga melakukan pemantauan, dan pemberian perlindungan khusus kepada anak-anak teroris dan terduga teroris yang telah meninggal dunia,” pungkas Seto.
Eveline Ramadhini