Jamur untuk Suriah

by
http://bit.ly/2vM4cLp

Warga Suriah yang diblokade pemerintah sulit  mendapatkan daging. Sebagai gantinya, sebuah LSM mengembangbiakkan jamur untuk dikonsumsi.

Wartapilihan.com, Ghouta Timur –Di sebuah ruangan yang lembab di Kota Douma yang dikepung di Suriah, Abu Nabil memeriksa jamur putih mutiara yang tumbuh dari karung putih yang tergantung di langit-langit.

Jamur tiram yang menyembul dari lubang di kantung itu merupakan pengganti daging buat kubu oposisi, lokasi yang diblokade pemerintah yang telah menciptakan kekurangan pangan.

Abu Nabil berjalan di antara karung sambil memeriksa kumpulan jamur yang muncul dari plastik dan memeriksa suhu ruangan untuk memastikan kondisi optimal untuk tanaman yang tidak biasa. Jamur bukan tanaman biasa di Suriah dan jarang dihidangkan di masakan lokal.

Namun, di wilayah Ghouta Timur, sebuah benteng oposisi kunci di luar ibukota Damaskus, tahun-tahun pengepungan pemerintah telah menempatkan makanan pokok tradisional seperti daging menjadi sulit dijangkau oleh masyarakat.

Yayasan Adala, sebuah LSM lokal, mulai memikirkan cara membantu penduduk yang membutuhkan alternatif makanan bergizi.

“Kami beralih ke budidaya jamur karena jamur adalah makanan yang memiliki nilai gizi tinggi, mirip daging, dan bisa ditanam di dalam rumah dan ruang bawah tanah,” kata Abu Nabil, seorang insinyur yang juga merupakan direktur proyek.

“Kami mencari sumber protein dan garam mineral yang baik sebagai alternatif daging, yang sangat mahal,” tambah Direktur Adala, Muayad Mohieddin. “Kami menemukan ide jamur sebagai solusi.”

Ghouta Timur telah dikepung sejak 2013. Hal itu membuat penduduk setempat mengandalkan makanan yang diproduksi secara lokal atau diselundupkan melalui terowongan dan pos-pos pemeriksaan.

Padahal, daerah itu dulunya merupakan daerah pertanian penting bagi Suriah, jamur bukan tanaman lokal. “Jenis budidaya ini sama sekali tidak diketahui di Ghouta sebelum perang,” kata Mohieddin.

“Kami mempelajarinya dengan mencari di internet untuk mendapatkan tempat dalam situasi serupa (masa perang) ke Ghouta Timur,” tambahnya.

Pertumbuhan yang Rumit
LSM tersebut menemukan bahwa pertanian jamur tidak memerlukan ruang dalam jumlah besar, juga investasi keuangan yang besar, sehingga sesuai dengan kebutuhan mereka.

Untuk menumbuhkan jamur, pekerja proyek memulai dengan memasukkan irisan jamur berkualitas tinggi di antara potongan-potongan karton dan menempatkan sampel dalam wadah plastik steril.

Selama 15 sampai 25 hari, irisan jamur mulai mengolah jamur yang kemudian dikeluarkan dan dicampur dengan biji gandum barey untuk membuat “biji”.

Selanjutnya, jerami yang telah direbus sampai steril lalu dikeringkan diletakkan di atas meja dan disemprot dengan gypsum untuk menyiapkan “bibit”. Akhirnya, jerami dikemas ke dalam kantong dengan bibit jamur ditaburkan berjarak.

Kantong tersebut dipindahkan ke ruangan yang dikenal sebagai inkubator selama 25 sampai 45 hari dan masing-masing menghasilkan antara empat sampai dengan lima kali panen jamur sebelum diganti.

Proyek ini mengandalkan generator untuk menjaga kondisi tetap stabil pada suhu 25 derajat celcius dan kelembaban 80 persen.

Karena bahan bakar yang langka dan mahal, generator diberi bahan bakar buatan lokal yang diekstraksi dari plastik.

Dalam tiga bulan sejak proyek dimulai, LSM tersebut telah mendistribusikan jamur ke Douma dan bagian lain Ghouta Timur secara gratis.

“Kami mendistribusikan hampir 1.300 kilogram jamur seminggu kepada 600 orang,” kata Abu Nabil.

“Distribusinya gratis untuk keluarga termiskin, dan bagi mereka yang menderita kekurangan gizi atau cedera tulang belakang yang membutuhkan banyak nutrisi,” tambahnya.

‘Sebuah Bunga’
Ini adalah keuntungan besar bagi orang-orang seperti Umi Mohammed, ibu empat anak, yang hanya bisa bermimpi membeli daging dengan harga sekitar 10 dollar per kilogram.

“Jika Anda bisa mendapatkan jamur, ini adalah berkah yang sangat besar,” Abu Nabil menjelaskan.

“Seolah-olah Anda sedang makan sepiring ikan atau ayam atau daging,” dia menambahkan, sambil menyiapkan hidangan di rumahnya.

Abu Adnan al-Sidawi, 30 tahun, bahkan belum pernah mencicipi jamur sebelum menerimanya melalui proyek tersebut.

“Saya menerima semangkuk jamur tiga atau empat minggu yang lalu,” kata Sidawi yang mengalami beberapa patah tulang di kakinya ketika terjadi serangan udara pada bulan April lalu.

“Saya tidak tahu apa itu dan saya tidak pernah memakannya sebelumnya, saya belajar memasak dari internet,” katanya.

“Pada hari pertama, saya menggorengnya dengan beberapa bawang, dan pada hari kedua saya memasaknya dengan saus yoghurt,” katanya sambil terbaring di tempat tidur di rumahnya.

“Jamurnya enak dimasak dan kami menyukanya dengan saus yoghurt,” katanya sambil tersenyum.

Seperti banyak orang dewasa di Douma, anak-anak kota juga tidak terbiasa dengan bumbu dan hidangan jamur.

Di salah satu pusat psikososial, anak-anak melihat jamur untuk pertama kalinya saat jamur didistribusikan selama bulan Ramadan, kata seorang karyawan.

“Saya menjalankan sebuah bengkel kecil untuk mengajari mereka tentang hal itu dan bagaimana memasaknya,” kata karyawan tersebut, yang meminta untuk diidentifikasi sebagai Rasha.

“Ketika saya menunjukkannya kepada mereka, mereka berkata kepada saya: ‘Nona, apa itu? Bunga?'”

Moedja Adzim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *