Jagalah Lisan (dan Tulisan)

by
https://cdn0-a.production.liputan6.static6.com

Salah satu akhlak seorang Muslim adalah menjaga lisannya agar tidak saling menyakiti antar sesama. Kebencian pada seseorang, disadari atau tidak, diniatkan atau tidak, jamak terjadi melalui media sosial(medsos).

Wartapilihan.com, Jakarta –Dalam ragam bahasa manusia, setidaknya dikenal tiga media. Yakni, bahasa lisan, tulis, dan bahasa tubuh. Bahasa lisan adalah bahasa yang dihasilkan oleh instrumen alat ucap yang unsur dasarnya adalah fonem. Untuk mengungkapkan ide, pembicara bisa memanfaatkan keras-pelannya suara, raut muka, atau gerakan tangan.

Adapun ragam bahasa tulis, unsur dasarnya adalah tulisan yang melibatkan kosa-kata, ejaan, diksi, dan tata bahasa.

Sedangkan ragam bahasa tubuh, unsur dasarnya adalah gerakan-gerakan tubuh: mimik-wajah, gerakan kepala dan tangan lengkap dengan simbol-simbol bentukannya.

Dalam bahasan yang singkat ini, kita akan membahas ragam lisan dan tulisan. Dalam kitab Shahih Bukhari, Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu menarasikan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.”

Lisan dan tulisan setali tiga uang. Seorang yang fasih dalam bertutur akan menggunakan lisannya, dan seorang yang piawai dalam merangkai kata dan kalimat akan mengungkapkannya dalam bentuk tulisan.

Adapun selamat dari tangannya, yang dimaksud adalah tidak saling melakukan kekerasan fisik, baik melalui tangan, kaki, maupun anggota tubuh lainnya.

Dalam pembahasan ini, dua profesi,  penceramah dan atau penulis, bisa diteropong dari hadits-hadits tentang lisan tersebut.

Dalam satu hadits yang panjang, dikeluarkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Al-Hakim, Imam Tirmidzi, dan Imam Ibnu Hiban, yang berupa dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Muadz bin Jabal, dimana dalam akhir dialog itu Sang Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“…Lalu, beliau menunjuk lisannya seraya bersabda, ‘Tahanlah ini olehmu’. Aku(Muadz bin Jabal) bertanya, ‘Wahai Nabiyullah, apakah kami akan disiksa oleh karena perkataan-perkataan yang kami ucapkan?’ Beliau menjawab, ‘Celakalah kamu wahai Muadz, tidak ada perkara yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka di atas wajah atau hidung mereka melainkan buah dari lisan(perkataan/tulisan) mereka’.”

Pesan moral dari hadits tersebut adalah besarnya dosa ketika kita tidak bisa mengendalikan lisan(lewat ceramah-ceramah) dan berbagai tulisan yang disebar ke berbagai media, baik media massa maupun media sosial.

Akhir-akhir ini, kita mendengar, menyaksikan, dan membaca komentar tentang berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini, justru tidak menyejukkan, tidak mencari solusi, bahkan saling mencaci, memfitnah, dan membenci. Dalam dua hari terakhir, lihat dan bacalah apa yang dilakukan oleh para pembenci pasangan Gubernur Muslim DKI Jakarta, Anies Baswedan – Sandiaga S. Uno yang hari ini dilantik. Nuansa ejekan, cemoohan sangat kental dalam mengomentari berbagai aktivitas pasangan ini.

Dan ini jamak terjadi dan tersaji setiap kali musim pemilihan kepala daerah, pemilihan umum, dan pemilihan presiden. Dan itu bisa terjadi pada kedua belah pihak, para pendukung masing-masing. Meskipun pemilihan umum dan pemilihan presiden sudah berlangsung tahun 2014, tapi “perang” urat syaraf antar anak bangsa yang mewakili masing-masing calon, masih juga terjadi sampai hari ini.

Adalah sebuah kewajaran jika kebijakan pemerintah mendapatkan kritik dari anggota masyarakat, apalagi jika kebijakan itu tidak bijaksana, merugikan masyarakat banyak. Yang menjadi persoalan adalah, apakah kritik itu membangun atau malah meruntuhkan? Atau, apakah kritikan itu diterima sebagai bahan introspeksi diri atau malah menjadi senjata untuk menangkapi orang-orang yang tidak sejalan dengan penguasa?

Di sinilah awal sebuah kebencian itu muncul. Lalu, media-media arus-utama, yang sejak awal ikut bermain, memanas-manasi. Begitu pula media sosial yang siapa pun bisa ngomong atau menulis dengan sekena dan semaunya. Belantara informasi ada di tengah-tengah kita. Lalu, sebagian kecil orang diciduk, diadili dengan dakwaan menyebar kebencian. Bagaimana dengan ribuan pengguna media sosial yang setiap jam berkicau dengan semau nafsunya itu?

Sebagai Muslim, kita punya adab, etika, dan sopan-santun dalam bertutur, menulis, dan menyebarluaskan sebuah berita. Kita tak boleh menelan mentah-mentah sebuah informasi sebelum   melakukan tabayyun atas berita yang kita terima. Jika kita tidak punya alat bukti akan kebenarannya, sebaiknya tidak ikut-ikutan menyebarkannya. Dalam Mukadimah Shahih Muslim, Rasululllah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta ketika dia menceritakan (menyebarkan) apa saja yang dia dengar.”

Biarlah, orang-orang yang tidak suka dengan agama dan umat Islam itu jaya membenci sampai ubun-ubun, kita tak perlu ikut-ikutan menari  mengikuti irama tetabuhan gendang mereka yang dibimbing oleh setan yang terkutuk tersebut. Tetaplah pada koridor Islami, sesuai dengan jalan yang telah dituntunkan oleh Al-Quran dan hadits-hadits shahih, serta tauladan adiluhung dari Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dan para salafus-shalih. Saksikanlah bahwa kami adalah Muslim. Wallahu A’lam.

Herry M. Joesoef

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *