Istiqomah

by
Sumber: www.spdi.eu

Setiap mukmin punya kewajiban untuk berdakwah, baik secara individu maupun institusi. Mengapa banyak yang jalan di tempat?

Wartapilihan.com, Jakarta –Dari Sofyan bin Abdullah Radhiyallaahu’anhu, ia berkata: aku bertanya, wahai Rasulullah! Katakanlah padaku tentang Islam dengan sebuah perkataan yang mana saya tidak akan menanyakannya kepada seorangpun selainmu. Nabi menjawab, “katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqomahlah”. (HR. Imam Muslim).*

Istiqomah mempunyai makna teguh mengikuti manhaj (sistem) Islami, sebagaimana firman-Nya:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ

“Dan bahwasanya ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah mengikuti jalan-jalan yang lain, yang menyebabkan kalian menyimpang dari jalanNya.” (QS. Al-An’am:153)

Sikap istiqomah adalah bagian dari keimanan yang lurus, lurus hatinya, lurus lisannya, dan berbuah pada tercapainya program dakwah yang telah dicanangkan bersama.

Bagaimana aplikasi istiqomah dalam dakwah?

Yang pertama perlu diluruskan adalah, dakwah itu bukanlah pekerjaan sambilan. Tugas dakwah adalah kewajiban seorang Mukmin, apa pun pekerjaan dan profesinya. Dakwah bisa dimulai dari diri sendiri, dengan cara mentarbiyah diri. Lalu ke lingkungan keluarga, dan lingkungan sosialnya, baik sekala lokal maupun global.

Dengan cara pandang seperti itu, maka kita menempatkan dakwah bukan sebagai pekerjaan sisa: sisa kuliah, sisa kerja, sisa berniaga, sisa  bertani/berkebun, sisa mengajar, dan seterusnya.

Yang kedua, perlunya metodologi yang sistematis. Program dakwah hendaknya dirancang untuk terus bergerak maju dan berkelanjutan. Hal ini bisa dilihat dari hasil evaluasi setiap kali mengadakan suatu aktifitas. Apakah aktifitas yang dilakukan pada tahun  ini sama dengan  tahun-tahu sebelumnya? Jika ya, maka ini sebuah pertanda institusi dakwah tersebut tidak ada kemajuan, hanya berjalan di tempat.

Dua kondisi tersebut jamak dijangkiti oleh pengurus dan para aktifis dakwah di negeri ini. Ironinya,  mereka tidak mau menyadarinya. Semakin berumur, yang dilakukannya hanyalah rutinitas belaka, seakan menggugurkan sebuah kewajiban. Jika itu yang dilakukan, hasilnya bisa diprediksi, tidak ada kemajuan yang berarti.

Sebagai ilustrasi, ada institusi dakwah yang sudah berusia 30 tahun, pengurusnya selalu mempromosikan kepada khalayak tentang keberhasilan menghimpun dana dan menyalurkannya. Pada saat yang bersamaan, institusi dakwah tersebut mulai turun performanya. Dan ia hanya mampu  menghimpun dana untuk satu provinsi saja.

Sementara, di saat yang sama, ada institusi yang baru berusia 10 tahun, tapi sudah punya cabang di 10 kota besar, dengan ribuan relawan. Menariknya, untuk biaya operasional, tidak mengandalkan dari donasi, tapi dari sumber-sumber lain yang diperbolehkan secara syar’i. Tentu saja, institusi dakwah model begini lebih punya daya tarik dan  lebih punya masa depan.

Oleh karena itu, marilah kita mengevaluasi diri, apakah dakwah yang kita lakukan, baik secara individu maupun kelembagaan, ada kemajuan atau  malah jalan di tempat?

Allâhumma anta Rabbunâ farzuqnâ al-istiqomah. Wallahu A’lam.

Herry M. Joesoef

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *