Seiring berjalannya waktu, jumlah pendatang di Pulau Enggano semakin bertambah. Mereka berasal dari Bugis, Lampung dan Jawa dengan identitas muslim. Rata-rata pendatang tersebut ingin bertani dan bercocok tanam karena kelenturan kontur tanahnya.
Wartapilihan.com, Bengkulu –Berkelana ke Bengkulu tidak melulu bertolak ke Pantai Panjang dan Bukit Kaba atau perkebunan teh Kabawetan. Anda dapat mengunjungi pulau terluar yang berdiri sejak tahun 1500, yaitu Pulau Enggano.
Pulau Enggano ini merupakan bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, dan merupakan satu kecamatan. Pulau ini berada di sebelah barat daya dari kota Bengkulu dengan koordinat 05° 23′ 21″ LS, 102° 24′ 40″ BT.
Menuju Pulau Enggano jarak tempuhnya cukup jauh. Melalui kapal feri dari Pelabuhan Baai Kota Bengkulu menuju Pelabuhan Kahyapu Pulau Enggano memakan waktu 12 jam di atas Samudera Hindia dengan terjangan ombak yang ganas.
Ustaz Safrudin Zakaria, da’i asal Dewan Da’wah sudah berkelana ke Pulau Enggano sejak tahun 1978. Namun, bukan melancong seperti turis pada umumnya atau menghabiskan waktu di pulau dengan kapal pesiarnya. Tetapi untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dan membendung derasnya gerakan kristenisasi.
“Akhir tahun 1977, kami diminta Allahu Yarham Bapak Mohammad Natsir untuk dijadikan da’i pedalaman. Dan sebelumnya, para da’i dikumpulkan di Darul Falah, Bogor, guna diberikan pembekalan turun ke daerah-daerah pelosok, transmigrasi dan daerah yang kuat dengan kegiatan pihak Nasrani (kristenisasi),” terang Ustaz Saf sapaan akrab kami memanggil beliau.
Kendati, sejak kecil hingga dewasa di Bengkulu, Ustaz Saf tidak mengetahui adanya Pulau Enggano sebagai pulau terluar dan terisolir di Bengkulu. Bahkan, untuk mencapai pulau tersebut, ia bersama rekannya harus menunggu kapal Perintis yang datang 3 bulan sekali.
“Kala itu, jalan sangat sulit karena masih hutan, masyarakat juga hanya menggunakan dayung-dayung, dan tahun 1978 mayoritas di Enggano adalah Kristen Protestan,” terangnya.
Hal itu, lanjut Ustaz Saf, diperkuat dengan buku-buku catatan yang ia terima dari pihak gereja yang menyatakan bahwa Enggano merupakan salah satu pulau garapan zending dari Jerman Protestan.
“Gugusan dari zending ini selain Pulau Enggano, naik ke Pulau Mentawai, Nias, dan Tapanuli Utara. Yang menarik, mereka mendirikan gereja di Malakoni sejak tahun 1902. Itulah sebabnya, mereka mayoritas karena lebih dahulu masuk,” kata Ustaz Saf.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Ustaz Saf, awal mula perjalanan dakwah di Pulau Enggano dimotori oleh para pekerja yang dibawa Belanda dari Banten. Mayoritas dari pekerja tersebut adalah muslim dan diberikan tugas mengelola kopra, tripang dan ikan untuk dibawa ke Jakarta oleh kapal perusahaan Belanda bernama KPM.
“Jadi, Belanda inilah yang membawa pekerja-pekerja dari Banten. Orang-orang Banten ini ada yang menikah dengan wanita Protestan kemudian di muallafkan. Mungkin ini di kisaran tahun 1920. Dewan Da’wah sendiri baru mulai tahun 1978,” ceritanya.
Ustaz Saf menjelaskan, dari sisi romantika dakwah, hal yang menjadi tantangan adalah moda transportasi laut. Samudera yang sangat luas, ombak, badai, serta cuaca ekstrim menjadi tantangan sendiri. Dari segi kegiatan dakwah, pihaknya berhadapan dengan kegiatan-kegiatan animisme.
“Ritual sesajen dalam bahasa Enggano ini disebut dengan pahpe. Setiap malam Jumat mereka menyediakan makanan dan ditaruh di suatu tempat dengan kepercayaan nenek moyangnya datang,” tuturnya.
Ia bersyukur masyarakat Enggano yang sudah lama berpaham animisme, perlahan-lahan mulai ditinggalkan karena kesadaran dan kemauan belajar tauhid lebih dalam.
Seiring berjalannya waktu, jumlah pendatang di Pulau Enggano semakin bertambah. Mereka berasal dari Bugis, Lampung dan Jawa dengan identitas muslim. Rata-rata pendatang tersebut ingin bertani dan bercocok tanam karena kelenturan kontur tanahnya.
“Jadi, sekarang ini berdasarkan sensus, kita (umat Islam) mayoritas. Kita 65 persen, sedangkan mereka 35 persen. Ada juga faktor hidayah Allah untuk para muallaf,” ungkapnya.
Ustaz Saf senang materi pemberdayaan ekonomi dan fiqhud dakwah di Darul Falah dirasakan manfaatnya hingga saat ini. Dimana awalnya masyarakat Enggano tidak sama sekali mengenal ajaran Islam. Ia bersyukur pada tahun 2016 mendapatkan perahu dan alat tangkap ikan dari Yayasan Baitul Maal PLN PUSENLIS bekerjasama dengan LAZNAS Dewan Da’wah.
“Sentuhan ruh dakwah yang diberikan orang tua kita di Dewan Dakwah sangat terasa. Kita sangat senang menyampaikan dakwah di tengah masyarakat. Dari sektor ekonomi, kita bahagia dapat membantu masyarakat sekitar,” ucapnya.
“Titisan inilah yang diteruskan kepada kita. Sehingga, ketika Dewan Da’wah diresmikan di Bengkulu dan kita diminta menjadi da’i sangat siap,” imbuh Ustaz Saf.
Ia menceritakan saat tahun 1978 pertama kali bertugas mendapatkan mukafaah sebesar Rp. 12.500 rupiah. Dengan dukungan masyarakat dan Dewan Da’wah Pusat serta para muzakki, dapat menopang kerja-kerja dakwah.
“Selama niat kita baik, pertolongan Allah datang dari mana saja. Min haysu la yahtasib. Dari arah yang tidak terduga-duga. Dan ini salah satunya, kita dapat shilaturahim dengan Pak Djonny dari YBM PLN,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi