Wartapilihan.com, Jakarta –Pada akhir April 2017, saya diajak oleh Dr. Tiar Anwar Bachtiar, sejarawan muda dari Persis (Persatuan Islam) untuk mengisi kajian di dusun Cuntel, Kopeng Salatiga. Sebuah dusun dengan pemandangan asri yang mempunyai gardu pandang dengan nama Bukit Harapan. Dusun paling atas di lereng Merbabu, tempat para pendaki Gunung Merbabu transit. Seperti yang sudah dijelaskan pada edisi sebelumnya, keterlambatan dakwah Islam di lereng Merapi Merbabu, dan dijadikannya wilayah tersebut sebagai basis Misi Katolik, di Magelang dan Yogyakarta, kemudian oleh Zending (penginjilan dari Kristen Protestan) yang ada di Salatiga, menyebabkan pemantapan Islam di wilayah tersebut sangat lambat.
Corak keagamaan yang bersifat transisional, yang lazim disebut sebagai kaum abangan ini menyebabkan Partai Komunis Indonesia yang memang basis pendukungnya adalah kaum abangan berkembang pesat. Menarik kalau kita mengutip pendapat dari Dr. Warsito, tokoh kejawen asal Magelang, pada masa itu, kaum komunis juga memodifikasi serat Darmagandul dan Gatoloco dalam versi mereka untuk menyerang musuh politiknya, termasuk Masyumi dan NU tentunya. Oleh karena itu, ketika akhirnya PKI mengalami kekalahan pada pemberontakan 1965, para pendukungya menjadi sasaran amukan musuh-musuh politiknya. Karena merasa terancam keselamatannya maka banyak diantara para pengikut PKI itu kemudian menjatuhkan pilihan keagamaannya kepada Kristen Protestan dan Katolik (Ricklefs, 2013 : 250). Di desa Cuntel Kopeng itu akhirnya dua per tiga penduduknya berpindah ke agama Kristen.
Singgih Nugroho, Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi da Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengabadikan peristiwa ini dalam tesisnya yang berjudul “Baptis Massal Pasca Peristiwa 30 September 1965 (studi kasus perpindahan agama ke Kristen di Salatiga dan sekitarnya pada tahun-tahun sesudah 1965)”. Dalam tesisnya, Singgih Nugroho, sebagaimana di banyak buku lain, menggambarkan betapa tindakan kekerasan yang tidak jarang berujuang pada pembunuhan, yang dilakukan secara kolaboratif antara milisi Islam dalam hal ini Anshor sebagai tertuduh utama dengan pihak militer, telah menjadikan banyak simpatisan PKI memilih menjadi Kristen ataupun Katolik. Averry T Willis menyebut angka yang cukup fantastis, yaitu dua juta orang yang akhirnya memilih menjadi Kristen / Katolik, seperti tercermin dalam judul bukunya “Indonesian Revival : Why Two Millions Came to Christ, meski angka ini diragukan oleh banyak kalangan, karena dinilai terlalu bombastis.
Sementara itu, M.C Ricklefs menampilkan data kependudukan antara tahun 1960 – 1971 yang menunjukkan jumlah jemaat dari lima denominasi Protestan yang menjadi subyek kajian Willis tumbuh secara fenomenal dari 96.872 menjadi 311.778, sebuah peningkatan lebih dari 220 %. Pada tahun 1965-7, tingkat pertumbuhan tahunannya adalah 27,6 %, sementara pada tahun 1968-1971, 13,7 %. Sebagian besar peralihan keyakinan atau konversi di dalam kajiannya terjadi secara berkelompok. Individu-individu, biasanya adalah pemimpin desa, berbicara diantara mereka, mengenai kemungkinan menjadi orang Kristen secara bersama-sama. Kadang mereka melakukannya sebagai suatu kelompok besar, tetapi yang lebih sering terjadi adalah suatu kelompok akan diikuti kelompok lain yang terkait selama kurun waktu beberapa bulan atau tahun (Ricklefs, 2013 : 250).
Menurut Willis, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan perpindahan massal keagamaan dari Islam ke Kristen/Katolik ini, yaitu 1. Reaction Factor, reaksi berlebihan dari sebagian pemimpin kelompok Islam terhadap orang-orang Islam statistik yang menjadi anggota dan simpatisan PKI telah mendorong orang-orang itu menoleh ke tempat lain untuk memperoleh bantuan spiritual dan perlindungan politik. 2. Protection Factor, Perlindungan gereja terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan orang yang belum beragama secara sungguh-sungguh, dari pembunuhan dan kehilangan status sosialnya telah memberi rasa simpati banyak orang untuk memeluk Kristen. 3. Service, perhatian dan pelayanan dari lembaga gereja, termasuk di dalamnya pendidikan, bantuan medis dan kebutuhan fisik lainnya, telah mendorong orang-orang untuk tertarik dan masuk ke agama Kristen.
Tidak sekedar berpindah agama, dendam ideologis telah mengantarkan pemeluk Kristen/Katolik baru eks PKI ini lebih agresif dalam beragama ketika bersinggungan dengan umat Islam.
“Bab ini telah menunjukkan bahwa agen “kristenisasi” tidak selalu gereja, tetapi juga sebagian warga Kristen eks tapol yang mempunyai sejarah sendiri dalam berhubungan dengan segala hal yang berabau “Islam” semasa hidup di tahanan maupun keluarga mereka semasa pembantaian 1965 – 1966 ….. Keputusan mereka untuk pindah dari Islam dan konsisten memeluk Kristan serta turut menyebarkannya seusai dibebaskan, walaupun mendapat gugatan baik dari sebagian kalangan Islam maupun umat Kristen sendiri, merupakan bagian penting dari sejarah pergumulan hidup mereka untuk mendefinisikan dirinya dan menciptakan ruang otonom yang memungkinkan untuk menjadi subyek bukan sekedar obyek, sejarah lingkungannya” (Nugroho, 2008 : 232).
Saatnya Belajar Dari Sejarah
Ketika umat Islam didominasi oleh wajah politiknya, seringkali kemudian permusuhan antara Partai Islam dengan Partai Sekular dianggap sebagai pertarungan antara Islam dengan musuh Islam. Dalam kasus kekalahan PKI pada tahun 1965, hal itu terbukti Hal itu terbukti merugikan demografi kependudukan. Pendukung Partai yang dianggap musuh Islam tadi, karena merasa dianaktirikan, akhirnya menerima pinangan agama lain. Oleh karena itu, menarik untuk mencermati pendekatn akhlak yang dilakukan oleh KH. AR. Fachruddin di Kotagede. Pendekatan non politis ini terbukti mampu mengubah wajah Kotagede Yogyakarta yang tadinya merupakan basis PKI menjadi basis Muhammadiyah. Hal ini diabadikan oleh Dr. Mitsuo Nakamura, dalam disertasinya yang sudah diterjemahan denan judul “Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin, Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta”. Bulan Sabit di atas Pohon Beringin artinya unsur-unsur santri yang digambarkan dengan bulan sabit meninggalkan unsur-unsur abangan (pra Islam) yang digambarkan dengan pohon Beringin.
Selain itu, yang lebih utama lagi adalah pemetaan dakwah dan penguatan fungsi masjid. Kita bisa belajar pada perjalanan Masjid Jogokaryan di Yogyakarta. Masjid paling terkenal di Yogyakarta dengan reputasi Internasional itu, ternyata berdiri di kampung yang dulunya merupakan basis PKI. Akan tetapi kegigihan dakwah telah mengubah wajah kampung tersebut menjadi sebuah kampung dengan nuansa keislaman yang sangat kuat.
Kalau pak AR Fakhruddin dan Muhammadiyah bisa mengubah wajah Kotagede, lain lagi ceritanya di Magelang. Kang Muh, demikian panggilan akrab adik dari KH. Abdurrohman Chudlori di Tegalrejo Magelang. Beliau yang berinisiatif untuk mengundang kesenian rakyat kaum abangan ke pesantren. Meski tampilnya kuda lumping di pesantren sempat mendapat tentangan, Kang Muh memberikan metafora, jerawat itu kalau cuma satu atau dua malah justru akan menambah manis wajah perempuan. Dan metode kang Muh ini ternyata ampuh, kaum abangan menjadi berani menyapa pesantren, pengajian-pengajian ramai diadakan di kampung-kampung yang dulunya merah. Basis MMC bagian Magelang, mayoritasnya menjadi desa Nahdhiyin.
Hal ini mungkin yang masih menjadi pertanyaan Ricklefs, kenapa pada tahun 80 an, saat itu Suharto masih kejawen dan dikelilingi Jendral yang abangan dan Katolik itu, di akar rumput malah terjadi proses santrinisasi besar-besaran di desa-desa abangan. Menurut Dr. Syamsuddin Arif, pada dasarnya, setiap kebatilan itu punya potensi self destruction karena ketidak sesuaiannya dengan fitrah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Al Israa : 81. “dan Katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap”. Oleh karena itu, pasang atau surutnya kejayaan kaum muslimin, sangat bergantung kualitas dakwah umat Islam itu sendiri.
Arif Wibowo, Sejarawan
Daftar Pustaka
M.C Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang, (Jakarta : Serambi, 2013) hal 250.
Singgih Nugroho, Menyintas dan Menyeberang, Perpindahan Massal Keagaman Pasca 1965 di Pedesaan Jawa, (Yogyakarta : Syarikat, 2008)