Islam di Lereng Merapi-Merbabu (Bagian I)

by
Foto: IStimewa

Wilayah di lereng Gunung Merapi-Merbabu, Jawa Tengah, menjadi saksi dakwah Islam vs Misi Kristen . Arif Wibowo, SP, seorang Sejarawan asal Solo, menuliskannya dalam tiga bagian.

Wartapilihan.com, Jakarta –Gunung Merapi dan Merbabu adalah saksi tumbuh kembang kekuasaan Hindu Budda sampai kematiannya. Dari Medhang Kamulan, Sriwijaya Syailendra sampai Mataram Hindunya Sanjaya. Kekuasaan yang mewariskan candi Borobudur dan Prambanan. Kerajaan tersebut akhirnya mati paksa oleh letusan besar Merapi tahun 1006. Bencana yang mengubur wilayah Candi Borobudur dan memaksa penguasanya pindah ke Jawa Timur (Kompas, 11-12-2010). Sebagai wilayah tua, ketika terjadi perpindahan massal keagamaan penduduk Jawa ke Islam, wilayah Merapi dan Merbabu masih bertahan dengan Hindu Buddanya. Dalam catatan Kareel Steenbrink pada abad ke 17 daerah ini masih merupakan wilayah Hindu.
Kebanyakan karangan Jawa kuno memang terkumpul di Pulau Bali sejak pertengahan abad ke 19. Satu-satunya koleksi besar yang lebih tua berasal dari pertapaan di lereng gunung Merbabu, dalam koleksi itu ditemukan sejumlah naskah, yang berasal dari abad ke 17. Pertapaan-pertapaan di Gunung Merapi pada waktu itu masih menganut agama Hindu. Pada periode terakhir abad ke 18, pertapaan tersebut memeluk agama Islam, sehingga koleksi Merbabu itu juga ditemukan karangan campuran Hindu – Islam dan karangan yang kurang lebih sudah murni keislamannya (Steenbrink, 1988 : 34-35).

Sejalan dengan Steenbrink, KH. Muhammad Sholikhin, seorang pemuka agama Islam di desa Pedhut Cepogo Boyolali menyatakan bahwa rintisan dakwah di daerah lereng Merapi dimulai pada tahun 1700-an. Tercatat beberapa nama seperti Kyai Handoko Kusumo, Kyai Ragasari, Kyai Hasan Munadi dan Kyai Rohmadi yang juga seorang juru kunci Merapi. Dari nama-nama tersebut yang paling legendaris adalah Kyai Handoko Kusumo, seorang keturunan arab, berkulit putih kemerahan dan berhidung mancung. Faktor hidung mancung inilah yang kemudian oleh masyarakat beliau dijuluki sebagai mbah Petruk. Hilangnya mbah Petruk saat melakukan perjalanan dakwah di Gunung Bibi (Merapi Tua) menimbulkan keyakinan bahwa ia telah moksa (ke nirvana tanpa melalui kematian) dan menjadi penunggu Merapi.
Meskipun keislaman wilayah ini cenderung terlambat, akan tetapi, ketika meletus perang Jawa (perang Diponegoro) 1825-1830, Kyai Mojo yang menjadi penasehat Pangeran Diponegoro memobilisasi pasukannya dari lereng Merapi. Wilayah ini juga mempertemukan dua pejuang Islam, yakni Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro yang melawan Belanda. Mereka bertemu Guo Rojo. Pertemuan yang membuat Belanda murka sehingga Pakubuwono VI ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Islamisasi terus berlangsung, bahkan pernah menjadi basis kekuatan perlawanan Islam terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Dakwah Terus Berjalan
Proses peralihan dari Hindu Budda ke dalam agama Islam ini berjalan evolutif. Oleh karena itu, meskipun sudah Islam, kesenian rakyatnya masih mengandung corak budaya Tantris. Dalam Kesenian Jathilan, Jalantur, Kobra Siswa maupun Topeng Ireng puncaknya adalah”kesurupan” atau “ndadi”. Ritual ini menurut Paul Stange sebagai unsur Hindu dalam tradisi Jawa (Stange, 2009 : 18). Tidak hanya itu, bahkan ritual tari telanjang untuk menolak bala juga masih dilakukan. Ritus ini dilakukan selepas tengah malam pada setiap awal bulan Syuro di Candi Lumbung. Peserta ritus bertelanjang bulat mengelilingi candi lumbung sambil membaca mantra-mantra di bawah panduan seorang pemimpin upacara (Liberty, Januari 2008 : 67).

Dalam istilah Zamakhsyari Dhofier, umat Islam yang ada di Lereng Merapi Merbabu banyak yang keislamannya terhenti pada keislaman raga, yang lazim disebut sebagai kaum abangan. Relasi antara abangan dengan kaum santri ini digambarkan dengan tepat oleh CC Berg dan Nakamura :
Bersama-sama dengan C.C. Berg, Nakamura tidak melihat polarisasi santri abangan sebagai polarisasi antara kebudayaan-kebudayaan pribumi dan asing, melainkan sebagai sebuah gejala yang terjadi dalam konteks Islamisasi yang terus menerus berlangsung di Indonesia (Ekadarmaputera, 1991 : 63)

Pendapat ini didasari oleh fenomena yang ada di masyarakat dimana kaum abangan, sangat bergantung pada santri dalam ritual utamanya.
Pada pihak lain, pada umumnya orang abangan amat membutuhkan pertolongan orang-orang santri. Justru pada jantung religius kaum abangan, yaitu di dalam kehidupan ritual mereka, mereka betul-betul tergantung pada pertolongan kaum santri. Hanya santri lah yang dapat memimpin doa di dalam ritus yang paling sentral dari orang-orang abangan, yaitu slametan. Juga santrilah yang dapat memimpin upacara ketika seorang abangan mengalami, apa yang disebut Malinowsky krisis yang paling utama dan paling final dalam kehidupan, yaitu : kematian (Ekadarmaputera, 1991 : 59-60).

Seiring meningkatnya pemahaman Islam masyarakat, menurut KH. Muhammad Sholikhin banyak ritual masyarakat yang mengalami Islamisasi, di desa Pedhut misalnya, pada bencana Merapi tahun 2006, saat terjadi letusan atau semburan awan panas, masyarakat melakukan ritual sesajen dengan menanam kepala kambing di perempatan desa. Namun pada bencana Merapi tahun 2010, ketika terjadi gempa, semburan awan panas atau letusan gunung, masyarakat sudah tidak melakukan ritual sesajen tapi mujahadahan di masjid kampung dengan jalan melakukan dzikir bersama.

Beberapa ormas besar seperti Muhamadiyah dan Nahdhatul Ulama terus melebarkan sayap dakwahnya. Selain itu beberapa pondik pesantren juga telah berdiri di seputar Merapi seperti pondok pesantren At Tauhid dan Pondok Pesantren Gontor VI yang ada di Kecamatan Sawangan Magelang.

Daftar Pustaka

Ekadarmaputera, PhD, (cet. 3), Pancasila Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1991)
Kareel A Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat, Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988)
Sumber lain :
http://lipsus.kompas.com/merapimeletus/read/2010/11/12/11015698/Letusan.yang.Mengubah.Sejarah
Majalah Liberty, 11-20/January/2008
Wawancara dengan KH Muhammad Sholikhin, salah satu tokoh masyarakat desa Pedhut Kecamatan Cepogo Boyolali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *