Sebanyak 5 korban yang merupakan polisi telah teridentifikasi, yaitu (1) Briptu Fandi Setio Nugroho, (2) Syukron Fadhli, (3) Wahyu Catur Pamungkas, (4) Yudi Rospuji Siswanto dan (5) Denny Setiadi. Mereka tewas dibunuh oleh para narapidana yang mencoba melarikan diri.
Wartapilihan.com, Jakarta –Zainut Tauhid Sa’adi selaku wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengutuk keras insiden yang terjadi di Mako Brimob Kelapa Dua oleh karena peristiwa tersebut telah menimbulkan korban jiwa para petugas kepolisian.
“Tindakan melawan aparat keamanan yang sedang melaksanakan tugas adalah tindakan kejahatan dan kriminal yang tidak bisa ditolerir dan pelakunya harus diberikan ancaman hukuman yang seberat-beratnya,” kata Zainut, Kamis, (10/4/2018), di Jakarta.
MUI meminta kepada kepolisian RI untuk bertindak cepat dan tegas mengatasi masalah tersebut sehingga pelakunya dapat segera diamankan agar tidak menimbulkan korban jiwa yang lebih banyak dan dapat memulihkan rasa aman kepada masyarakat.
“Kami meminta kepada Polri untuk segera memberikan keterangan dan penjelasan terkait dengan peristiwa yang sebenarnya, sehingga dapat menepis berita hoax dari berbagai media sosial yang menjadi viral di masyarakat, yang sumbernya tidak bisa dipertanggung jawabkan,” tukasnya.
Lebih lanjut, MUI mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tetap tenang, tidak terpancing dan terprovokasi dengan beredarnya berbagai rumor dan berita tersebut.
“Kami menyerahkan sepenuhnya penanganan masalah ini kepada aparat keamanan, karena kami yakin Polri dan TNI akan mampu mengatasi dan memulihkan keadaan ini secepatnya,” tegas dia.
Ia menghimbau agar masyarakat bersama-sama ikut berdoa dan membantu menjaga situasi dan kondisi agar tetap kondusif sehingga tidak menimbulkan kepanikan dan kecemasan di tengah masyarakat.
“MUI menyampaikan rasa duka yang mendalam atas gugurnya para anggota kepolisian yang sedang melaksanakan tugas, semoga amalnya dicatat sebagai amal kebajikan dan diberikan balasan pahala yang berlipat oleh Allah SWT. Kepada keluarga yang ditinggalkan semoga diberikan kesabaran dan kekuatan,” pungkas dia.
Sementara itu, Reza Indragiri Amriel selaku Psikolog forensik menanggapi, satu-satunya pasal yang mengandung kepedulian pada situasi pelik dalam kerja Polri ialah Pasal 41 UU Kepolisian, yaitu ‘Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah’.
“Di luar situasi tersebut, tidak ada satu kalimat pun yang memberikan penguatan kepada Polri manakala berhadap-hadapan dengan keadaan yang dapat mengakibatkan cedera, tewas, hilang, rusak, dan keadaan-keadaan mengancam serta membahayakan lainnya,” tutur Reza prihatin, kepada Warta Pilihan, Kamis, (10/4/2018).
Sebagai perbandingan, Presiden Obama menandatangani Blue Alert Act. Di Texas ada Police Protection Act. Rancangan undang-undang tersebut mengatur bahwa ancaman sanksi bagi pembunuh polisi ialah 30 tahun penjara hingga hukuman mati serta 10 tahun penjara untuk pelaku percobaan pembunuhan terhadap polisi.
“Blue Alert Act bahkan tidak semata-mata memberikan jaminan bagi personel kepolisian ‘Negeri Paman Sam’. Undang-undang dimaksud juga eksplisit memuat ketetapan bahwa keluarga petugas kepolisian termasuk dilindungi privasi, martabat, kemandirian, dan otonominya,”
Dengan demikian, apabila disepakati bahwa dinamika kejahatan dan pelanggaran hukum di dalam negeri berpotensi kian membahayakan nyawa polisi, Reza mengatakan, sudah sewajarnya dilontarkan wacana tentang pengadaan legislasi serupa.
“Diskusi mengenai topik tersebut perlu disegerakan,” pungkasnya.
Pentingnya Tindakan Presiden
Di sisi lain, Pedri Kasman selaku Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah mengungkapkan hal senada, bahwa kejadian tragis yang baru saja terjadi di Mako Brimob harus segra diusut tuntas, terutama tindakan pertama dari presiden.
“Harus pula dibuka secara transparan. Presiden harus menginstruksikan dan memastikan hal itu terjadi. Pasalnya mako adalah objek strategis dan merupakan salah satu simbol penting kekuatan keamanan negara.
Apalagi yang jadi korban juga anggota pasukan elit kepolisian, densus 88. Ini menyangkut nama baik negara di dunia internasional,” ucapnya.
Kejadian ini menurut dia mengundang tanda tanya besar. Patut diduga ada sesuatu yang salah.
“Kenapa bisa kerusuhan ini terjadi di tempat yang standar pengamanannya super ketat? Itu harus dicari dan dibuka ke publik. Demi meyakinkan publik akan kredibilitas institusi negara yang sangat strategis itu. Jangan biarkan publik menduga-duga dan membuat analisa macam-macam,” papar Pedri.
Ia menekankan, harus pula diungkap siapa pihak yang terlibat dalam rusuh itu. Siapapun yang bersalah dan lalai harus menerima akibat hukum. Tetapi jangan pula lagi-lagi hanya prajurit yang jadi korban, pimpinan dan pejabat terkaitlah yang harusnya paling bertanggungjawab.
“Yang terpenting adalah siapa dalang atau aktor utama kerusuhan ini, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak dalam,” tukas dia.
Termasuk pula dimana posisi Ahok hari ini, Pedri menegaskan, hal tersebut harus dijelaskan ke publik.
“Karena hal ini akan terus menjadi teka teki yang menimbulkan spekulasi-spekulasi liar,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini