Industrialisasi Malam Tahun Baru

by
foto:http://poskotanews.com

Budaya merayakan malam Tahun Baru ini bukanlah suatu yang berlaku sepanjang masa. Budaya ini tidak terjadi saat penjajahan terjadi di Nusantara ini. Budaya ini juga tidak juga terjadi saat Kerajaan Demak, apalagi saat kerajaan Samudera Pasai berdiri di Nusantara ini.
Wartapilihan.com, Jakarta–Perpindahan hari saat jam 12 malam merupakan suatu fenomena modern yang menjadi sebuah industri. Tidak terjadi sepanjang zaman apalagi tidak berakar di dalam peradaban Islam. Perpindahan hari ditetapkan jam 12 malam terjadi hanyalah sesuai kesepakatan pada tahun 1884.

Sebelumnya bahkan sebenarnya sampai saat ini pun perpindahan hari tidak selalu harus pada jam 12 malam. Umat Islam misalnya menetapkan perpindahan hari itu terjadi saat Magrib. Sayangnya kesadaran pindah hari bagi umat Islam itu hanya terjadi sebulan yaitu saat bulan Ramadhan tiba. Kesadaran “sebulan” yang diikuti dengan ibadah berbuka puasa Ramadhan. Seharusnya kesadaran tersebut terjadi sepanjang masa karena ibadah puasa sunnah dan lainnya juga terdapat sepanjang tahun. Puasa pertengahan bulan (Saum Bidh) terjadi dalam semua bulan Hijriah. Sebaliknya, setiap hari tidak ada perayaan yang dilakukan untuk mengingat perpindahan hari dalam tahun Masehi. Tidak ada perayaan bahkan kegiatan karena biasanya sebelum jam 12 malam, banyak yang sudahpun terlelap dalam mimpi. Mungkin dalam setahun, hanya sekali, perayaan perpindahan hari dilakukan, yaitu malam Tahun Baru.

Merayakan dalam keadaan sadar tentu lebih baik dari tidak sadar. Saat Magrib menjelang, biasanya kebanyakan manusia masih sadar. Jika ia mengetahui hari akan berpindah esok, ia bisa mempersiapkan dirinya untuk esok hari. Sedangkan jika hari berpindah tengah malam, maka ia tidak merasakan dalam keadaan sadar perpindahan hari telah terjadi.

Islam memiliki konsep waktu yang berbeda dengan waktu Masehi. Perpindahan hari dalam Islam adalah saat Magrib tiba. Sedangkan perpindahan hari dalam Masehi adalah saat jam 12 malam. Bukan hanya perbedaan konsep perpindahan hari, perbedaan konsep bulan juga terjadi antara Islam dan sistem tahun Masehi. Disebabkan bersumber dari budaya, bulan-bulan Masehi telah mengalami perubahan.

Jauh sebelum Nabi Isa as lahir, Maret ditetapkan sebagai awal bulan. Disebabkan Maret adalah awal bulan, maka September merupakan bulan ke-tujuh (septem artinya tujuh dalam bahasa Latin), Oktober merupakan bulan ke-delapan (okto artinya delapan dalam bahasa Latin), November merupakan bulan ke-sembilan (novem artinya sembilan dalam bahasa Latin) dan Desember merupakan bulan ke-sepuluh (decem atrinya sepuluh dalam bahasa Latin). Namun dalam perjalanan waktu, tatkala penemuan astronomi menetapkan setahun merupakan 12 bulan, maka, ditambahkanlah bulan Januari dan Februari.

Seharusnya Januari diletak di bulan ke-11 dan Februari diletak menjadi bulan ke-12. Namun, karena Janus merupakan dewa yang merujuk kepada penjaga gerbang, maka Janus diletak sebagai awal bulan dan Februari mengikuti selanjutnya. Ini menyebabkan bulan September yang makna asalnya tujuh, menjadi bergeser kepada urutan yang ke-sembilan. Oktober yang asalnya bermakna delapan, bergeser menjadi urutan yang ke-sepuluh. November yang asalnya bermakna sembilan, menjadi bergeser ke urutan yang ke-sebelas. Desember yang asal maknanya sepuluh, menjadi bergeser ke urutan yang ke-dua belas.

Dalam Islam, Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya bulan di hadirat Allah adalah dua belas bulan.” (QS. At-Taubah 36). Tentu bulan yang dimaksudkan adalah bulan-bulan Hijriah, bukan bulan-bulan Masehi. Ringkasnya, konsep waktu dalam Islam berbeda dengan konsep waktu Masehi. Sejatinya umat Islam tidak terjebak kepada arus besar dunia hiburan yang memang ingin menyedot secara maksimal keuntungan besar dengan mengadakan budaya baru merayakan malam Tahun Baru.

Jikapun malam Tahun Baru ingin dirayakan, maka harus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menyadarkan perbedaan konsep waktu dalam Islam yang  bersumber dari Wahyu dengan konsep waktu Masehi yang bersumber dari budaya. Selain itu, bisa juga diisi dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat yang menyadarkan manusia untuk menuruti perintah Allah. Bukan justru dengan kegiatan-kegiatan yang melalaikan dari mengikuti perintah-Nya, sebagaimana yang sering dilakukan umat manusia pada umumnya.

Adnin Armas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *