Oleh : Sri-Bintang Pamungkas
Pada minggu pertama aku menjejakkan kaki untuk pertamakalinya di Los Angeles (1977), aku dikagetkan oleh kenyataan bahwa Pasal 33 Ayat 2 UUD45 diterapkan juga, kali ini dengan benar, di Bumi AS. Tidak ada Bus Kota selain satu macam Bus Kota saja, jadi dimonopoli, yaitu RTD Bus, kependekan dari Rapid Transport District Bus. Dan di semua kota di AS juga hanya ada satu perusahaan *monopoli Bus Kota yang ditunjuk Pemerintah Daerah masing-masing sebagai satu-satunya operator bus kota di kota itu.
Wartapilihan.com, Jakarta — Pengertian “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara”, mengandung pengertian monopoli atau dikuasai, diatur, atau ditunjuk oleh pemerintah daerah dengan syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah. Syarat-syarat itu, antara lain, kwalitas prima, tarif terjangkau dan akses untuk semua orang. Juga di seluruh AS pada waktu itu hanya ada satu Bus AKAP, yaitu Greyhound. Pengertian Pasal 33(2) tersebut juga berlaku untuk jaringan gas, listrik dan air bersih.
Selama beberapa tahun di AS, saya sempat keliling AS, baik dengan mobil sendiri maupun Greyhound, ke 47 Negara bagian, kecuali Maine dan Alaska… sedang Hawaii saya kunjungi waktu ada discount transit 2 hari di Waikiki. Dari jalan-jalan itu saya tahu tentang freeway atau yang disebut dengan jalan tol (toll road) di Indonesia, yang maksudnya, tidak lain, adalah jalan bebas hambatan (antara lain, tanpa ada traffic light seperti di dalam kota). Konon, JFK (John Fitzgerald Kennedy), adalah Presiden yang memutuskan bahwa jaringan transport khas AS yang digunakan antar kota di seluruh AS adalah freeway. Sedang di dalam kota dibangun jalan-jalan layang, juga tanpa lampu lalu-lintas.
Freeway dan jalan layang itu tidak hanya bebas hambatan, tapi juga bebas bayar alias bebas bea atu gratis. Di negara-negara lain di Eropa dan lain-lain juga begitu. Jalan-jalan, atau semua jalan itu adalah barang publik, yang penting bagi Negara dan memenuhi hajat hidup orang banyak, menjadi kewajiban Negara, dan pemerintah yang mewakilinya, untuk membangunnya. Pengertiannya adalah tidak ada pihak swasta yang sanggup membangunnya… karena selain mahal, juga untuk kepentingan publik… bukan untuk kepentingan/keuntungan perorangan/korporasi seperti membangun pabrik. Oleh sebab itu pun biaya pembangunannya haruslah diambil dari publik, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah atas nama Negara. Kalau pemerintah masih mewajibkan pemakai jalan tol, seperti di Indonesia, membayar toll fee, berarti pemerintah mengambil pajak dua kali (double counting).
Apa sebenarnya tujuan dan manfaat dari Jalan Bebas Hambatan? Tidak lain adalah untuk melancarkan lalu-lintas orang dan barang, sehingga biaya angkutan menjadi murah, harga barang yang diangkut pun menjadi murah…demi perekonomian. Baik barang jadi maupun bahan baku dan bahan mentah… dari produsen hingga konsumen dan sebaliknya. Tentu berarti, dengan demikian, segala bentuk kemacetan harus dihindarkan dan dicegah pula. Dengan begitu, segala macam bentuk pungutan di jalan-jalan, termasuk toll fee, merupakan kebijakan yang menambah biaya angkutan dan bertentangan dengan ide Bebas Hambatan harus dihilangkan! Bahkan, biaya angkutan yang berlebihan bisa mengakibatkan inflasi…
Apakah dengan begitu tidak ada toll fee?! Tentu ada… bukankah istilah toll fee itu datang dari “sana” juga?! Tetapi toll fee, selain besarnya “wajar”, tidak berlebihan dan bersifat sementara, juga bisa ditujukan untuk mencegah membanjirnya lalu-lintas melewati jalan yang tidak punya nilai ekonomis, misalnya tempat atau obyek yang membahayakan. Mirip dengan pajak terhadap impor barang mewah yang bisa merusak perekonomian dalam negeri… Tetapi, justru yang aneh di Indonesia, banyak Jembatan Layang dibangun, tetapi lampu lalu-lintas (traffic light) tetap saja dioperasikan… yang tentu mengurangi efektifitas jembatan layang itu sendiri…
Dengan praktek toll fee seperti yang terjadi di Indonesia, dugaan saya, pemerintah telah melakukan tindak pidana melanggar Konsritusi, yang di dalam KUHP disejajarkan dengan pemerasan. Di dalam Pasal 23 UUD45 disebutkan, bahwa segala pungutan yang membebani rakyat harus mendapat persetujuan dari DPR. Kira-kira pasal inilah yang dilanggar… Tentu tidak hanya pada soal jalan tol saja pelanggarannya, tapi juga pada soal-soal lain, seperti TDL, harga BBM (bensin khususnya sudah menjadi barang publik) dan lain-lain pungutan yang seakan-akan sudah menjadi kewenangan pemerintah… lalu pemerintah berubah menjadi sewenang-wenang dalam memungut pungutan!
Waktu saya pulang dari AS, belum ada jalan tol di Indonesia. Beberapa tahun kemudian, tol Jagorawi baru dibuka… Waktu itu rakyat masih takjub dengan jalan tol yang mulus yang menghubungkan Jakarta dan Bogor. Dan mengira toll fee yang harus dibayar masih bisa diterima dengan pikiran “tidak akan lama”… ternyata sudah berjalan lebih dari 30 tahun, dan naik terus uang tolnya dari tahun ke tahun… menjadi permanen. Awalnya orang kagum kepada Soeharto, lalu takut… lalu mendiamkan saja apa yang diperbuatnya, dan diperbuat juga oleh anak-anaknya.
Mungkin saja persetujuan oleh DPR diberikan sekaligus di dalam APBN, inklusif ada pendapatan negara bukan pajak dari jalan tol… rakyat tidak tahu. Tapi kemudian jalan tol ini menjadi bisnis Tutut Soeharto dengan memasukkan perusahaannya, Lamtoro Gung, ke dalam BUMN Jasa Marga. Lalu maraklah pembangunan jalan tol di mana-mana, oleh banyak operator yang bersebunyi di balik saham-saham Jasa Marga untuk mencari keuntungan. Tentu tidak lupa dengan toll fee-nya… Termasuk Jalan Tol Sasrabahu, dari Cawang ke Tanjung Priok, Cawang-Tomang-Pluit, dan lain-lain. Mahasiswa saya pernah saya bimbing skripsinya menghitung berapa lama Jalan Tol Cawang-Tomang seharusnya lunas… hasilnya 15 tahun sudah lunas. Itu pun terlalu lama bagi masyarakat pengguna tol…
Praktek membisniskan jalan tol dengan toll fee-nya yang melanggar hukum ini dilanjutkan oleh Habibie dan Rezim lain-lainnya sampai Jokowi, seakan-akan menjadi praktek yang wajar. Terlebih-lebih Jokowi yang tergila-gila dengan infrastruktur ini, juga memungut toll fee dengan gila-gilaan. Sri Mulyani pun ikut tergila-gila dengan membuat pungutan apa saja, tak terkecuali lewat jalan tol. Bahkan, para pelayan Gardu Tol digantinya dengan mesin tol dan E-Toll, agar uang bisa masuk APBN dengan sekaligus, tidak “ngecer”. Pemerasan dengan toll fee berubah menjadi perampokan.
Pendapatan Negara sebetulnya bisa diperbesar tanpa memeras atau merampok rakyat. Sri Mul saja yang bodoh… Orang suka lupa, Sri Mul sendiri pernah merampok uang Negara 500 juta USD dalam Kasus Bank Century… Tapi dibebaskan oleh Rezim. Suatu ketika nanti kasusnya harus dibuka lagi. Kalau APBN ditata dengan baik, pembangunan jalan tol dan bebas hambatan tetap bisa dilaksanakan Negara, yaitu lewat Surat Utang Negara… seumur 30 tahun, misalnya. Ini sekiranya Dana Negara tidak mencukupi, lalu berutang kepada swasta berduit di dalam negeri. Hasil utang tersebut digunakan untuk membangun, dan para pemegang SUN, seperti Lamtoro Gung dan lain-lain, dibayar dengan premi bunga… dan pada akhir tahun 30 pokok utang bisa diambil. Ini adalah cara profesional dan terhormat.. tidak serakah dan tidak dengan merampok rakyat. Mereka yang berduit diajak berinvestasi dengan cara baik.
Kasus perampokan terang-terangan ini harus dihentikan, dan para pelakunya harus dihukum. Segala Peraturan Perundang-undangan yang membenarkan adanya praktek perampokan ini pun bisa dimintakan uji materi-nya ke MA dan/atau MK. Pasca Jokowi, praktek-praktek perampokan uang rakyat pembayar pajak seperti itu sudah harus hilang. Keuangan Negara harus ditata dengan profesional dan terhormat. II