Dewasa ini, hukum fikih semakin kompleks, salah satunya mengatur juga tentang penggunaan uang elektronik atau sering disebut e-money.
Wartapilihan.com, Jakarta –Mengingat pemerintah yang mulai wajibkan penggunaan e-money untuk mengakses transportasi umum di Jakarta seperti commuter line, busway dan e-toll., sering ada pertanyaan bagi umat muslim.
Seperti biaya top up e-money yang dibebankan pada konsumen sebesar Rp. 2000, bagaimana aspek syariat memandangnya? Apakah sama dengan membeli uang yang biasanya muncul pada hari raya lebaran, menukar uang 1 juta tapi dapatnya 950 ribu rupiah.
Ustadz Dr Oni Syahroni sebagai pakar fikih keuangan syariah pun menjawabnya. Ia mengatakan, menggunakan e money yang berlaku saat ini tidak diperkenankan kecuali untuk kondisi darurat, yaitu kondisi yang memenuhi tiga indikator.
Pertama, diwajibkan oleh peraturan perundang-undang, sehingga tidak bisa menggunakan jasa kecuali dengan e money tersebut. Kedua, tidak ada alternatif e-money syariah, dan ketiga, risiko finansial primer jika tidak menggunakan e money saat ini.
“Maka dibolehkan menggunakan e-money. Dengan catatan, pada saat ada e-money syariah, maka menggunakan e-money konvensional menjadi terlarang kembali,” ucap Ustadz Oni, Rabu, (11/10/2017).
Berdasarkan fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Ustadz Oni menekankan boleh menggunakan e-money dengan syarat-syarat tertentu, yaitu biaya-biaya layanan fasilitas harus berupa biaya riil dan harus disampaikan kepada pemegang kartu secara benar.
“Lalu, penggunaan uang elektronik wajib terhindar dari transaksi yang dilarang, seperti transaksi yang ribawi, gharar, maysir, risywah, israf, objek yang haram,” lanjut Ustadz Oni.
Jumlah nominal uang elektronik yang ada pada penerbit selayaknha ditempatkan di bank syariah, karena pada dasarnya transaksi di Bank Konvensional itu pinjaman berbunga yang diharamkan.
Aspek akad pun, menurut Ustadz Oni d perlu diperhatikan. Akad antara penerbit dengan para pihak dalam penyelenggaraan uang elektronika, penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesai akhir.
“Akad antara penerbit dengan pemegang uang elektronik adalah akad wadiah atau akad qardh, karena e money/ nominal uang bisa digunakan atau ditarik kapan saja. Juga, akad antara penerbit dengan agen layanan keuangan digital adalah akad ijarah, akad ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah,” imbuhnya.
“Seyogyanya, dalam hal kartu yang digunakan sebagai media uang elektronik hilang maka jumlah nominal uang yang ada di penerbit tidak boleh hilang, karena uang itu adalah milik pemegang kartu,” tandas dia.
Eveline Ramadhini