Konsep homeschooling (belajar di rumah) sudah ada sejak masa penjajahan dulu. Berawal dari kesulitannya memberikan sekolah formal, tokoh pendidikan KH. Agus Salim Dan Ki Hajar Dewantoro, menerapkan konsep pembelajaran sekolah di rumah untuk anak-anaknya. Bagaimana perkembangan homeschooling di era milenial ini?
Wartapilihan.com, Jakarta — Di era ini, praktek sekolah di rumah sudah semakin berkembang. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Budaya, saat ini 11.000 anak usia sekolah memilih untuk homeschooling. Menurut Asrilla Noor sebagai praktisi homeschooling dan konsultan pendidikan, hal ini dapat dijadikan alternatif bagi orangtua, khususnya orangtua bagi anak-anak yang berkebutuhan secara khusus (ABK).
“Untuk orangtua dengan anak spesial, hal ini juga bisa menjadi pilihan. Karena pada umumnya, anak berkebutuhan khusus kesulitan mendapatkan sekolah yang mau menerima keberadaan spesial needs. Jika pun ada, tidak didukung oleh sarana, prasarana dan SDM yg memadai,” ungkap Asrilla, dalam Parenting Online (PAROL) bertemakan ‘Program Homeschooling untuk Anak Berkebutuhan Khusus’, di Grup WhatsApp Forum Komunikasi Orangtua Anak Spesial Indonesia (Forkasi), Senin, (25/9/2017).
Menurut Asrilla, hal terpenting yang mesti dipahami orangtua, homeschooling pada dasarnya bukan sebagai solusi pelarian karema anaknya tidak diterima di sekolah umum atau sebagai jalan pintas dalam mencari solusi pendidikan bagi anaknya. “Tujuan dan target yang ingin dicapai ketika mengambil jalur homeschooling sebagai konsep pendidikan juga harus kuat san terarah, sehingga pada pelaksanaannya tidak bingung,” tutur dia.
Kompetensi orangtua sebagai pelaku homeschooling, tukas Asrilla, harus selalu ditingkatkan. Pasalnya, komitmen homeschooling tidak seperti membalikkan telapak tangan. Misal, orangtua harus bisa mengenali gaya belajar masing-masing anak, agar bisa memberikan pendampingan yang maksimal.
“Ada beberapa keluarga yang menerapkan ‘free style’ belajarnya mengalir apa adanya, tidak masalah juga jika memang sudah punya tujuan yang jelas,” imbuh Asrilla.
“Orangtua sebagai peran utama dalam pelaksanaan konsep homeschooling harus turut berperan aktif dalam menentukan arah belajar, memperhatikan bakat minat anak dan juga memenuhi kebutuhan anak dalam bersosialisasi. Walau pada prakteknya pelaksanaan homeschooling ini dibantu oleh orang-orang ahli, namun tetap pemegang keputusan ada ditangan orang tua,” lanjut Asrilla.
Sementara itu, Eni Purnawati Kardimi sebagai Praktisi Homeschooling mengatakan, khusus untuk pelaksanaan homeschooling dengan anak berkebutuhan khusus, ada beberapa hal yang harus dipahami dan dilakukan, yaitu pertama, mempelajari dan memahami terlebih dahulu sprektum anak-anaknya secara mendalam.
“Ketika sudah paham spektrum anak, orang tua akan memahami stimulus apa saja dan kurikulum apa yang dibutuhkan anak-anaknya,” ungkap Eni.
Dalam membuat kurikulum yang tepat sesuai kebutuhan anak, orangtua perlu untuk rajin mengikutsertakan anak dalam kegiatan yang bertemu banyak orang; selain itu, juga dicarikan tempat-tempat kursus yang sesuai dengan bakat dan minat anak.
“Maka, perbanyak baca buku, sharing dengan orang yg lebih pengalaman. Yang perlu dipahami, praktek Homeschooling bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja sesuai dengan kemampuan anak terhadap lingkungan,” pungkas dia.
“Dan yang terpenting untuk memulai Homeschooling, orangtua harus mempunyai komitmen yang tinggi, sehingga tidak mudah putus di tengah jalan,” tandas Eni.
Untuk diketahui, Forum Komunikasi Orangtua Anak Spesial Indonesia (Forkasi) merupakan wadah bagi para orangtua, yang di dalamnya berpartisipasi para praktisi serta pemerhati Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Wadah ini diadakan sebagai pusat informasi yang berhubungan dengan ABK.
Eveline Ramadhini