Hijrah Dalam Filosofi Bugis

by
Ilham Kadir. Foto: Istimewa

Oleh: Ilham Kadir

Hijrah dimaknai secara sederhana sebagai bepergian dengan meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahiran menuju suatu tempat dengan niat baik, ingin merubah situasi, suasana, dan kualitas hidup.

Wartapilihan.com, Jakarta –Sedang hijrah secara filosofis dapat bermakna lebih luas, karena yang mengalami perpindahan bukan lagi diliat dari fisik melainkan jauh mengembara di alam fikiran, termasuk dalam hal ini yang bersifat ideologis berupa keimanan, ketakwaan, dan nilai-nilanya seperti baik hati, ikhlas, selalu berbagi antarsesama, saling menghargai, pemaaf, penyayang, dan sejenisnya.

Indonesia sebagai bangsa yang besar, pulaunya ribuan, pendudukanya beragam, tidak kurang dari 120 suku yang bertebaran dengan budaya yang berbeda satu dengan lainnya. Di antara mereka banyak yang memiliki falsafah hidup yang sangat sinkron dengan makna hijrah, baik etimologis maupun filosofis.

Suku Bugis misalnya, membagi jenis manusia menjadi tiga tipe. Pertama dinamai “Anak Lesung” semacam batu cobek yang digunakan untuk menghaluskan bumbu-bumbuan. Alat ini masih tetap eksis walau mesin penghancur seperti blender telah ditemukan. Anak lesung selalu bersama ibunya. Si anak selalu dipukulkan pada sang ibu hingga lama kelamaan, sang ibu hancur berantakan.

Anak lesung adalah tipe manusia yang selalu berada di bawa ketiak orang tuanya, tergantung dan tidak mampu mandiri. Ia hanya mengincar harta warisan, bahkan kalau perlu mengambil dengan paksa. Persis dengan anak lesung.

Fenomena anak lesung, kian hari kian bertambah. Begitu banyak anak yang beranjak dewasa, namun kebutuhan hidupnya masih ditanggung orang tua, hingga setelah menikah, istri dan anaknya pun masih bergantung sama orang tuanya, bahkan kerap kita dengar seorang anak memperkarakan ibunya di pengadilan hanya karena berebut harta. Ada pula yang rela menghabisi nyawa orang tuanya, demi merapas pusakanya. Tipe anak ini adalah yang terjahat, baik menurut orang Bugis, maupun dalam timbangan agama dan kemanusiaan.

Jenis kedua, “Anak Pisang”, tipe ini lebih baik dari yang pertama. Pisang adalah tumbuhan yang berbuah hanya sekali, dan sebelum mengeluarkan buah, ia terlebih dahulu mengeluarkan tunas sebagai regenerasi, kadang tunasnya melebihi kapasitas sehingga makanan yang semestinya dicerna sang ibu lari ke anak, akhirnya sang ibu kurus tak berdaya.

Tipe anak seperti ini, walaupun tidak dilarang dalam agama, namun kadang mendatangkan mudharat bagi keduanya. Karena hal-hal sepele bisa menjadi besar. Seorang anak, jika dipandang telah dewasa, dan mampu mandiri setelah dibekali keterampilan dari orang tuanya, sebaiknya mancari lahan lain di bumi Allah. Terus-menerus berdekatan dengan orang tua hanya akan melahirkan kemanjaan dan bermalas-malasan. Tentu saja tidak semuanya demikian. Namun kasus-kasus perselisihan antarsaudara di kampung atau di pedalaman akrab dalam telinga. Anak pisang adalah tipe generasi jumud dan tidak berwawasan.

Jenis ketiga, “Anak Panah”, atau peluru yang ditembakkan oleh busurnya. Anak jenis ini walau berpisah dengan orang tua dan keluarganya, sewaktu-waktu ia akan kembali jika dibutuhkan, bahkan dapat kembali membantu dan merawat orang tuanya.

Tipe ‘anak panah’ sama dengan para muhajir, atau yang hijrah dari satu tempat ke tempat lainnya, mencari perubahan hidup, demi kemajuan.

Banyak contoh. Bermula ketika Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah, saat itu umat Islam mengalami penyiksaan yang tak terperikan, yang dalam istilah Alquran, al-fitnatu akbaru minal qatl, penyikaan lebih kejam dari pembunuhan (QS. 2:17). Betapa tidak, ada di antara mereka dirantai tangan dan kakinya, lalu direbahkan di atas gurun pasir yang panas membara, dicambuk, lalu ditindis dengan batu panas. Jelas, penyiksaan macam ini lebih berat daripada pembunuhan. Karena itu, umat Islam melakukan hijrah dengan meninggalkan Makkah menuju Madinah.

Setelah di Madinah, kehidupan mereka membaik, diliputi ketentraman. Bahkan justru para muhajir dari Makkah yang jauh lebih berhasil, daripada penduduk pribumi yang menjadi penolong atau “Anshar”, salah satu di antarnya menjadi kaya raya adalah Abdurrahman bin Auf.

Setelah dua belas tahun di Madinah, umat Islam memiliki pengikut yang banyak, maka ia pun ke Makkah, penduduk kota itu dibuat kaget dan kalang kabut melihat jumlah penganut agama Islam tumpah ruah di kota Makkah, banyak di antara mereka yang terpaksa masuk Islam, seperti Abu Sufyan, dan kelak menjadi sahabat Nabi yang berpengaruh, namun ada pula yang dihukum karena kesalahannya yang tidak bisa dimaafkan.

Filosofi anak panah tidak jauh bedda dengan kondisi umat Islam yang hijrah ke Madinah lalu sewaktu-waktu kembali ke Makkah dengan membawa kemenangan.

*

Setidaknya, ada dua suku di Indonesia yang memiliki branding di luar negeri, yaitu Jawa dan Bugis. Cobalah jalan-jalan ke Singapura, Brunei, atau Malaysia, maka akan dijumpai nama, Bugis Street atau Jalan Bugis, juga nama Kampung Jawa.

Bahkan di Marege, pada abad ke 17-19, orang Bugis-Makassar datang ke sana mengajari orang Aborigin cara-cara menangkap ikan, mengelolah ikan tripang dengan teknologi pengawetan, dan menaman ragam pohon dan sayuran. Banyak penduduk lokal yang masuk Islam serta menikah dengan para pendatang, sebelum akhirnya Barat datang mencaplok dan menguasai semuanya. Hingga kini hubungan suku Aborigin dan Bugis-Makassar masih terjalin secara historis.

Orang-orang asli Jakarta adalah suku Betawi yang kini mulai tersisihkan. Sementara para muhajir menguasai ibu kota dari segala aspek. Bahkan presisen RI maupun wakilnya, selalu dipilih dari kalangan muhajir, termasuk sekarang ini. Bapak Ir H. Joko Widodo yang berasal dari Solo, dan wakilnya, H.M. Jusuf Kalla yang hijrah dari Makassar.

Orang-orang Batak yang tinggal di kampung halamnnya sangat susah berkembang, para pemuda menghabiskan waktu dengan main gitar bila sendirian, main catur bila berdua, dan bikin onar bila bertiga ke atas. Tetapi jika ia hijrah, lihatlah, sopir-sopir mobil di Jakarta, hingga pengacara ulung dan artis tenar, banyak berasal dari suku Batak.

Orang Jawa, jika di kampung halamannya, sulit berkembang, banyaknya jumlah penduduk dan kurangnya lahan pertanian, membuat mereka kian terjepit. Maka hijrah adalah alternatif terbaik, di Medan, tempat orang Batak, rata-rata orang Jawa memiliki tanah yang luas, rumah yang besar, harta melimpah, dan bahkan ada yang jadi kepala daerah.

Saya, andai saja tidak hijrah dari Makassar ke Bogor untuk menimba ilmu di Universitas Ibnu Khaldun, mungkin tidak dapat menulis artikel ini, dan berbagi kepada pembaca yang pasti berasal dari kalangan muhajir atau anshar. Pendatang di Bogor adalah muhajir yang ingin mengubah nasib ke arah yang lebih baik, sementara penduduk asli yang bersuku Sunda atau Betawi adalah para Anshor atau penolong yang baik hati.

Kolaborasi antara muhajir dan anshor akan melhirkan Bogor yang maju, baik fisik dengan infrastruktur yang memadai, ataupun psikis, dengan keimanan dan ketakwaan. Itulah esensi hijrah, perpaduan antara dua golongan manusia yang dipertemuan Allah untuk tujuan kemuliaan. Selamat Tahun Baru Hijriah, 1440!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *