Setiap tanggal 31 Mei diperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau ‘World No Tobacco Day’ (WNTD) yang pertama kali diinisiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Wartapilihan.com, Jakarta – Peringatan ini mulanya disebabkan karena WHO melihat penggunaan tembakau membunuh setidaknya 10 juta orang di dunia setiap tahun, sementara pengguna tembakau di seluruh dunia mencapai 1,3 miliar.
Karenanya, WHO telah mengawali resolusi mereka melalui WHA40.38 pada 1987 dengan merayakan acara yang disebut ‘Hari Tanpa Rokok Sedunia’.
Pada ulang tahun WHO ke-40 pada yang bertanggal 7 April 1988, tercetuslah Hari Tanpa Tembakau Sedunia setiap 31 Mei.
Tema ‘World No Tobacco Day’ pada tahun 2018 ini ialah tembakau dan penyakit jantung (tobacco and heart disease). Tema ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hubungan antara tembakau dengan kesehatan jantung, termasuk stroke. Jika dikombinasikan keduanya, maka menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia.
Kampanye ‘World No Tobacco Day 2018’ ini turut ditujukan dalam rangka atasi epidemi tembakau dan meminimalisir dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, terkhusus kontribusinya dalam menjadi penyebab kematian jutaan orang secara global.
Berdasarkan data Survei Indikator Kesehatan Nasional (SIRKESNAS) tahun 2016, prevalensi merokok secara nasional di Indonesia adalah 28,5%.
Dalam rangka mengubah prevelensi tersebut, pemerintah Indonesia menggunakan ‘CERDIK’, yaitu (1) Cek kesehatan secara berkala, (2) Enyahkan asap rokok, (3) Rajin aktivitas fisik, (4) Diet sehat seimbang, (5) Istirahat yang cukup, dan (6) Kelola stres.
Upaya pengendalian tembakau dilakukan dengan penerbitan peraturan terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR) oleh Pemerintah Daerah dan membentuk Aliansi Walikota/Bupati dalam Pengendalian Tembakau.
Indikator program pengendalian penyakit tidak menular pada Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019 adalah persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal pada 50% institusi pendidikan atau sekolah.
Ironi Anak dan Rokok
Kendati pemerintah Indonesia telah memberikan berbagai program untuk meminimalisir dampak rokok terhadap kesehatan, namun masih terdapat banyak masalah. Salah satunya, penyikapan negara secara pidana dan perdata terhadap anak dan rokok.
Hal tersebut disampaikan Reza Indragiri Amriel, Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
“Pernah adakah perkara hukum di PN di Indonesia yang mengangkat pasal 76J ayat 2 UU Perlindungan Anak (UUPA)? Sepertinya belum ada satu pun. Padahal jumlah anak Indonesia yang menjadi first, second, dan third hand smoker pasti amat sangat banyak sekali,” tutur Reza prihatin, Kamis, (31/5/2018).
Tidak hanya karena masyarakat dan hukum belum menganggap serius dan genting masalah anak sebagai perokok aktif, anak sebagai perokok pasif, serta anak pengisap residu rokok yang tertinggal di berbagai barang di dekat anak.
“‘Zat adiktif lainnya’ pada pasal 76J ayat 2 juga masih terlalu abu-abu untuk dikaitkan dengan tembakau dan kandungan beracun lainnya dalam rokok.
Karena itu, lakukan revisi terhadap UUPA agar rokok dicantumkan sama eksplisitnya dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika,” tegas Reza.
Ia turut menghimbau agar Ikatan Dokter Indonesia sepatutnya mengeluarkan fatwa yang menjelaskan bahwa kandungan rokok merupakan salah satu rincian “zat adiktif lainnya”.
“Ini bermanfaat bagi otoritas penegakan hukum untuk memproses secara pidana anak yang menjadi pecandu, sakit parah, dan meninggal dunia akibat rokok,” imbuhnya.
Kedua, ia pun mempertanyakan pernahkah hakim di Indonesia memerhatikan perilaku merokok orang tua yang bercerai dan tengah memperebutkan kuasa asuh anak. Ia menganggap hampir bisa dipastikan belum pernah ada.
“Padahal orang tua wajib mengupayakan pemenuhan hak anak untuk hidup sehat. Rokok juga diakui sebagai bahaya besar bagi kesehatan anak,”
Maka dari itu, Reza menekankan, sebelum menentukan siapa yang akan memegang kuasa asuh anak (korban perceraian), hakim sepatutnya mengecek perilaku merokok orang tua. Ayah maupun bunda yang akan bercerai, dan diketahui mencandu rokok, pantas diragukan kompetensinya untuk berperan sebagai pemegang kuasa asuh.
“Bahkan, orang tua yang mengabaikan apalagi mendorong anak untuk menjadi perokok sudah sepantasnya diproses sebagai pelaku kekerasan atau pun penelantaran terhadap anak,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini