Salah satu penyakit yang sering menghinggapi pasangan suami istri dengan usia pernikahan di atas 10 tahun adalah “hambarisme” alias hubungan yang hambar. Sudah bertahun-tahun menikah tetapi tidak mencapai suasana sakinah, mawadah, warahmah. Hubungan suami istri semakin hambar, tanpa rasa, tanpa pesona, tanpa irama yang bisa dinikmati keduanya.
Wartapilihan.com, Jakarta – Hal tersebut diungkapkan Cahayadi Takariawan, konsultan keluarga. Ia mengatakan, pada saat menjadi pengantin baru, gairah cinta sangat dirasakan oleh suami dan istri. Mereka mendapatkan energi yang berlipat, sehingga hidup menjadi bersemangat dan penuh vitalitas.
“Namun seiring berjalannya waktu, persoalan hidup datang silih berganti, dan pada titik tertentu mereka kehilangan arah. Hubungan suami dan istri semakin lama terasa semakin menjauh dan hambar,” kata Cahayadi.
Hubungan yang samakin hambar antara suami dan istri, menurut dia, bukan terjadi dengan tiba-tiba. Namun ada sejumlah sebab yang memicu kemunculannya. Pertama, masing-masing diri terjebak rutinitas kehidupan.
“Suami dan istri yang sudah menampuh hidup berumah tangga lebih dari sepuluh tahun, mudah dihinggapi kejenuhan yang disebabkan oleh karena terjebak menjalani rutinitas kehidupan. Suami berangkat kerja pagi pagi, pulang sore atau malam hari. Demikian hari-hari dilalui, tanpa terasa ia telah menampuh masa sepuluh tahun lamanya berada dalam situasi seperti itu,” terang dia.
Kedua, volume kesibukan yang berlebihan juga bisa menjadi penyebab sehingga tidak ada waktu untuk bertemu, berkomunikasi maupun bermesraan.
“Mereka tertelan kesibukan yang berlebihan, sehingga membuat hidup tidak seimbang. Aneka jenis kesibukan yang sangat melenakan dan mengasyikkan, mungkin di bidang bisnis, ekonomi, birokrasi, politik, sosial, budaya, seni atau apapun jenis kesibukannya.
Jika volume kesibukan yang berlebihan itu dibiarkan, tanpa ada tindakan sadar untuk mengurangi atau memangkas sebagian, akan membuat hubungan semakin hambar,” tegasnya.
Demikian juga merasa cukup dengan apa yang ada juga akan terjadi kehambaran. Seperti perasaan, “sudah cukup seperti ini saja”, tidak perlu “neko-neko”, tidak perlu “aneh-aneh”. Hidup berumah tangga itu ya seperti ini, seperti yang dialami oleh sekian banyak keluarga lainnya. Demikian anggapan yang sering dijadikan alasan pembenaran dan pembiaran terhadap munculnya gejala “hambarisme”.
“Merasa cukup dengan yang “begini begini saja”, membuat tidak ada usaha dari suami atau istri untuk melakukan hal yang lebih baik bagi pasangan. Interaksi dan komunikasi antara suami dan istri bercoran monoton dan standar, tanpa bumbu dan variasi. Dampaknya, mudah terkena ‘hambarisme’,” dia menjelaskan.
Selain itu, penyebab lainnya yaitu ada permasalahan yang tak kunjung selesai, bukan karena bobot masalah yang besar, melainkan masalah kecil tetapi tanpa penyelesaian yang jelas.
“Ketika masalah-masalah kecil terus menumpuk, maka lama kelamaan akan membentuk gunung masalah yang sangat besar. Pada titik tertentu, gunung masalah ini siap meledak menjadi problem yang bisa merusak kebahagiaan hidup berumah tangga,”
Oleh karena itu, Cahayadi menyarankan agar suami dan istri harus punya formula untuk keluar dari setiap persoalan, dan tidak membiarkan menumpuk sehingga menjadi gunung masalah. Jika setiap persoalan segera dicarikan jalan keluar, niscaya keluarga berada dalam situasi yang sehat dan dinamis.
“Tidak melakukan pembiaran terhadap bertumpuknya masalah yang akan semakin menambah rumit penyelesaian masalah itu sendiri. Jika masalah bertumpuk tanpa penyelesaian, suami dan istri akan mudah dihinggapi perasaan hambar. Merasa lelah menjalani hidup yang penuh masalah tanpa kejelasan solusi,” tukas dia.
Kelima, terkena sindrom zona nyaman dimana seseorang sangat percaya terhadap pasangannya, sehingga tidak perlu mengetahui apapun yang dilakukan suami. Padahal, kendati suami istri harus saling percaya, di sisi lain juga harus saling menjaga.
“Tidak boleh cuek dan membiarkan pasangan melakukan perbuatan yang tidak patut. Kepercayaan itu diimbangi dengan penjagaan, sehingga tidak membiarkan pasangannya melakukan kesalahan atau penyimpangan,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini