Janji kampanye adalah hutang politik yang harus dibayar lunas oleh seorang pemimpin. Hal ini juga berlaku terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan. Saat Kampanye pilkada Jakarta, Anies-Sandi berjanji akan mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam audit laporan keuangan.
Wartapilihan.com, Jakarta –Guna mewujudkan janji kampanye itu, maka tak ada pilihan lain kecuali Gubernur Anies harus melakasakan rekomendasi BPK, khususnya tentang kasus RSSW (Rumah Sakit Sumber Waras). Sebab, akan menjadi dasar bagi BPK untuk memberikan penilaian opini WTP kepada Pemprov DKI Jakarta.
“Rekomendasi BPK tersebut tidak pernah dilaksakan oleh gubernur Ahok maupun oleh Plt (pelaksana tugas) Gubernur Sumarsono. Gubernur Djarot Syaiful Hidayat penah melaksanakan rekomendasi BPK ini, namun hasilnya belum tuntas,” ujar Sugiyanto kepada Warta Pilihan (wartapilihan.com) di Jakarta.
Jika mendalami hasil LHP BPK, lanjut Ketua Umum Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar) itu, maka dapat disimpulkan bahwa rekomendasi yang dibuat oleh BPK untuk gubernur merupakan kesimpulan yang netral. Rekomendasi itu dibuat oleh BPK demi mencegah terjadinya kerugian keuangan daerah dan membantu gubernur dalam menjalaknan pemerintahan daerah dengan prinsip good and clean goverment (pemerintahan yang baik dan bersih).
“Hanya saja, Gubernur DKI Jakarta saat itu (Ahok) menolak rekomendasi pembelian tanah RSSW. Sedangkan, rekomendasi BPK itu adalah aturan hukum yang bersifat final dan mengikat serta wajib dilaksankan oleh Gubernur Ahok,” tuturnya.
Sejatinya, kata Sugiyanto, Ahok sangat khawatir untuk menjalankan rekomendasi BPK, karena dapat disimpulkan, Ahok telah melakukan kesalahan. Pembelian tanah RSSW itu terjadi karena surat disposisi Ahok yang dikeluarkan hanya berselang satu hari, setelah surat penawaran penjualan tanah disampaikan oleh YKSW.
“Bagi Ahok, menjalankan rekomendasi BPK bagaikan memakan buah simalakama. Artinya, Ahok berada dalam posisi sulit karena rekomendasi BPK itu merupakan pilihan yang tidak enak dan menjadikan Ahok pada kondisi yang serba salah,” ungkapnya
Andaikan Ahok meminta kepada YKSW tanah RSSW yang berada di Jl Kyai Tapa, terang Sugiyanto, maka jelas ini tidak mungkin, sebab ada permasalahan lain dengan tanah tersebut. Sedangkan membatalkan pembelian atau menagih indikasi kerugian keuangan daerah Rp. 191 milyar, tentunya akan menjadi masalah baru (dugaan korupsi) bagi Ahok.
“Lantaran dalam prinsip hukum meskipun kerugian negara dikembalikan ke kas Negara, namun tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana,” imbuhnya.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam UU nomor 31` tahun 1999 tentang peberantasan tindak pidana korupsi pada pasal (4). Pada pasal 3 UU tersebut menegaskan bahwa Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana dengan pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
“Berdasarkan pada UU No 15 Tahun 2014 Tentang Pemeriksaan Pengelolahan Dan Tangung Jawab Keuangan Negara, maka rekomendasi BPK tersebut masih berlaku dan wajib bagi Gubernur DKI Jakarta saat ini Bapak Anies Rasyid Baswedan untuk melaksanakannya,” saran dia.
“Gubernur Anies tidak bisa menghindar atau berputar-putar tentang hal menjalankan rekomendasi BPK untuk kepentingan mendapatkan opini WTP. Sebab, rekomendasi BPK itu ditujukan kepada gubernur. Hanya gubernur yang bisa melaksankannya, bukan pejabat lainnya. Bila dipandang perlu gubernur dapat membentuk TIM untuk membantu menjalankan dan menuntaskan rekomendasi BPK tersebut. Batasan waktu untuk menjalankan rekomendasi BPK juga harus ditetapkan,” tukasnya.
Hal penting lainya yang harus dilakukan oleh Gubenur Anies, kata Sugiyanto adalah menyatakan bahwa hasil LHP BPK RI adalah benar dan akan melaksankan semua rekomendasi BPK termasuk RSSW. Pernyataan Gubernur penting lantaran Ahok berpendapat rekomendasi BPK untuk pembelian tanah RSSW keliru. Dalam hal ini, harus dapat dipastikan Gubernur Anies terhindar dari pembisik-pembisik (pejabat) pemprov DKI Jakarta dan lainnya yang mempunyai kepentingan dengan kasus RSSW.
“Selanjutnya, Gubernur Anies dapat meneruskan langkah gubernur sebelumnya dalam menjalankan rekomendasi BPK. Akan tetapi, bila dipandang perlu dapat memulai dari rekomendasi Melakukan upaya pembatalan pembelian tanah RSSW seluas 36.410 M2 dengan pihak YKSW,” terang dia.
Menurutnya, upaya pembatan pembelian tanah RSSW 36,410 m2 (3,6 Ha) adalah pilihan utama yang harus dilakukan oleh gubernur. Apabila upaya pembatalan gagal, maka gubernur dapat melaksanakan rekomendasi alternatif lainnya. Pertama, memulihkan indikasi kerugian daerah minimal senilai Rp. 191.334.550.000,- atas selisih harga tanah dengan PT. CKU, dan kedua meminta pertanggungjawaban pihak YKSW untuk menyerahkan lokasi fisik tanah di Jl. Kyai Tapa sesuai dengan yang ditawarkan kepada pemprov DKI, bukan fisik tanah yang berada di Jl. Tomang.
“Akan tetapi bila semua usaha terbut juga kandas, maka dapat disimpulkan indikasi kerugian keuangan daerah telah menjadi benar adanya. Lebih lanjut, bila kegagalan itu disebabkan oleh pihak YKSW yang tidak bersedia memenuhi rekomendasi BPK, maka hal ini dapat dijadikan sebagai bukti penyebab terjadinya indikasi kerugian keuangan daerah sebagimana disebutkan pada rekomendasi BPK,” tandasnya.
Dengan demikian, ujar Sugiyanto, gubernur dapat menyampaikan laporannya kepada BPK-RI Perwakilan DKI Jakarta. Kemudian, berdasarkan atas perintah rekomendasi BPK dan atas nama negara, Gubernur Anies dapat menempuh langkah hukum untuk mencari penyelesaian kasus ini. Sebab, hanya melalui proses hukum kasus RSSW bisa dituntaskan.
“Setelah itu, Gubernur Anies dapat mewujudkan janji kampaye mendapatkan opini WTP, yaitu menuntaskan memulihkan indikasi kerugian keuangan daerah pemprov DKI Jakarta,” ucapnya.
Ibarat pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, dengan melaksanakan rekomendasi BPK tentang kasus RSSW, maka gubernur Anies juga telah mengejakan pekerjaan lain dan mendapat beberapa keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama yaitu, gubernur telah melaksanakan rekomendasi BPK yang merupakan upaya menunaikan janji kampanye untuk mendapatkan opini WTP dalam audit keuangan BPK.
“Keuntungan kedua, gubenur dapat membantu menuntaskan kasus RSSW dengan proses penyelesaian pada ranah hukum. Manfaat lain yaitu, Gubernur Anies telah membantu penegak hukum dalam menangani kasus RSSW,” tutupnya.
Sebagai informasi, berikut hasil analisa kasus RSSW berdasarkan LHP BPK tentang pembelian tanah seluas 36.410 m2 (3,6 ha) oleh Pemprov DKI Jakarta dengan total anggaran sebesar Rp. 800.000.000.00,- (Delapan Ratus Milyar Rupiah).
Pada kasus RSSW diduga terjadi KKN dan diduga tidak mematuhi Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta terindikasi merugikan keuangan daerah senilai Rp. 191.334.550.000 atau Rp. 484.617.100.000.
Disamping itu, juga diduga terjadi kesalahan kebijakan untuk pembelian tanah seluas 36.410 m2 (3,64 ha ) yang berpotensi merugikan keuangan daerah sebesar Rp. 755.689.550.000 ( Tujuh ratus lima puluh lima milyar enam ratus delapan puluh sembilan juta lima ratus lima puluh ribu rupiah ).
Patut diduga bahwa pembelian tanah sesuai NJOP adalah hanya untuk pembenaran yang seolah-oleh pemprov DKI bembeli dengan harga murah, dan benar serta tidak bermasalah. Dan juga Patut diduga hanya untuk mencukupi target penyepan APBD-P 2014 dan pemborosan. Sebab, perubahan pengusulan APBD-P untuk membeli tanah 36,410 M2 tidak bisa dibenarkan, karena bukan merupkan persyaratan atau kriteria keadaan darurat atau mendesak sesuai pasal 163 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan persyaratan lainnya.
Satya Wira