Presiden Joko Widodo menargetkan seluruh pembangunan infrastruktur yang sedang berjalan rampung pada tahun 2018. Akankah portofolio kinerja itu digunakan alat untuk memenangkan kontestasi Pilpres pada 2019 mendatang?
Wartapilihan.com, Jakarta –Tiga tahun pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla menjadi waktu krusial guna merealisasikan pembangunan bangsa yang dituangkan dalam nawacita. Sayangnya, Jokowi lebih memperioritaskan pembangunan infrastruktur dibanding pembangunan sosial ekonomi yang memiliki manfaat lebih luas. Hal itu disampaikan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani dalam sebuah diskusi di bilangan SCBD, Jakarta Selatan, Ahad (22/10).
“Kita melihat anggaran infrastruktur menyerap Rp 600 Triliun. Jokowi juga mengalihkan dari tol laut menjadi tol darat. Bahkan, harus menutupi target pembangunan termasuk pinjaman hutang luar negeri selain pajak. Kami melihat di sisi lain baik, tetapi ini (akselerasi pembangunan infrastruktur) dikejar untuk pemilu 2019,” ujar Muzani.
Akibatnya, lanjut Muzani, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berdarah-darah bahkan mencapai batas likuiditas. Selain itu, menurut dia, daya beli, kualitas hidup, kesejahteraan, dan kesehatan rakyat menurun.
“Saya kira beban ini menjadi berat. Pemerintah harus melakukan reorientasi terhadap pembangunan, kalau tidak berani yang menjadi korban adalah rakyat. (Rp) 514 Triliun hutang harus dibayar karena jatuh tempo. Fungsi kami (Gerindra) adalah cek and balance. Bukan berarti terus menerus mencari kelemahan Jokowi,” ungkap Muzani.
Dia berharap, dua tahun tersisa kepemimpinan Jokowi – JK digunakan untuk optimalisasi kedaulatan rakyat dari berbagai sektor. “Di waktu tersisa (2 tahun) pemerintahan Jokowi harus lebih efektif agar beban hidup masyarakat menjadi ringan,” saran dia.
Kendati demikian, Jokowi memiliki angka kepuasan cukup tinggi yaitu 67,5% berdasarkan hasil survey yang dilakukan Polmark Research Center (PRC), sejak tanggal 9 sampai 20 September menggunakan metode multi stage random dengan margin of error 2,1%.
“Namun masyarakat yang menginginkan Pak Jokowi lanjut (menjadi Presiden) hanya 44 persen dan 32,4 persen tidak menginginkan. Yang menjadi sebab koresponden tidak ingin Pak Jokowi memimpin adalah menginginkan pemimpin baru, kurang tegas dan belum ada perubahan,” tutur Eep.
Terlebih, 28 persen masyarakat merasakan garis kemiskinan merupakan persoalan mendasar diiringi harga kebutuhan yang terus meningkat. Serta persoalan lain seperti korupsi yang merajalela, sulitnya mendapat pekerjaan, pelayanan kesehatan belum merata, diskriminasi SARA dan supremasi hukum yang mandul.
“Prabowo sekalipun dia menjadi penantang terpenting dalam Pilpres 2019, larinya pemilih Jokowi 13 persen bukan ke Prabowo. Bahkan pemilih Prabowo turun 6 persen. Survey ini mengingatkan kalau kedua-duanya tidak hati-hati, akan muncul tokoh alternatif. Siapa? Wallahu Alam,” tutupnya.
Peneliti LIPI Siti Zuhro menambahkan, suatu anomali ketika kepuasan masyarakat tinggi, tetapi elektabilitas tidak sepadan. Padahal, kata dia, di beberapa daerah, elektabilitas petahana tetap tinggi dan tidak memiliki resistensi.
“Kalau Jokowi on the top karena memang petahana dan tidak ada calon lain. Gegap gempita 2014 yang ditarik ke 2017 hanya 40 persen, itu menurut saya alarm,” ujar Siti Zuhro.
“Presiden harus memberikan Legislasi. Seperti Pak SBY. Jangan hanya infrastruktur karena itu tidak bisa menjadi modal. Pak SBY menangkap grass root. Kalau pak Jokowi kan infrastruktur, itu bagus. Tapi dengan masyarakat yang terbelah seperti ini, itu tidak cukup. Karena infrastruktur kan bicara jangka panjang,” imbuhnya.
Ahmad Zuhdi