Okeh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Tidak ada yang naik! Hanya menjual gas elpiji 3 kg non subsidi. Karena ada kebutuhan. Tanpa mengurangi produksi yang subsidi. Harganya? Kira-kira 39.000. itu usulan dari Deputi Bidang Usaha Pertambangan, kata Nicke Widyawati, Plt Dirut PT. Pertamina.
Wartapilihan.com, Jakarta –Karena ada kebutuhan. Tanpa mengurangi jumlah produksi gas bersubsidi. Lalu, siapa yang jamin produksi tidak berkurang? Siapa yang jamin tidak ada penyimpangan? Siapa yang jamin gas elpiji 3 kg bersubsidi tidak hilang dari peredaran? Kok jadi curiga? Karena rakyat sudah terlalu sering jadi korban modus.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum produksi gas elpiji non-subsidi yang direncanakan tanggal 1 juli besok. Pertama, produksi gas elpiji 3 kg non-subsidi rawan penyimpangan. Gas non-subsidi 12 kg saja banyak penyimpangan, dengan cara dipindahkan dari tabung 3 kg bersubsidi ke 12 kg non-subsidi. Apalagi satu ukuran. Sama-sama 3 kg. Tinggal mindahin tempat jualan. Praktis dan mudah. Gak pakai rribet. Kalau beda warna tabung gasnya, tinggal mindahin gasnya, tanpa ukur ulang. Apalagi kalau pemainnya adalah oknum Pertamina sendiri. Lebih mudah. Kan ada pengawasan? Para pemain sering lebih pintar dan lebih berkuasa dari yang ngawasi.
Kedua, meningkatnya penyimpangan berakibat langkanya gas elpiji 3 kg bersubsidi di pasaran. Saat ini, karena keterbatasan stok, gas elpiji 3 kg sering hilang dari peredaran. Apalagi kalau sudah ada gas elpiji 3 kg yang non-subsidi.
Wajar, dan tak bisa disalahkan, jika masyarakat mulai curiga. Ide untuk produksi gas elpiji 3 kg non-subsidi jangan-jangan memang didesign untuk mengurangi secara bertahap, halus dan tak terasa, gas elpiji 3 kg yang bersubsidi. Modus pengalihan. Supaya tak ada gejolak dan protes dari rakyat.
Kenapa tidak terus terang saja. Kalau memang kenaikan gas elpiji dibutuhkan, karena ekonomi negara sedang sulit, lebih baik bicara apa adanya. Biar rakyat juga paham. Ngerti dan bisa ikut menanggung beban negara. Tidak perlu cara-cara yang tersembunyi, rawan penyimpangan, dan terkesan membodohi rakyat.
Setelah batal menaikkan tarif Tol JORR, dari 9.500 ke 15.000 pada tanggal 20 Juni kemarin, kini mencoba beralih ke gas elpiji. Padahal di atas pintu tol sudah tertulis Rp. 15. 000. Karena gak jadi, papan tulis itu sekarang ditutup pakai lap ban. Lucu juga.
Negara ini bukan hanya milik penguasa, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Rakyat berhak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan ekonomi negeri ini. Libatkan rakyat dalam mengambil setiap keputusan. Kecuali jika rakyat sudah menghitung bahwa pemerintah tak sanggup lagi kelola negara. Itu soal lain. Kalau pemerintah merasa masih sanggup dan selamatkan negara dari ancaman krisis ekonomi, rakyat mesti diajak terlibat untuk bersama-sama menanggulangi. Kita punya contoh Malaysia. Rakyatnya patungan untuk bayar hutang negara.
Ekonomi baik-baik saja. Hutang masih wajar. Kalau begitu, kenapa harus bernafsu cabutin subsidi? Listrik naik, BBM naik, pupuk naik, tol naik. Hanya harga diri yang tak naik. Kalau ekonomi negara baik-baik saja, subsidi tak perlu dikurangi. Itu penertiban, katanya. Supaya tepat sasaran. Kalau penertiban, tak akan ada pencabutan subsidi. Penertiban tak perlu ada kenaikan harga.
Kenaikan harga tak masalah jika pertama, betul-betul dibutuhkan untuk kepentingan negara, bukan kelompok, apalagi kepentingan biaya politik. Kedua, pemerintah transparan. Tak sembunyi-sembunyi. Rakyat pun ikut terlibat dan didengar suaranya. Ketiga, tak ada maksud dan proses penyalahgunaan. Keempat, rakyat sanggup menanggung segala konsekuensinya. Termasuk naiknya harga bahan pokok dan kebutuhan lainnya.
Jika empat syarat ini dipenuhi, demi stabilitas ekonomi Indonesia, rakyat pasti bisa mengerti. Bisa paham. Gak ngerti karena empat syarat di atas sering sengaja tak dipenuhi.