Kewajiban mengeluarkan zakat tidak dapat digantikan dengan ibadah mahdah lainnya. Zakat memiliki kedudukan yang penting dan fundamental dalam Islam. Dalam perkembangannya, persoalan zakat bukan saja berkisar pada dimensi mahdah, melainkan juga mengalami perluasan pada dimensi sosial dan ekonomi. Karena itu para ulama menyatakan bahwa zakat itu adalah العبادة المالية الإجتماعية, yaitu ibadah dibidang harta yang memiliki peran sosial yang sangat penting.
Wartapilihan.com, Jakarta –-Demikian disampaikan Direktur Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor Didin Hafidhuddin pada acara Konsolidasi dan Sosialisasi Program Majlis Dakwah dan Seminar Zakat Profesi, Pimpinan Pusat Al Irsyad Al Islamiyyah, Jakarta, Ahad (4/3).
“Zakat ternak itu Cuma mencakup beberapa jenis hewan saja seperti kambing, unta, dan sapi, lalu bagaimana dengan zakat ternak ayam, lele, dan hewan-hewan lainnya?”, tanya Didin Hafidhudin.
Zakat profesi belakangan ini merupakan sesuatu yang hangat diperdebatkan, apakah ada landasan hukumnya dalam Islam atau tidak ada. Dasar dalam penetapan zakat profesi/penghasilan juga dapat dilihat dari sejarah dari zaman nabi dan para sahabat serta para tabiin. Setelah penaklukan kota Mekkah, Rasulullah SAW menetapkan kepada Uttab bin Asid ra yang kala itu menjadi Gubernur Mekkah, untuk menyisihkan sebanyak dua dirham setiap hari ke baitul maal. Utsman bin Affan ra juga menetapkan zakat atas setiap upah atau gaji yang diberikan kepada pegawainya selama mencapai nishab.
زکاة أجور العمال (أُعِطيَّات)، قال مالك في “الموطأ”: “قال القاسم بن محمد: وكان أبو بكر إذا أعطى الناس أُعطِيَّاتهم يسأل الرجل: هل عندك من مال وجبت فيه الزكاة…”.
“Zakat upah pegawai/gaji, berkata imam Malik dalam Al-Muwattha’, berkata Qosim bin Muhammad, dan adalah Abu Bakar apabila memberi kepada orang-orang upah/gaji mereka: apakah engkau memiliki harta yang wajib dizakati?”.
Selanjutnya, Mu‟awiyah bin Abi Sofyan ra ketika menjadi khalifah juga menetapkan zakat atas tiap-tiap upah/u’tiyat. Pada masa tersebut, sejumlah sahabat nabi yang masih hidup tidak mengingkari kebijakan Mu‟awiyah ra tersebut, yang berarti mereka menyetujui kebijakan untuk mengenakan zakat penghasilan secara rutin. Sementara Umar bin Abd al-Aziz selalu mengambil zakat setiap kali menggaji pegawainya. Beliau juga mengambil zakat dari harta-harta yang pernah disita pemerintah yang dikembalikan kepada pemiliknya. Bahkan ia juga mengambil zakat dari setiap komisi yang ia berikan kepada seseorang. Ibnu Abbas ra menanggapi seseorang ketika mendapatkan manfaat harta dari pekerjaannya dengan mengatakan bahwa “hendaknya orang tersebut mengeluarkan zakatnya pada hari ia mendapatkannya”.
Al-Irsyad sebagai salah satu ormas Islam tertua di negeri ini, yang berdiri pada tahun 1914, berusaha untuk memberi pencerahan kepada umat bagaimana seharusnya bersikap mengenai permasalahan zakat yang berkembang belakangan ini dengan menghadirkan pakar-pakar zakat Indonesia, seperti Prof. Didin dan Dr. M. Yusuf Shodiq.
“Dalilnya harus dengan qiyas! Kita ini zakat fitrah dengan apa? Beras kan, dalilnya mana? Qiyas kan?,” lanjut mantan Ketua Umum BAZNAS itu.
Dalam seminar ini ia menjelaskan bahwa zakat profesi memiliki landasan hukum yang jelas, yaitu qiyas, landasan hukum yang sama dengan landasan hukum zakat fitrah dengan beras. Dalam zakat fitrah, Rasullullah SAW mewajibkan kepada setiap muslim satu sho’ beras atau satu sho’ gandum dari hadist inilah yang menjadi dasar pengqiyasan kewajiban beras kepada kaum muslimin Indonesia, yaitu persamaan makanan pokok.
Dalam seminar ini Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat itu juga menggambarkan bahwa zakat profesi dapat menjadi suatu kekuatan ekonomi umat yang sangat besar dan menjadi salah jalan keluar dari permasalahan ekonomi umat. Ia memberikan permisalan dengan perusahaan PLN yang tadinya tidak mewajibkan zakat profesi bagi para karyawannya.
“Sebelum diwajibkannya zakat profesi, zakat yang terkumpul pada perusahaan ini hanya 164 juta, tetapi setelah diwajibkan zakat profesi, zakat yang terkumpul mencapai 6,4 Miliyar,” ungkapnya.
Karenanya, kata Ketua BKsPPI itu, pengelolaan zakat oleh LAZ/BAZ sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 memiliki berbagai manfaat. Pertama, lebih sesuai dengan tuntunan syariah (al-Qur’an) dan sirah nabawiyyah maupun sirah para sahabat dan tabi’in
Kedua, Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat;
“Ketiga, Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki,” tukasnya.
Keempat, Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Kelima, Untuk memperlihatkan syi’ar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami.
“Keenam, sesuai dengan prinsip modern dalam indirect financial system,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi