Meninggalnya dua remaja di Blitar dalam waktu yang berdekatan mengejutkan banyak pihak. Mengapa bisa terjadi?
Wartapilihan.com, Jakarta – Kasus pertama adalah meninggalnya siswi SMP yang bernama EPA (16 tahun) akibat gantung diri di kamar kosnya. Diduga EPA bunuh diri karena takut tidak bisa diterima masuk di salah satu SMA favorit di kota Blitar, karena terbentur sistem zonasi.
Dua hari setelah kematian EPA, warga Blitar dikejutkan dengan berita kematian BI yang merupakan pelajar yang baru dinyatakan lulus dari SMP di Kabupaten Blitar. Warga Kecamatan Kanigoro itu nekat mengakhiri hidup dengan gantung diri. Pelajar 15 tahun itu ditemukan tewas tergantung pada seutas tali tambang di kamarnya. Motif bunuh diri diduga karena ingin dibelikan motor.
Menanggapi hal tersebut, Retno Listyarti menanggapi, usia remaja bagi sebagian orang bisa menjadi masa-masa yang sulit serta bisa menjadi periode yang dipenuhi oleh kekhawatiran dan stress.
“Remaja dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya untuk bertindak secara bertanggung jawab, namun sekaligus sering dituntut untuk berprestasi, dan secara bersamaan juga memasuki masa pubertas,” kata Retno, Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Jum’at, (1/6/2018).
Ia mengungkapkan, kebutuhan remaja untuk memiliki kebebasan sering kali bertentangan dengan peraturan dan harapan di dalam lingkungannya, baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas, sehingga menimbulkan pemberontakan dan jika tidak mampu dikelola akan menimbulkan stress, depresi, bahkan bisa bunuh diri.
Sebab mengahadapi anak-anak diusia yang baru memasuki masa pubertas memang tidak mudah. Oleh karena itu, KPAI mendorong orang dewasa di sekitar anak, baik orangtua maupun guru untuk memiliki kepekaaan sehingga mampu mencegah anak-anak melakukan tindakan bunuh diri.
“Alasan seorang remaja melakukan percobaan bunuh diri bisa begitu rumit yang sekaligus pada sisi lain mungkin bukan suatu hal yang dianggap berat bagi orang dewasa pada umumnya. Oleh karena itu, jangan langsung menghakimi remaja yang sedang dirundung masalah” terangnya.
Retno menambahkan, hal yang harus dilakukan orang dewasa di sekitar anak adalah memiliki sensitivitas (kepekaan) dan kenali tanda-tanda remaja berniat melakukan bunuh diri dan segera upayakan langkah pencegahan.
“Jangan abaikan tanda-tanda perilaku remaja yang berniat bunuh diri. Dengarkan semua yang dia ingin sampaikan danselalupantau tindakannya. Jangan mengabaikan ancaman bunuh dirinya dan justru melabelinya sebagai individu yang suka bersikap berlebihan.
Cobalah untuk bertukar perasaan dengan anak dan pastikan dia tahu kondisi yang dialaminya adalah normal. Tiap orang pernah mengalami masa-masa terpuruk dan pada akhirnya semua akan baik-baik saja,” imbuhnya.
Retno menekankan, yang perlu didorong kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah memenuhi 8 standar nasional pendidikan (SNP), terutama standar sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh Indonesia dan kedua standar pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas dan merata di seluruh Indonesia, sehingga seluruh sekolah berkualitas sama dan tidak perlu ada yang dilabeli sekolah unggulan atau sekolah favorit lagi.
“Andai kualitas sarana prasarana dan kualitas pendidik di kabupaten Blitar sama dengan di Kota Blitar, pastilah EPA tidak perlu takut jika tidak diterima di SMAN kota Blitar karena ada kesempatan diterima di SMAN di kabupaten Blitar yang memiliki kualitas yang sama dengan SMAN di kota Blitar,”
Hal ini menurutnya merupakan momentum yang seharusnya menjadi dorongan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk terus berupaya memenuhi 8 standar nasional pendidikan nasional merata di seluruh Indonesia.
Eveline Ramadhini