Dua Prinsip dalam Penulisan Sejarah Islam

by
Ilustrasi para ilmuwan Muslim sedang berdiskusi.

Rekonstruksi penulisan sejarah atau historiografi Islam pernah menjadi fokus para cendikiawan Muslim dari mulai Muhammad Husain Haekal, Syaikh Muhammad Quthb, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi hingga sejarawan Muslim Professor Akram Dhiya Al-Umari.

Wartapilihan.com, Jakarta –Akram Dhiya Al-Umari, yang tidak lain profesor sejarah di Universitas Islam Madinah, pernah menyebutkan dalam bukunya Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi (Madinan Society at the Time of The Prophet: Its Characteristic and Organization): “Kebutuhan akan menulis kembali historiografi Islam serta rekonstruksi sejarah Islam merupakan salah satu isu yang paling menghadang sarjana-sarjana Muslim sejak dekade 1960-an,” meskipun begitu, upaya perlawanan terhadap narasi-narasi orientalis sudah ada lebih awal.

Menurut Dhiya Akram Al-Umari ada beberapa hal yang membuat ‘proyek’ reformulasi atau rekonstruksi studi sejarah Islam menjadi sangat sulit, di antaranya karena periode sejarah Islam amat panjang dan sumber-sumbernya banyak yang berbeda, perbedaan tersebut disebabkan cara-cara beragam dalam memanfaatkan sumber-sumber sejarah tersebut, serta banyaknya distorsi dalam bidang politik, yang pada periode berikutnya muncul pula problem lainnya yakni distorsi pada bidang sosial, ekonomi, pendidikan, sebagai terusan dari distorsi bidang politik.

Di atas itu semua, permasalahan utama dalam sejarah Islam ialah distorsi yang lebih serius pada dasar keimanan dan aqidah yang terjadi pada abad sekarang ini, paling tidak sudah berlangsung sejak awal abad 19, meskipun dalam beberapa abad belakangan masyarakat Islam sangat minim menghasilkan karya-karya tulisan sejarah yang bermutu. Distorsi-distorsi itu mempengaruhi berbagai motif bagi tergambarkannya arah gerakan sejarah Islam.

Menurut sejarawan yang satu ini pengembalian konteks penulisan sejarah pada masa awal Islam adalah kunci problematika dalam studi sejarah dan historiografi Islam. Periode paling awal kajian sejarah Islam itu adalah sirah (sejarah kenabian) dan era khulafaurasyiddin, suatu masa yang pengaruh iman berada pada tingkat paling kuat dalam membentuk tujuan-tujuan kaum Muslimin, di mana sumber-sumber sejarahnya mempergunakan metode transmisi riwayat-riwayat yang sebagaimana dalam hadits diproses dengan silsilah nama-nama para perawi. Dalam gagasannya ia mengakui jika periode awal Islam itu merupakan prototipe dan ideal yang harus ditiru oleh masyarakat kita sekarang.

Kita harus sepakat akan adanya standarisasi unsur-unsur prinsipil historiografi Islam, yang dengannya konteks pengembalian dan tujuan penulisan tersebut menjadi jelas. Apa-apa saja unsur prinsipil yang harus dipetik dari historiografi awal Islam untuk menjadi pijakan penulisan sejarah ke depannya. Berikut beberapa gagasan pemikiran penulis tentang unsur-unsur prinsipil historiografi Islam dari Al-Qur’an maupun yang secara implisit ada di kitab-kitab sejarah klasik.

Nilai tauhid dan moral Islam, ini merupakan pembeda historiografi (penulisan sejarah) Islam dengan yang chauvinistik yang bertipe Kristen maupun yang mengedepankan superioritas kebangsaan dan ras, maupun dengan historiografi yang bercorak sekularistik. Historiografi Islam tidak bisa bertentangan dengan tujuan hidup umat manusia itu sendiri, yaitu peribadahan untuk mengesakan Allah SWT semata (tauhid) dengan segala aspek kebajikan dalam amal shalih (moral) beserta hukum-hukumnya.

Oleh karena itu penghilangan unsur-unsur chauvinistik dan sekularistik dari tipe penulisan sejarah yang digunakan orientalis merupakan hal yang harus diupayakan oleh para sejarawan Muslim dalam merekonstruksi penulisan sejarah Islam yang baik. Di samping “dechauvinisme” dan “desekelurisme” yang harus dihilangkan, upaya tersebut wajib dibarengi juga dengan standarisasi unsur-unsur prinsipil dalam penulisan sejarah Islam itu sendiri sehingga tidak asal mengganti begitu saja. Untuk itu interpretasi, narasi dan pengembalian konteks itu harus berdasarkan konsep qashash dalam Al-Qur’an, di mana qashash adalah uraian Al-Qur’an mencerminkan sejarah. Lagi pula kitab-kitab sejarah Islam seperti karya Ibnu Hisyam, Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Al-Baladzuri dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pun bisa jadi gambaran, betapa tulisan sejarah waktu itu tetap dilandaskan pada sudut pandang Islam dan bertujuan dalam menggambarkan pengamalan keislaman generasi terdahulu. Visi dan misi agama tidak terpisahkan dalam tulisan maupun narasi sejarah.

(B) Konsep ‘adil, yakni pertimbangan dan perbandingan, konsep objektif dalam Islam lebih kepada pertimbangan manusia yang bertaqwa kepada Rabbnya, yaitu keadilan. Sampai-sampai ditegaskan dalam ajaran Islam, sikap “adil lebih dekat kepada taqwa.” ‘Adil maksudnya seimbang atau proporsional, ‘adil itu lawan kata dari zhalim. Maka, sebagai bagian dari ajaran Islam, ‘adil (dalam hal ini) menilai objek studi sejarah dan merangkai narasinya lewat penulisan, adalah kewajiban para sejarawan, pemerhati sejarah dan penulis sejarah Islam. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil.” (QS Al-Maidah: 8)

Jika diteliti, kitab-kitab sejarah seperti Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, Al-Maghazi Muhammad SAW oleh Al-Waqidi, Tarikh Ar-Rusul wal Mulk Ibnu Jarir Ath-Thabary, Al-Bidayah wa An-Nihayah Ibnu Katsir maupun kitab yang berupa ringkasan sejarah seperti Tarikhul Khulafa Jalaluddin As-Suyuthi, termasuk di antara buku standar dalam sejarah Islam yang memasukan nilai keadilan kepada objek sejarahnya, bahkan dalam menilai orang di luar Islam ( outsider ) sekalipun. Sekalipun demikian, tetap disesuaikan dengan standarisasi pandangan Islam pada umumnya. Di satu sisi misalnya, mengakui ketinggian nasab suku Quraisy masa Jahiliyah dan beberapa kebiasaan mereka, mengakui pula kehandalan pasukan dan peradaban Romawi serta Persia, atau mengakui kekuatan pasukan Hulagu Khan, namun tetap tidak melupakan penuangan informasi tentang kejahatan dan kebiadaban pasukannya. Sejarawan Muslim harus menarasikan dan menuliskan sejarah dengan ‘adil tanpa harus keluar dari mindframe pemikiran yang Islami.

Di sini terlihat keunggulan konsep ‘adil para sejarawan Muslim klasik dari para orientalis Barat yang semena-mena menarasikan sejarah Islam beserta tokoh-tokoh sejarahnya sekehendak hati saja. Tidak heran jika para orientalis klasik (abad 18 hingga awal abad 20) menuliskan sejarah Islam dengan hampir sepenuhnya bernuansa negatif seperti menjelek-jelekan figur Rasulullah SAW, pokok-pokok ajaran Islam, serta pelaku sejarah Islam lainnya dengan semena-mena.

Objektivitas dalam Islam itu asasnya sikap ‘adil, bukan objektivitas sekularistik atau objektivisme dengan jargonnya: “tidak memihak siapa-siapa dan tidak berpegang pada nilai apa pun saat menjadi peneliti.” Jargon paham Positivisme Barat tersebut sesungguhnya tidak bisa direalisasikan bahkan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat Positivis sendiri. Objektivitas dalam Islam bukan berarti berpaham objektivisme, melainkan bersikap ‘adil.

Abu Rayhan Al-Biruni, sejarawan Muslim asal Khawarizmi, juga seorang ahli perbandingan agama, antropolog dan intelektual besar Islam abad 10 M pernah meneliti tentang agama dan budaya selain Islam seperti Hindu-India dalam karyanya Tarikhul Hindi atau Tahqiq ma’a Al-Hindie, serta konsepsi-konsepsi waktu berbagai budaya di dunia dalam karyanya Al-Atsar Al-Baqiya. Yang menarik di dalam dua maha karyanya itu, ilmuwan yang dijuluki “Ahli Perbandingan Agama Pertama” ini punya komitmen yang dekat dengan pengertian objektif secara umum, dalam arti menggambarkan keadaan tanpa dipengaruhi pendapat-pendapat pribadi.

Sekalipun demikian, objektivitas tipe Al-Biruni berbeda dengan objektivitas yang value-free atau “objektivisme” zaman Positivisme yang populer di Barat pada abad 19 dan paruh pertama abad 20. Penekanan objektivitas yang ada pada karya Al-Biruni lebih sebagai tahap awal saja, untuk langkah awal memahami gejala atau fenomena yang diteliti. Baru kemudian ada perbandingan-perbandingan dan narasi yang tetap tidak keluar dari frame keislaman. Dalam tradisi keilmuwan Islam, objektif yang mutlak atau yang value-free tidak pernah ada, dan memang tidak akan pernah tercapai.

Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *