Diskusi Multikuturalisme

by
Dubes Azebaijan, Husnan Bey Fannanie. Foto: Istimewa

Pesantren memiliki sejarah panjang yang memiliki sistem dengan memadukan kearifan lokal dan Islam.

Wartapilihan.com, Jakarta – Kedutaan Besar Indonesia di Azerbaijan menggelar seminar keindonesiaan di Hyatt Regency, Jumat (1/6). Acara ini diselenggarakan untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila.

Seminar bertajuk “Pendidikan Multikulturalisme Indonesia” ini diikuti para mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di Azerbaijan Diller Universiteti atau Universitas Bahasa Azerbaijan.

Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan, Husnan Bey Fannanie, mengatakan bahwa Pancasila menjadi alasan terbentuknya toleransi bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Hal ini, menurutnya, merupakan harta yang paling berharga.

“Kita sudah buktikan bahwa Pancasila menjadi landasan sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan ini tentu harus dijaga, terutama oleh generasi muda,” ujar Husnan dalam sambutannya.

Husnan menambahkan, keberhasilan bangsa ini melaksanakan Pancasila telah mendapat apresiasi dari negara-negara di dunia. Oleh karenanya, lanjut Husnan, banyak negara terinspirasi dengan Pancasila.

“Tentu ini jadi kebanggaan untuk Indonesia. Kemajemukan suku dan bahasa dapat melebur dengan sama-sama menjadikan Pancasila sebagai landasannya,” jelasnya.

“Karena inilah sehingga muncul ide untuk membuat seminar Islam dan multikulturalisme ini,” imbuhnya.

Menurut cucu pendiri Pondok Modern Gontor, KH. Zainuddin Fannanie ini, Indonesia seringkali dijadikan contoh sebagai negara dengan kultur terbesar di dunia. Sehingga kesatuan ragam suku di Indonesia seringkali juga dijadikan rujukan negara-negara lainnya untuk menciptakan perdamaian.

“Termasuk para mahasiswa di sini yang sangat tertarik dengan Indonesia. Setiap tahun animo generasi muda Azerbaijan terhadap Indonesia terus meningkat. Jadi enggak heran kalau jurusan bahasa Indonesia termasuk yang sangat diminati,” tuturnya.

Pada kesempatan itu, pengasuh Pondok Modern Gontor KH. Hasan Abdullah Sahal mengemukakan soal pentingnya pendidikan sebagai dasar terpeliharanya multikulturalisme.

Menurutnya, setiap manusia memiliki potensi untuk maju di bidangnya masing-masing, namun terkadang salah jalan. Oleh karenanya, kata Kiai Hasan, diperlukan pendidikan untuk menciptakan kebersamaan dan saling pengertian.

“Hanya mereka yang mampu mengeksplorasi potensi manusia dan kemanusiaan bersama secata utuh dengan sempurna sajalah yang akan berhasil memakmurkan bumi ini, bukan untuk menjadi benalu kehidupan,” tegasnya.

Sementara Bastian Zulyeno dalam paparannya mengatakan bahwa puncak multikulturalisme di Indonesia berada pada saat Sumpah Pemuda.

“Persoalan multikulturalisme di Indonesia, sebenarnya sudah selesai saat itu. Dimana para pemuda melebur untuk menyatakan bertumpah darah yang satu, berbangsa satu, dan berbahasa yang satu yakni Indonesia,” ujarnya.

Bastian menambahkan, pendidikan ragam budaya juga menjadi cara untuk mengukuhkan jati diri bangsa sebagai bangsa multi-etnik berciri khas.

“Salah satunya adalah pesantren. Inilah lembaga pendidikan agama tertua di Indonesia. Pesantren memiliki sejarah panjang yang memiliki sistem dengan memadukan kearifan lokal dan Islam,” pungkasnya.

Hadir sebagai narasumber pengasuh Pondok Modern Gontor KH. Hasan Abdullah Sahal dan dosen Universitas Indonesia Bastian Zulyeno.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *