Oleh : Meilita Listiani, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Difteri merupakan penyakit yang sangat menular dan dapat membahayakan kehidupan.Kematian biasanya terjadi pada tiga sampai empat hari pertama timbulnya penyakit, Difteri terjadi karena adanya eksotoksin (yang dapat menyerang organ lain seperti jantung, ginjal, dll), masa inkubasi Difteri sendiri selama 2-7 hari. Difteri dapat menyerang anak-anak dan dewasa yang dimana febril dan subfebril pada dewasa dapat asimptomatik, terdapat pseudomembran pada kedua tonsil , Difteri dapat bermanifestasi pada bagian organ yaitu telinga, kulit, hidung, bahkan mulut.
Wartapilihan.com, Jakarta –Era informasi seperti sekarang adanya informasi yang cepat, tepat dan berbasiskan kondisi daerah sudah merupakan kebutuhan untuk pengambilan keputusan yang benar dan berkualitas. Pemberantasan penyakit menular membutuhkan informasi yang berbasiskan pada lokasi, di mana kejadian penyakit tersebut khususnya Difteri, dapat dipetakan menurut lingkungan sekeliling dan infrastrukturnya yang dapat dijadikan sebagai alat yang amat berguna untuk memetakan risiko penyakit dan identifikasi pola distribusi penyakit. Bicara mengenai sistem informasi yang mempunyai kemampuan untuk memproses data yang berhubungan dengan lokasi dikenal sebagai Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG mempunyai tiga kemampuan utama, yaitu sistem pengelolaan basis data/Database Management System (DBMS),pemetaan (mapping), dan analisis spasial (spatial analysis) (Wibowo dan Santoso, 2006) .
Aplikasi SIG tidak hanya menjadi domain sektor yang berhubungan dengan lahan saja, tetapi juga sudah secara luas digunakan untuk kesehatan, perdagangan, distribusi, jaringan dan bisnis.sehingga informasi mengenai kesehatan khususnya bidang medis dapat diketahui oleh banyak masyarakat luas. SIG adalah sistem yang digunakan untuk mengelola data dan informasi keruangan (Prahasta, 2005). Kemampuan SIG diantaranya (i) mempermudah dalam mengetahui lokalisasi atau pemusatan adanya masalah kesehatan dalam waktu dan ruang, (ii) identifikasi dan monitoring masalah kesehatan dan faktor risiko kebiasaan dalam periode waktu, (iii) identifikasi pola distribusi waktu dan ruang dari faktor risiko dan outcome kesehatan, (iv) identifikasi wilayah geografis dan kelompok populasi dengan kebutuhan kesehatan dan pemecahan masalahnya dengan analisis multivariate juga evaluasi dari impact intervensi kesehatan (Indriasih, 2008).
Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit menular, keracunan makanan, keracunan bahan berbahaya lainnya menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan jatuhnya korban kesakitan dan kematian yang besar, menyerap anggaran biaya besar dalam upaya penanggulangan, berdampak pada sektor ekonomi, pariwisata serta berpotensi menyebar luas lintas kabupaten/kota, provinsi bahkan internasional, sehingga membutuhkan koordinasi dalam penanggulangan penyakit (Depkes. RI, 2004). [ Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 18 No. 2 April 2015: 211–219].
System Informasi untuk mendeteksi adanya suatu kejadian yang ada di lingkungan sekitar yang dapat dipertanggung jawabkan hasilnya telah dibahas dan dapat diketahui, sekarang mari kita mengenal lebih dalam tentang apasih itu Difteri, dan sudah berapa banyak kasus yang banyak dialami khususnya yang ada di Indonesia. Masalah kesehatan pada balita masih sangat tinggi termasuk penyakit-penyakit yang terkait imunisasi khususnya difteri, Indonesia memiliki kasus difteri sebanyak 806 kasus difteri di Asia Tenggara (South East Asia Regional Office), tahun 2011. Difteri merupakan penyakit yang sangat menular dan dapat membahayakan kehidupan. Kematian biasanya terjadi pada tiga sampai empat hari pertama timbulnya penyakit. Tahun 2000, di seluruh dunia dilaporkan terdapat 30.000 kasus dan 3000 orang diantaranya meninggal akibat penyakit ini. Peran orang tua mempunyai tanggung jawab sebagai pengatur keluarga yang sangat dominan dalam pengambilan keputusan di keluarga. Orang tua berperan dalam risiko penularan terkait status gizi, status imunisasi, dan perilaku balitanya. orang tua juga perlu dalam memberikan gizi yang seimbang sehingga dapat menurunkan risiko penularan penyakit terutama difteri.
Orang tua yang mengatur pola makan dengan baik akan mempengaruhi status gizi balita. Pemberian makan pada anak harus disesuaikan dengan usia anak. Pemenuhan kebutuhan gizi balita makanan harus memenuhi syarat yaitu: makanan harus mengandung energi dan semua zat gizi yang dibutuhkan pada tingkat umurnya seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air, susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, makanan harus bersih dan bebas dari kuman . Status gizi yang baik terjadi bila tubuh memperoleh asupan zat gizi yang cukup sehingga dapat digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak dan kecerdasan, produktivitas kerja dan daya tahan tubuh terhadap infeksi secara optimal. [e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol.3 (no.1), Januari, 2015]
Difteri sendiri merupakan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat luas kebanyakan disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphteriae, upaya pemerintah Indonesia dalam menangani penanggulangan Difteri dengan di adakannya vaksinasi Difteri sejak dini. Bahkan tenaga kesehatan berupaya untuk menyebar secara luas agar proses vaksinasi menyebar rata, dikutip dari beberapa berita bahwasannya vaksinasi Difteri juga dilakukan di beberapa sekolah dari mulai tingkatan sekolah dasar sampa sekolah menengah atas (SMA). Diagnosis dari Difteri itu sendiri hal yang utama yaitu lakukannya swab tenggorokan (atau organ lain yang terinfeksi), kedua identifikasi dengan pengecatan metakromasi nelsser dan kultur ( medium PAI, Loeffler dan BTA), lalu dapat dilanjutkan dengan uji toksigenistas, hal tersebut harus dilkukan dengan uji lab dengan standar yang memadai petugas kesehatan. Terapi dari Difteri yaitu Anti-Difteri Serum (ADS) dan Antimikroba: penisilin atau derivatnya, eritromisin dapat juga vaksinasi DPT atau DT. Imunisasi penting untuk mencegah penyakit berbahaya, Imunisasi DPT merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit difteri, dan tetanus (Hidayat,2008).
Kalau anak tidak diberikan imunisasi DPT maka tubuhnya tidak mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap penyakit tersebut (Soedjatmiko, 2009). Terdapat efek samping setelah pelaksanaan imunisasi DPT yang di kenal dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau Adverse Events Following Immunization (AEFI) merupakan suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga berhubungan dengan imunisasi (Depkes RI, 2009). Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting. Karena suatu pengetahuan tentang program imunisasi amat diperlukan dalam pelaksanaan imunisasi. Pemahaman persepsi dan pengetahuan ibu tentang imunisasi membantu pengembangan program kesehatan (Azmi, 2005). Tunggu apalagi? sebelum Difteri menyerang orang tersayang, lakukan pemeriksaan sejak dini. II