Densus Dikalahkan Napi?

by
Tim Pengacara Muslim (TPM) memberikan keterangan pers tentang hak asasi manusia (HAM) yang kerap dilanggar kepolisian di dalam Mako Brimob.

“Mako Brimob dan Densus 88 secepatnya diaudit agar dapat ditemukan dimana letak penyakit di dalamnya, sehingga masyarakat Indonesia kembali memiliki harapan,” ujar Mustofa Nahrawardaya.

Wartapilihan.com, Jakarta -Polisi menghentikan operasi di Rutan Cabang Salemba Mako Brimob pada Kamis (10/5) pukul 07.15. Operasi terkait peristiwa penyanderaan seorang anggota Polri di Rutan Cabang Salemba yang sudah dilakukan sejak Selasa (8/5).

Wakapolri Komjen Syafruddin mengatakan dalam melakukan penanganan, kepolisian mengedepankan upaya persuasif dan kepala dingin.

“Ini pertemuan pertama saya kepada masyarakat. Saya selalu katakan kepada semua tim dari semua unsur untuk berkepala dingin, walaupun teman-teman gugur dan lakukan upaya persuasif,” ujar Syafruddin di Mako Brimob, Jawa Barat, Kamis (10/5) pagi.

Tim Pengacara Muslim (TPM) Achmad Mihdan mengatakan persoalan yang terjadi di Mako Brimob merupakan persoalan serius. Karenanya, ia meminta Komisi III dan Komnas HAM guna mengusut tuntas motif kejadian dan mengambil langkah tepat untuk menghindari korban lebih banyak.

Ia menuturkan hari Selasa (8/5) lalu merupakan jadwal besuk keluarga. Namun, ia mendapatkan informasi dari salah satu kliennya bahwa pembesukan dibatalkan. Selain itu, persoalan yang terjadi belakangan ini adalah terkait makanan.

Peristiwa yang memakan 6 korban jiwa kemarin, kata Michdan merupakan akumulasi dari hak asasi narapidana yang selama ini dilanggar. Salah satunya pendampingan oleh kuasa hukum. Selain itu, jika napiter mempunyai pandangan keliru terkait kebangsaan, seharusnya diberikan ahli yang dapat memberikan pencerahan.

“Menurut saya (persoalan makanan) itu adalah bagian kecil pemicu. Selama 18 tahun saya mengikuti, banyak pelanggaran hak asasi manusia mulai dari penangkapan, pemeriksaan dan penahanan,” tutur Michdan.

Tidak hanya dirinya sebagai kuasa hukum, pihak Komnas HAM pernah meminta Michdan agar memediasi dengan kepolisian agar tidak menimbulkan kegaduhan lebih luas. Ia meminta stakeholder melakukan penelitian gerakan terorisme. Sehingga, permasalah tersebut tuntas dan tidak terulang di kemudian hari.

“Saya menghubungi Wakapolri agar dilakukan soft approach. Kepolisian dapat melakukan hal ini untuk penindakan terorisme. Keprihatinan saya meskipun sebagai klien mereka, kalau bisa tidak ada teroris di Indonesia,” ungkapnya.

Anggota Komisi III DPR RI Aboebakar Alhabsy meminta penjelasan Polri, secara khusus kepada Komisi III sebagai bentuk fungsi pengawasan. Seharusnya, kata dia, jatuhnya banyak korban seperti ini dapat dicegah, apalagi instalasi rutan berada dilingkuangan mako brimob.

“Logikanya, ini wilayah dengan tingkat keamanan yang cukup tinggi. Tentunya hal itu sangat diingat oleh publik, karena hal itu yang dijadikan alasan untuk tetap menempatkan Ahok di sana,” kata Alhabsy.

Lebih lanjut, kata sapaan akrab Habib, Polri harus memberikan penjelasakan ke publik berkaitan dengan berbagai berita yang beredar. Misalkan saja, jasad para korban yang tidak diijinkan untuk dilihat oleh keluarga, adanya kabar bahwa para napi menggunakan senjata M16 lisensi dari Filiphina, serta kepiawaian para napi melakukan live streaming dari dalam lapas. Dengan klarifikasi yang jelas, diharapkan akan bisa menangkal kabar hoax yang beredar di masyarakat.

Selain itu, ia meminta Menkumham juga perlu mengevaluasi keberadaan rutan di Mako Brimob tersebut. Jika memang kondisinya tidak menjamin keamanan, akan lebih baik jika para napi terorisme di tempatkan di Nusa Kambangan. Jika perlu dievaluasi secara menyeluruh mengenai keberadaan rutan tersebut, apakah memang masih layak untuk dipertahankan apa tidak.

“Jika memang sudah tidak dibutuhkan, bisa saja tidak dibuka kembali. Toh, saat ini semua penghuninya sudah dipindahkan,” tandasnya.

Pengamat terorisme Mustofa B. Nahrawardaya menuturkan, gugurnya 5 anggota Polri sudah seharusnya dijadikan momen penting dalam rangka upaya membangun kepercayaan publik terhadap lembaga Kepolisian Republik Indonesia. Khususnya Densus 88.

“Apalagi, ini bukanlah yang pertama kali. Tahun 2010, belasan orang (yang belakangan diketahui dijebak menjadi terduga teroris), terbukti  juga dilatih menembak sebulan penuh di tempat yang sama oleh seorang disertir Polisi bernama Sofyan Tsauri,” kata Mustofa kepada Warta Pilihan, Kamis (10/5).

Latihan ini bisa berlangsung dengan aman di Mako Brimob, dan Sofyan Tsauri juga diketahui melakukan transaksi jual beli senjata secara gelap di tempat yang sama, senilai hampir setengah Milyar rupiah. Meski para pelaku telah mendapatkan hukuman, namun tetaplah ini menjadi noda hitam.

Kini, lanjut Mustofa, tampaknya kejadian berulang. Bedanya, kini para terpidana teroris yang memang sudah lama ditahan di sana, dengan mudahnya bisa membobol gudang senjata dan melumpuhkan dengan mudah para  personil Densus 88, bahkan membunuh para aparat tersebut dengan cara sadis. Menurutnya, jika tidak ada masalah serius di Mako Brimob, tentu peristiwa mengerikan ini tidak bakal terjadi.

“Memang unsur dendam pasti ada, karena bagi para napi terorisme, anggota Densus 88 dianggap sebagai musuh bebuyutan mereka. Hanya saja, dengan adanya tragedi yang terjadi di Mako Brimob baru-baru ini, tampaknya bakal menimbulkan tandatanya besar bagi masyarakat,” terang dia.

Sebab selama ini, ungkapnya, Densus 88 dikenal publik sebagai Pasukan Anti Teror milik Indonesia yang paling ditakuti di dunia, serta memiliki keahlian yang seolah tidak mungkin dapat dikalahlah oleh korps lain yang serupa. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Oleh kawanan napi yang telah diringkus dan dipenjarakannya, ternyata personil Densus 88 dapat ditumbangkan begitu saja.

Untuk itu, kata dia, perlu ada tradisi baru. Dalam rangka bentuk nyata pertanggungjawaban moral dan profesi, sangat penting bagi pejabat terkait melakukan bentuk pertanggungjawaban publik secara kasatmata, secara lelaki, bahkan dengan cara progresif. Bagaimana caranya?

Jika memungkinkan, papar Mustofa, Mako Brimob dan Densus 88 secepatnya diaudit agar dapat ditemukan dimana letak penyakit di dalamnya, sehingga masyarakat Indonesia kembali memiliki harapan.

“Karena dalam benak saya, dan mungkin juga dalam benak masyarakat, barangkali punya pikiran yang sama: sangatlah kecil kemungkinan Densus 88 dapat semudah itu dilumpuhkan. Karena itulah, saya mengusulkan agar Kepala Densus 88 saat ini pula, menyatakan undur diri,” tegasnya.

Adi Prawira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *