Meski ada peningkatan peringkat daya saing, investasi masih belum meningkaty kencang. Persoalan utama seperti berbelitnya birokrasi masih belum tuntas diperbaiki.
Wartapilihan.com, Jakarta –-Kabar baik datang dari laporan World Economic Forum (WEF), yang menaikkan peringkat daya saing Indonesia secara global (Global Competitiveness Index) periode 2017-2018 di peringkat ke-36 dari 137 negara, atau naik lima tingkat dibanding peringkat sebelumnya pada posisi ke-41.
Dalam publikasi laporan yang dirilis pada 28 September lalu, WEF menyatakan, Indonesia dinilai telah memperbaiki kinerja di semua pilar, mulai dari infrastruktur hingga makro ekonomi.
Indonesia juga dianggap sebagai salah satu inovator teratas di antara negara berkembang, dan dianggap telah menunjukkan perbaikan kinerja pada semua pilar. Dari pilar institusi, infrastruktur, lingkungan makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan yang lebih tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, perkembangan pasar uang, kesiapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis serta inovasi.
Membaiknya peringkat daya saing ini juga didorong utamanya oleh ukuran pasar yang besar (peringkat 9) dan lingkungan makro ekonomi yang relatif kuat (peringkat 26). “Indonesia merupakan salah satu negara terbaik dalam inovasi di antara negara-negara yang sedang tumbuh,” demikian rilis WEF di situs weforum.org.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, fokus pemerintah dalam hal pembangunan infrastruktur di berbagai daerah hingga kemudahan berinvestasi, memberikan hasil yang signifikan, dan diakui banyak pihak.
Menurutnya, pembangunan infrastruktur di berbagai daerah memang menyedot banyak biaya, namun hal itu perlu dilakukan guna memberikan efek ekonomi jangka panjang.
Begitu juga dalam hal pembangunan sumber daya manusia melalui investasi pendidikan, kesehatan, guna meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat. Sehingga, meski investasi dilakukan oleh pemerintah itu bukan berarti investasi yang dilakukan tak ada hasil sama sekali.
Peningkatan daya saing ini juga diharapkan membuat lebih banyak investasi masuk. Selama ini nilai investasi ke dalam memang masih kurang. Investor masih mempertanyakan kesiapan infrastruktur hingga kemudahan perizinan di dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi investasi pada semester pertama tahun ini mencapai Rp 336,7 triliun, atau hanya tumbuh 12,9% dibandingkan periode sama tahun lalu. Persentase ini, lebih rendah dari pertumbuhan rata-rata dalam lima tahun terakhir, yakni di atas 14%.
Karenanya, Pemerintah perlu terus mengupayakan perbaikan-perbaikan agar minat investasi semakin banyak yang terealisasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi, seperti biaya, kemudahan berusaha, maupun keuntungan yang bisa didapat, harusnya bisa menjadi salah satu fokus pengaturan yang baik
Di sisi lain, dalam laporan WEF itu, Indonesia tercatat juga masih mencatat kelemahan. Dalam hal kesiapan teknologi, hanya berada di peringkat 80. Efisiensi di bidang pasar tenaga kerja, juga masih butuh perbaikan, bila ingin bergeser dari peringkat 96 saat ini.
Karenanya, peringkat daya saing Indonesia masih di bawah 3 negara tetangga di ASEAN yaitu Thailand yang berada di posisi 32, Malaysia di posisi 23, dan Singapura di posisi 3. Meski Indonesia masih berada di atas Vietnam yang berada di posisi 55 dan Filipina di posisi 56 serta Brunei Darussalam di posisi 46.
Jadi, beberapa kelemahan ini juga perlu diperbaiki. Pemerintah perlu lebih bekerja keras untuk menuntaskan berbagai masalah yang sedang dihadapi. Seperti mempercepat pembangunan infrastruktur, reformasi pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar serta tingkatkan produktivitas tenaga kerja melalui program vokasi, dan training.
Yang tidak kalah penting tentunya pemberantasan korupsi, karena masalah korupsi masih jadi hambatan daya saing paling utama di Indonesia. Kemudian juga birokrasi pemerintah yang belum efisien, serta akses pada pembiayaan yang terbatas.
Korupsi dan birokrasi sejatinya dua hal yang saling berkelindan. Prosedur birokrasi yang berbelit, akan menyuburkan korupsi. Sebaliknya, jalur birokrasi seperti perijinan hingga aturan yang efektif, akan menekan korupsi. Sehingga perbaikan birokrasi, diharapkan meminimalkan pejabat negara mendapat kesempatan untuk melakukan penyelewengan.
Rizky Serati