Ulama besar al Khatib al Baghdadi pernah difitnah melakukan sodomi oleh gubernur Damaskus dan diusir dari kota itu.
Wartapilihan.com, Jakarta –Ia adalah seorang imam tiada banding pada zamannya. Ulama jenius, mufti, al hafizh (ahli hadits), pakar hadits, kritikus sanad, guru besar yang produktif melahirkan karya, pemimpin ahli hadits dan pemilik karya-karya unggulan yang belum pernah muncul sebelumnya.
Ia adalah Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdi al Baghdadi, yang diberi julukan al Khatib al Baghdadi. Ia dilahirkan pada tahun 392H di desa Darzian, Baghdad, ibukota Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Ayahnya seorang khatib (penceramah) dan seorang qari’ (penghafal) al Quran. Sang ayah sudah mendorong anaknya untuk memperdalam ilmu sejak kecil dan juga menyuruhnya untuk hadir dalam berbagai majelis ilmu untuk menyimak hadits dan fiqih. Saat itu usia al Baghdadi sekitar 11 tahun (403H).
Ketika dewasa, menginjak usia 20 tahun, al Khatib al Baghdadi melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai negeri Islam. Dari perjalanan tersebut, ia menulis banyak hal dari kekuatan hafalannya yang luar biasa.
Al Khatib kemudian mengungguli orang-orang pada zamannya. Nama besarnyapun menjulang dalam studi hadits. Ia sukses menyusun banyak karya, menerangkan cacat-cacat hadits, melakukan al jarh wat ta’dil, menulis sejarah dan banyak lagi karya lainnya.
Sanjungan Para Ulama Baginya
Al Khatib al Baghdadi adalah ulama besar umat dan pakar hadits yang hebat saat itu. Ulama-ulama menyanjungnya atas ilmu, hafalannya, serta seluruh karakter dan akhlaknya.
Ibnu Makula berkata,”al Khatib adalah tokoh terkenal terakhir yang kami akui kepandaiannya, hafalannya, ketepatannya, kekuatan hafalan hadits-hadits Rasulullah saw, juga kelihaiannya dalam mengetahui cacat-cacat dan sanad-sanadnya, serta pengetahuannya tentang shahih, gharib, ahad, mungkar atau matruknya sebuah hadits. Tidak ada penduduk Baghdad –setelah ad Daruquthni—yang sekaliber al Khatib.”
Al Hafizh Abul Fatayan berkomentar,”al Khatib merupakan imam bidang (hadits) ini. Aku tidak melihat orang yang seperti dirinya.”
Al Hafizh as Samáni berkata,”Al Khatib orang yang dihormati, berwibawa, tsiqah lagi selektif, layak menjadi hujjah, memiliki tulisan yang bagus, sangat teliti, faish, pamungkas para ahli hadits, sangat zahid dan sederhana dalam masalah keduniaan. Suatu hari seorang pria Alawi menemuinya sambal membawa sejumlah uang dinar dan berkata,”Silakan kaubelanjakan uang emas ini untuk kepentinganmu.” Lantas al Khatib Nampak gusar dihadapan pria itu seraya berkata,”Aku tidak membutuhkannya.” Si Alawi menimpali,”Mungkin ini kauanggap terlalu sedikit.” Kemudian pria itu menebar uang itu di atas sajadah al Khatib sambal berkata,”Ini uang 300 dinar.” Al Khatib pun berdiri dengan kesal dan dengan wajah memerah, ia menarik sajadahnya dan melemparkan semua uang dinar itu dan terus pergi. Uang tidak menyurutkan harga dirinya. Sedangkan pria itu kemudian menundukkan dirinya sambal memunguti uang-uang dinar itu dari tanah.”
Al Khatib al Baghdadi adalah salah satu ulama besar hadits yang paling produktif menulis dan melahirkan karya. Ia menulis sekitar seratus judul buku. Yang terkenal di antaranya:
1. Tarikh Baghdad. Merupakan sebuah kitab besar yang sarat isinya dengan berbagai peristiwa, informasi dan biografi. Lebih mirip sebagai buku yang memaparkan sejarah dunia, bukan hanya sejarah Baghdad semata. Banyak ulama setelah al Khatib yang memberikan catatan penjelas, pelengkap dan ringkasan kitab ini. Kitab itu memang layak untuk mendapatkan perhatian para ulama untuk diteliti, serta ditakhrij seluruh hadits dan riwayatnya.
2. Syafr Ashab al Hadits
3. Al Jami’ al Akhlaq ar Rawi wal Adab al Hadits
4. Al Kifayah fil Ma’rifah Ushul Ilm ar Riwayah
5. As Sabiq al Lahiq
6. Al Mukmil fi al Muhmil
7. Man Haddatsa wa Nasiya
8. Al Asma’ al Mubhamah
9. Ghaniyyah al Muqtabis
10. Al Faqih wal Mutafaqqih
11. Tamyiz Muttashil al Asanid
12. Ar Rihlah ia Thalab al Hadits
13. Iqtidha’ Al Ilmi wal Amal
14. Riwayah ash Shahabah an Tabiiy
15. Al Mu’talif wal Mukhtalif
16. Al Musalsalat
17. Al Ijazah fil Majhul dll
Cobaan Yang Menimpanya
Al Khatib dilahirkan, dibesarkan dan tumbuh dewasa di kota Baghdad. Ia kemudian mengembara, melakukan perjalanan intelektual yang panjang ke berbagai negeri. Tatkala balik ke Baghdad, popularitasnya telah lebih dulu terdengar oleh Dinasti Kekhalifahan Abbasiyah.
Di Baghdad, para pencari ilmu banyak yang mendatanginya. Tak hanya itu, para muhadits (pakar hadits) juga berduyun-duyun menghadiri majelisnya. Selain ilmunya yang luas dalam bidang hadits, al Khatib juga seorang ahli fikih yang berilmu luas dan bermazhab Syafii. Ditambah lagi ia juga menguasai sepuluh bacaan (qiraat) al Quran.
Penguasaan ilmu yang luas itu menjadikan al Khatib didatangi para pejabat teras negara juga. Antara lain al wazir (menteri) Ibnul Maslamah yang memiliki pemahaman agama yang baik dan mencintai para ulama, terutama ahli hadits. Ibnul Maslamah sangat memuliakan dan menghormatinya.
Kedudukan al Khatib makin meningkat di mata Ibnul Maslamah, setelah al Khatib mengungkap upaya kecurangan yang dilakukan kalangan professional untuk menghindari pajak.
Melihat kepakaran hadits al Khatib, Ibnul Maslamah akhirnya mengeluarkan perintah kepada seluruh pengkhutbah, penceramah dan juru tulis agar jangan meriwayatkan sebuah hadits tanpa mengkonfirmasikan lebih dulu kepada al Khatib. Jika al Khatib menilainya shahih, mereka boleh menyiarkannya. Jika ia menolak hadits itu, maka mereka tidak boleh menyampaikannya.
Hubungan erat antara al Khatib al Baghdadi dan al wazir Ibnul Maslamah menjadi factor utama timbulnya cobaan dan fitnah yang menimpa al Khatib. Pasalnya saat itu Baghdad yang merupakan ibukota Dinasti Abbasiyah sedang digoncang isu pertikaian SARA. Hal itu disebabkan lemahnya posisi khalifah Abbasiyah yang kehilangan berbagai otoritasnya, kira-kira sejak sepuluh tahun sebelumnya. Yaitu tepatnya sejak hegemoni Syiah Daulah al Buwaihiyah atas kekhalifahan pada 334H.
Sejak saat itu, kedudukan khalifah hanya tinggal sekedar simbol keagamaan, tanpa mampu mengeluarkan perintah atau larangan. Ketika itu, Baghdad sedang digoyang berbagai konflik kelompok. Konflik paling keras terjadi antara kelompok Syiah Rafidhah dengan Ahlussunnah. Pemimpin Syiah Rafidhah adalah Abul Harits al Basasiri –salah seorang penganut Syiah Rafidhah kental yang menjadi petinggi militer pemerintahan Abbasiyah—yang condong kepada pemerintahan Daulah Fathimiyah di Mesir. Kecenderungan ini terjadi disebabkan kesamaan mazhab dan keyakinan.
Kelompok ahlussunnah sendiri merupakan kelompok mayoritas yang mencerminkan paham mayoritas penduduk negeri. Pemimpin mereka saat itu adalah Perdana Menteri Ibnul Maslamah, seorang tokoh yang shalih dan yang sangat benci kepada kaum Rafidhah. Ibnul Maslamah dan al Basasiri terlibat permusuhan, pertikaian dan tindakan saling menjatuhkan antara keduanya.
Pada tahun 450H, al Basasiri berkonspirasi dengan Khalifah Daulah Fatimiyah al Muntashir Billah. Melalui bantuan orang-orang kelompok Rafidhah Baghdad di kawasan Bab al Azaj dan al Karkh, Al Basasiri berhasil mengepung kota Baghdad dan mengkudeta Khalifah Dinasti Abbasiyah al Qaim Billah dan bahkan meruntuhkan seluruh kekuasaan kekhalifahan Abbasiyah.
Sukses menguasai Baghdad, al Basasiri tidak memiliki cita-cita selain menangkap musuh bebuyutannya yaitu Ibnul Maslamah. Ia berhasil meringkus Ibnul Maslamah. Kemudian al Basasiri menjatuhkan tuduhan dusta kepadanya, menyiksanya, mengintimidasi dan membunuhnya secara keji.
Setelah membunuh Ibnul Maslamah, al Basasiri mulai mengincar para ulama, tokoh dan petinggi kelompok Ahlussunnah. Siapa saja yang berhasil ditankap, pastilah ia membunuhnya dan merusak jenazahnya. Demikian yang selalu dilakukan Syiah Rafidhah terhadap pengikut Ahlussunnah ketika meraih kedudukan dan kekuasaan. Apa yang terjadi di Afghanistan, Irak dan Lebanon pada zaman sekarang merupan bukti paling shahih atas kebusukan jiwa kelompok Syiah Rafidhah terhadap Ahlussunnah.
Kemudian al Basasiri juga berupaya keras untuk membekuk al Khatib al Baghdadi, karena ia tahu hubungan erat al Khatib dengan Ibnul Maslamah. Maka, al Khatib bersembunyi dari pandangan masyarakat selama beberapa waktu, sampai meredanya upaya perburuan al Basasiri terhadapnya.
Cukup lama al Khatib bersembunyi. Namun upaya al Basasiri memburunya terus digencarkan. Petinggi Syiah Rafidhah ini terus memburunya di setiap wilayah dan hampir al Khatib tertangkap. Akhirnya al Khatib terpaksa pergi dari Baghdad untuk menyelamatkan diri. Ia bergeral menuju Syam dan akhirnya menetap di sebuah tempat di Damaskus.
Tatkala masyarakat mengetahui al Khatib di Damaskus, mereka berduyun-duyun mendatanginya. Para pencari ilmu, ulama dan perawi hadits selalu setia mengerumuninya. Hingga kemudian al Khatib mempunyai sebuah majelis hadits permanen di Masjid Umawi, Damaskus.
Saat itu seluruh negeri Syam, termasuk Damaskus adalah berada di bawah kekuasaan Daulah Fatimiyah yang Syiah. Meski demikian mereka membiarkan orang bebas dalam berkeyakinan dan tidak memaksa seorang pun untuk menganut paham Syiah seperti yang dilakukan Syiah Rafidhah Imamiyah.
Melihat al Khatib al Baghdadi banyak pengikutnya di Damaskus, maka para provokator mencari cara untuk menjatuhkan al Khatib. Diantara mereka yang paling jahat adalah Husain bin Ali ad Damansyi. Ia berkata kepada gubernur Damaskus,” Al Khatib adalah seorang nashibi yang meriwayatkan hadits tentang keutamaan-keutamaan para sahabat dan keutamaan-keutamaan al Abbas di masjid.”
Melihat tingginya kedudukan ilmu al Khatib, gubernur Damaskus yang berfaham Syiah Rafidhah ini ragu-ragu untuk menyerang langsung al Khatib. Ia khawatir akan terjadi revolusi di kalangan penduduk Damaskus yang mayoritas berfaham Ahlussunnah.
Akhirnya penguasa Damaskus –bersama Ibnu ad Damansyi—membuat makar dan tipudaya untuk menghabisi al Khatib, dengan memprovokasi warga Damaskus untuk menyerang dan membunuh al Khatib. Mereka melemparkan tuduhan bahwa al Khatib telah melakukan sodomi (homoseksual). Mereka menuduh (tanpa bukti) bahwa al Khatib melakukan sodomi dengan seorang pemuda tapan yang kerap menemuinya dalam menyimak hadits.
Tuduhan itu dihembuskan dan dibarengi dengan pengerahan pasukan gubernur Damaskus mengepung rumah al Khatib. Tapi saat itu, komandan kepolisian Damaskus yang bermazhab Sunni menyelamatkan al Khatib. Ketika melakukan penangkapan terhadap al Khatib, komandan itu mengatakan,”Aku diperintahkan membunuhmu. Akan tetapi siasatku hanyalah dengan cara membawamu ke kediaman Syarif Ibnu Abi al Hasan –salah seorang tokoh yang disegani gubernur Damaskus-, apabila engkau mendekati rumah itu, lompatlah dan masuklah ke rumahnya. Aku tidak akan berusaha mencarimu. Aku hanya akan menemui gubernur dan memberitahunya bahwa peristiwa itu yang terjadi.”
Rencana itu kemudian terlaksana. Gubernur Damaskus kemudian memanggil asy Syarif dan memintanya agar menyerahkan al Khatib al Baghdadi. Asy Syarif berkata,”Wahai gubernur. Engkau mengetahui bagaimana keyakinanku mengenai dirinya dan orang-orang sepertinya. Membunuh al Khatib tidaklah mendatangkan kebaikan. Hal demikian sangat masyhur di Irak. Apabila engkau membunuhnya, maka banyak orang Syiah akan dibunuh sebagai akibatnya dan sejumlah keindahan akan hancur.
Gubernur Damaskus bertanya,”Lalu apa pendapatmu?”
“Aku mengusulkan agar ia diusir dari kotamu,”kata asy Syarif.
Kemudian sang gubernur memerintahkan agar al Khatib diusir. Ia pun pergi meninggalkan Damaskus dan menuju kota Tyre. Ia tinggal di sana selama beberapa waktu. || Sumber : Cobaan Para Ulama karya Syaikh Syarif Abdul Aziz (Pustaka al Kautsar, 2012).
Izzadina