CHOEUNG EK: SAKSI BISU KEGANASAN KOMUNIS

by
Bukti kebiadaban yang masih tertinggal, saksi bisu Pohon yg digunakan utk membunuh anak-anak, tengkorak para korban, dan pohon yg digunakan untuk memutar lagu daerah keras2 supaya jeritan para korban tidak terlalu terdengar

Kontributor Warta Pilihan, Ahmad Husein, berkunjung ke Kamboja. Ia mendapat kesempatan berkunjung ke “Killing Field”, lokasi pembunuhan massal yang dilakukan rezim komunis Khmer Merah. Pengalaman tersebut ia tuangkan dalam dua seri tulisan khusus dalam rangka memperingati peristiwa G-30-S/PKI. Pertama tentang ladang pembantaian, kedua tentang sepak terjang komunis dan akibatnya pada rakyat Kamboja – Redaksi Warta Pilihan.

Ketika tengah menimbang-nimbang tempat wisata yang akan saya kunjungi di sela-sela waktu senggang di Kamboja, seorang supir tuktuk (sejenis kendaraan roda tiga – Red.) menyarankan saya untuk mampir ke lokasi kuburan massal korban kekejam komunis di Kamboja.

Ada dua tempat yang jadi pilihan. Pertama, ke instalasi S-21 Tuol Sleng, di jantung ibukota. Tuol Sleng sejatinya adalah gedung sekolah, yang dialihfungsikan oleh rezim Khmer Merah (dikenal juga dengan nama Khmer Roug) menjadi instalasi tempat penahanan warga Kamboja yang dicurigai menentang paham komunisme, mengancam kekuasaan negara, dan antek asing. Lokasinya cukup dekat dengan hotel. Namun si supir, Doy, sebut saja demikian, menyarankan untuk ke Choeung Ek.

“Tuol Sleng sekali lihat langsung tuntas. Choeung Ek lebih luas dan banyak yang dilihat,” katanya, berpromosi. Tak heran, bahkan di dinding tuktuk-nya banyak dipajang foto-foto dan poster promosi tempat tersebut. Saya mengiyakan. Biayanya 22 dolar AS, pulang-pergi. Setuju. Maka saya pun, bersama seorang rekan yang berprofesi dokter, naik tuktuk ke Choeung Ek. Jarak lokasi tersebut dari hotel sekitar 11 kilometer, ditempuh dalam waktu sekitar 45 menit karena ada beberapa ruas jalan yang macet.

Gigi dan Jari Menyembul
Kami tiba di lokasi sekitar pukul empat sore. Saat itu tak banyak pengunjung yang datang, mengingat hari tersebut adalah hari kerja, bukan akhir pekan.  Baru memasuki gerbangnya saja, bulu kuduk sudah berdiri. Kawasan ini amat sepi. Dan yang akan kami susuri adalah lokasi-lokasi pembunuhan belasan ribu orang.

Ladang pembantaian Choeung Ek luasnya 2,5 hektar. Awal kisah tempat ini menjadi pusat genosida oleh rezim Khmer Merah tak lepas dari sejarah ketika kekuatan Komunis Kamboja di bawah pimpinan Pol Pot tersebut mengambil alih kepemimpinan militer di tahun 1975. Saat rezim militer pimpinan Lon Nol, yang mengkudeta Pangeran Norodom Sihanouk, akhirnya dihajar mundur oleh Khmer Merah, era kepemimpinan partai yang menyebut diri mereka spesialis aliran Marxisme-Leninisme pun dimulai.

Namun yang terjadi bukanlah kesejahteraan. Malah sebaliknya, antara tahun 1975 hingga 1978, puluhan ribu warga, baik laki-laki, wanita, anak-anak, hingga bayi telah ditahan dan disiksa oleh Khmer Merah, yang kerap disebut juga sebagai rezim Angkar (secara harfiah berarti organisasi, yakni pelaksana tugas rezim Pol Pot). Rakyat digiring seperti kerbau ke Instalasi S-21 Tuol-Sleng. Entah berapa ribu warga meregang nyawa di sini. Bekas-bekas darah di kamar-kamar penyiksaan, berikut beragam alat penyiksaan masih dapat disaksikan di Tuol Sleng.

Dari instalasi ini, sekitar 17 ribu orang diangkut lagi menuju Choeung Ek. Di sini, alih-alih diperlakukan dengan manusiawi, mereka dihabisi nyawanya oleh Rejim Khmer Merah, sadis menyudahi nyawa belasan ribu warganya sendiri.

Setidaknya saat kuburan massal ini digali pertama kali tahun 1980, ditemukan 8.895 jenazah korban penyiksaan dan pembunuhan. Banyak di antara mereka ditemukan dalam keadaan tangan dan kaki terikat serta mata ditutup. Ada total 129 titik kuburan massal di sana, tetapi 43 di antaranya dibiarkan seperti semula, tidak digali atau dibongkar lagi.

Yang bikin bergidik, tak jarang tulang-belulang manusia dan secarik pakaian muncul di beberapa titik.  Saya juga tak sengaja menemukannya. Di balik tanah Lumpur kering dengan rumput-rumput kurus di sana-sini, seorang turis asing menjerit sambil menunjuk-nunjuk sesuatu yang menyembul dari tanah. Ternyata itu adalah gigi sesosok mayat plus beberapa tulang jari-jemari.

Selain itu, lebih dari 8.000 tengkorak dikumpulkan berdasarkan jenis kelamin dan umur. Semua tengkorak itu kini bisa dilihat di Memorial Stupa, yang didirikan tahun 1988. Seluruh tengkorak tersebut diletakkan di balik ruang kaca transparan. Hanya dengan melihatnya saja, kita sudah mengelus dada penuh kegeraman, membayangkan mereka dibantai tanpa perlawanan.

Secara keseluruhan, dalam waktu hanya empat tahun, rezim komunis telah membunuh hampir tiga juta warga Kamboja. Jumlah penduduk Kamboja sendiri sekitar 9 juta. Itu artinya, korban keganasan komunis Khmer Merah mencapai hampir sepertiga dari total penduduk Kamboja.

Killing Tree dan Magic Tree
Setiap pengunjung menerima satu alat audio berisi panduan menyusuri titik-titik dalam komplek itu. Audionya dibuat dalam bentuk narasi seorang korban yang selamat bernama Ros Kosal. Ia menjelaskan masing-masing tempat di lokasi, mulai tempat berhentinya truk yang membawa tahanan, rumah penampungan, kantor pengelola Choeung Ek, titik-titik kuburan massal, berikut sejarahnya.

Dalam rekaman audio tersebut, ada pula disertakan pengakuran Him Huy, penjaga sekaligus jagal manusia di sana. Ia menjelaskan dengan datar beberapa teknik yang mereka gunakan untuk membunuh tahanan yang tidak bersalah dan tak berdaya. Termasuk cara membunuh perempuan dan anak-anak.  Di sana, didirikan pula museum dengan banyak informasi menarik tentang kepemimpinan Khmer Merah dan persidangan yang dilakukan bertahun-tahun kemudian.

Di salah satu sudut komplek, ada sebuah pohon besar dan rindang yang batangnya dipenuhi dengan semacam karet atau gelang warna-warni. Pohon ini dijuluki “Pohon Sulap” alias Magic Tree. Mengapa demikian? Ternyata, dulu di lahan pembantaian ini, setiap malam saat para tahanan dikeluarkan dan dibawa ke lapangan untuk dieksekusi, para penjaga dan jaga; rejim Pol Pot memasang pengeras suara di pohon kayu ini ke berbagai penjuru. Mereka lalu mengalunkan lagu-lagu daerah Khmer dengan volume yang amat keras. Tujuannya, agar lagu dan suara keras tersebut menutupi suara jeritan dan teriakan ngeri korban yang tengah disiksa dan dieksekusi. Itu sebabnya pohon saksi bisu ini diberi nama magic tree alias pohon sulap, karena (seolah-olah) bisa menghilangkan suara jeritan korban, layaknya sebuah magic/sulap.

Di sudut lain, juga ada pohon yang namanya bikin merinding: Killing Tree (Pohon Pembantaian). Di pohon inilah sebagian besar korban anak-anak dan bayi dibawa lalu dieksekusi dengan kejam oleh petugas Angkar.  (secara harfiah berarti Organisasi; pelaksana eksekusi rejim Pol Pot). Bayi dan anak-anak itu dibunuh dengan cara dibenturkan kepalanya ke batang pohon, digantung dengan tali, atau dipukul/dibacok dengan alat besi.

Kang Kek Iew, salah satu lingkaran dekat Pol Pot yang mengepalai instalasi S-21 Tuol Sleng dan Choeung Ek, dalam kesaksiannya sempat menyebutkan alasan kenapa bayi dan anak-anak ikut dibunuhi secara keji.

Jangan Lupakan Sejarah
Banyak tempat di dalam area tersebut merupakan titik penguburan mayat korban hasil penyiksaan. Angkar amat kejam dalam hal menyiksa dan membunuh. Orang-orang yang sudah tewas mereka masukkan ke dalam lubang besar, yang isinya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan orang. Lalu, tumpukan mayat itu disiram dengan bahan kimia DDT (dikloro-difenil-trikloretan; dikenal sebagai racun serangga mematikan). Konon, ini dilakukan agar mayat-mayat tersebut tidak mengeluarkan bau busuk. Dalam sebuah laporan, terungkap bahwa saat mayat-mayat ini diangkat dari lubang, tubuh mereka dipenuhi bubuk-bubuk putih kekuningan yang kemudian diidentifikasi sebagai DDT.

Ada juga lokasi yang hanya diberi tanda bahwa itu adalah kuburan massal, tetapi belum digali. Tepat di belakang area tersebut, ada danau kecil dengan air kehijauan. Suasana area ini memang membuat bulu kuduk merinding.

Di sayap kanan komplek terdapat rumah yang dahulu dipakai sebagai kantor Angkar. Kini ruangan-ruangannya diisi dengan berbagai barang peninggalan saat komplek itu dioperasikan, mulai dari baju tradisional para pekerja kamp, berbagai jenis alat penyiksa, lukisan-lukisan adegan penyiksaan dan pembunuhan, serta profil para jagal Choeung Ek berikut para pimpinannya.

Tur di Choeuk Eng diakhiri dengan alunan lagu “Oh Phnom Penh Euy”, sebuah lagu yang menceritakan ungkapan hati seorang warga yang tengah menjadi pekerja di kamp pertanian, dan memikirkan Phnom Penh, kota tempat tinggalnya yang kini diduduki Khmer Merah. Lagu itu amat menyayat-nyayat hati.

Kami keluar dari Choeuk Eng sekitar pukul 17.30 waktu setempat. Saya merenung, begitu brutalnya rezim komunis di Kamboja ini menerapkan utopianya, dengan mengorbankan jutaan nyawa tak bersalah. Pikiran saya lantas mengawang ke tanah air sambil berharap, semua kalangan belajar dan tidak (pura-pura) lupa akan sejarah pahit semacam ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *