Ahad, 24 Maret 2019, Ba’da Shubuh di Masjid Istiqomah, dimana guest house kami berada. Ust Ardi membahas budaya atau tradisi ilmu. Hanya saja, dengan melihat audience-nya, beliau tidak memberatkan isi kajiannya. Beliau hanya membahas seputar keutamaan ilmu, kaitannya dengan jihad, sampai fokus ke masalah klasifikasi ilmu.
Wartapilihan.com, Balikpapan— Dengan adanya klasifikasi ilmu, maka harus ada kesadaran bahwa manusia itu laksana barang tambang. Jadi setiap orang tua, harus tahu potensi si anak. Di samping itu, beliau juga menjelaskan bahwa tradisi ilmu dalam Islam bukan menjadikan manusia hanya faham satu ilmu saja. Sebab universitas dari kata universal, harusnya menuntut ketiadaan dikotomisasi ilmu. Sebab, dulu, para ulama ahli fiqih, hadits dan tafsir, juga faham kedokteran, matematika dan sebagainya.
Ada hal lain yang menarik pagi itu. Saat Ust Ardi selesai menyampaikan kajian dan keluar pintu masjid, beliau melihat banyak orang yang tidak ikut pengajian melainkan duduk sambil bersantai dengan teh hangat dan cemilan. Melihat hal itu tentu membuat beliau berat hati, sebab peradaban Islam ini dibangun bukan hanya lewat jalur demo saja. Umat Islam sekarang lebih senang ikut aksi-aksi daripada harus hadir ke majelis ilmu. Mereka menginginkan perdaban ini bangkit, tapi untuk masalah keilmuan saja mereka tidak mau hadir. Padahal urusan keilmuan ini menjadi asas penting dari kebangkitan. Kita ingat bahwa sejak zaman Rasulullah sampai generasi santri 45 (saat agresi militer melawan tentara sekutu Belanda dan Inggris), dapat terbangun sebab keilmuan lewat pendidikan, salah satunya majelis ilmu. Tentu beliau tidak menyalahkan orang untuk ikut aksi. Tapi kalau semuanya kesana, siapa yang mau mengisi kekosongan para ulama dan intelektual? Apakah selamanya umat ini akan kekeringan ahli tafsir, muhaddits, sejarawan, filosof, ahli pancasila, ahli komunis, ahli pemikiran Barat, dan lain sebagainya? Padahal mereka semua itu adalah aset umat. Dan umat sangat butuh kehadiran mereka. Husnudzonnya, walaupun diluar Masjid, mereka sambil dengerkan kajian…hehe.
Sekitar pukul setengah tujuh, saya dengan Ustadz Ardi menyegarkan pikiran dengan mengelilingi Lapangan Meredeka, yang kalau setiap Minggu difungsikan seperti alun-alun. Ramai yang berolahraga, berdagang, dan sebagainya. kami berjalan-jalan mengelilingi Lapangan Merdeka dan pantai yang ada di seberangnya.
Pak Rocky, yang setia antar-jemput, pagi ini mengajak kami ke rumah makan Haji Daud, dengan menu spesial lontong sayur dan nasi kuning. Lauk pelengkapnya ayam, ikan, daging, dan telur. Warung makan ini, meskipun tertutup dengan kain biru, bahkan tidak ada spanduk yang bertuliskan Haji Daud, tetap ramai orang mampir. “Bahkan biasanya orang orang Jakarta yang datang ke sini, kalau pagi, makannya disini,” ujar sopir kami.
Dan tibalah acara NGOPI atau Nngobrolin Masalah Pendidikan Islam. Tempatnya adalah ruangan khusus seminar di komplek Masjid Istiqomah. Meskipun yang datang tidak terlalu banyak, namun Ust Ardi tetap melaksanakan kajian, sebab prinsip beliau adalah: “Sekalipun satu orang, saya akan tetap mengajar”.
Diawal beliau menyampaikan kalam prof al-Attas: “The central crisis of Muslim today is loss of adab.” Dan menurut beliau kalam itu masih relevan sampai sekarang. Beliau juga menyampaikan konsekuensi dari hilangnya adab. Katanya, hilangnya adab akan menimbulkan penyamarataan. Dia akan menganggap bahwa semua objek itu sama. Sehingga kemudian muncullah 3 hal berikutnya: Kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.
Karena pada dasarnya adab berkaitan erat dengan keadilan, maka lawan dari adil adalah zalim, dimana segala sesuatu tidak ditempatkan sesuai pada tempatnya. Lalu Hamaqah (kedunguan). Dia bekerja keras tapi tujuannya salah. Dia salah niat. Itulah yang nantinya akan menimbulkan kerusakan-kerusakan. Seperti dokter dengan mal praktek atau praktek aborsinya. Insinyur dan pejabat dengan sifat korupsinya, dan lain sebagainya. Adapun Junun, dia mencapai tujuan yang benar dengan cara yang salah. Seperti Lulus ujian dengan beli soal. Dia selalu menghalalkan segala cara bukan mencari cara yang halal. Maka contoh yang beradab adalah seorang insinyur yang membangun bangunan megah dengan mushalla yang reperesentatif.
Menurutnya, unsur paling utama dalam peradaban itu adalah manusia. Prosesnya lama, tapi mengakar. Dan inilah yang dilakukan oleh Nabi tatkala di Mekkah. Beliau bangun dulu jiwa manusia. Kemudian saat sudah sampai di Madinah, beliau bangun sistemnya. Sehingga beliau sudah mempunyai orang-orang yang akan mengisi sistem-sistem tersebut dalam rangka membangun peradaban. Dan ini juga yang dilakukan oleh Imam Ghazali dengan Ihya’-nya tatkala menghadapi kegemilangan kuantitas umat Islam namun bobrok dari segi kualitasnya saat itu.
Ust Ardi juga mengutip perkataan Malik Bennaby dalam tesisnya, bahwa poros kebangkitan umat, akan muncul di daerah Jakarta (Indonesia). Inilah tantangan yang harus dicapai dan juga menjadi harapan untuk kita. Dan inilah pentingnya pendidikan. Sebab ini jalur yang sangat bisa diharapkan. Kesimpulan beliau adalah bahwa peradaban yang bangkit itu tidak akan terjadi kalau tidak dimulai dengan penanaman adab.
Namun beliau juga menambahkan di akhir kajian bahwa penanaman adab itu bukan sambilan. Sebab itu ada 6 hal menurut beliau dalam proses usaha menanamkan adab, diantaranya: Ilmu, iman, istiqomah, uswah, disiplin, dan do’a.
Siang harinya kami makan dengan pak Iskandar di warung Tulun Agung setelah shalat di masjid al-Muhajirin. Saat hendak pergi ke masjid, pak Ardi sempat berujar di mobil bahwa ada 2 hal yang mesti difahami dan diamalkan, oleh setiap muslim yakni tauhid dan adab. Dimana tauhid itu adalah menyatukan perbedaan yang ada. Sementara adab, adalah meletakkan perbedaan itu pada tempatnya.
Beliau selalu memberikan contoh imam Syafi’i dan imam Ahmad dalam berqunut. Dimana tatkala Imam Syafi’i menjadi imam shalat di Baghdad, tempat murid-muridnya Imam Hanafi (yang tidak berqunut), beliaupun mengecilkan qunutnya. Begitu juga dengan Imam Ahmad yang tidak berqunut, namun mengatakan, “Apabila kalian berma’mum dengan imam yang qunut, maka angkat tangan kalian, aminkan do’anya
Beliau juga senang mengutip satu perkataan tokoh ini: “Umat kita lagi dibunuh di luar sana, tapi kita malah ribut masalah dia buka puasa. Mana yang sahih dan yang tidak sahih.” Kalau begini terus, bagaimana kita mau membangun peradaban?”
Perjalanan hari ini berlanjut ke salah satu objek wisata Balikpapan yaitu pantai Manggar. Pantai ini mempunyai ke kekhasan, ada jalan raya di dalamnya (milik pantai) sehingga pengunjung lebih leluasa berkendara dan menikmati pantai.
Kalau kita melihat pantai, teringat akan kekuasaan Allah. Dan memang begitulah seharusnya. Sudah semestinya objek sains itu senantiasa dikaitkan dengan aspek metafisika, sehingga tidak menjadi sains yang sekuler.
Inilah yang membuat Ustadz Adian pernah berpesan, “Sunggunh ironis, jika pelajaran sains di sekolah-sekolah dan universitas dijauhkan dari Tuhan: dan hanya ditujukan unutk alat eksploitasi alam. Itulah sains ateis, sains sekuler, yang menjauhkan manusia dari Tuhannya. Para ilmuwan ynag dihasilkannya tidak mengakui wahyu Allah sebagai sumber ilmu. Mereka hanya mengenal sumber ilmu dari pancaindra (ilmu empiris) dan akal (rasional). Akibatnya, mereka tidak semakin dekat (taqarrub) kepada Allah, meskipun ilmunya bisa bertambah.” (Lihat Dr. Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam, 2016: 198)
Pesantren Hidayatullah yang berada di gunung tembak adalah tujuan kami selanjutnya. Pesantren ini sangat luas, sampai ratusan hektar. Kamipun sempat mengitarinya dengan mobil. Salah satu alasan keluasannya adalah harga tanah dulu masa tergolong murah. Disana saya dan Ustadz Ardi diberi kesempatan untuk berbicara. Dan sudah saya catat menjadi satu tulisan, sebagai berikut:
“Ingatkah, kasus pemerkosaan Yuyun, seorang gadis berumur 14 tahun yang diperkosa oleh 14 orang laki laki. Di Bengkulu, 2 April 2016. Umur pelaku kisaran 16 sampai 23 tahun. Dia dicegat saat pulang dari sekolah. Para pelaku yang melihat Yuyun langsung mencegat dan menyekap Yuyun. Kepala Yuyun dipukuli kayu, kaki dan tangannya diikat, leher dicekik, kemudian dicabuli secara bergiliran. Para pelaku lalu mengikat dan membuang tubuh korban ke jurang sedalam 5 meter dan menutupinya dengan dedaunan dalam kondisi telanjang. Hasil visum menyebutkan Yuyun sudah meninggal saat pemerkosaan berlangsung. Kemudian mayat baru ditemukan pada tanggal keempatnya.
Ingatkah peristiwa pemerkosaan seorang karyawati bernama Enno, di Tanggerang pada 17 Mei 2016. Hanya karena urusan cinta, 3 orang laki laki, berumur 24, 20, dan 15 tahun, rela memperkosa wanita itu sampai tewas. Bahkan mereka lakukan itu dengan satu pacul.
Dan ingatkah kasus pembunuhan seorang guru bernama Ahmad Budi Cahyanto di Madura, di salah satu sekolah, pada 1 Februari 2018, oleh muridnya sendiri. Hanya karena ditegur dan ditempeleng dengan gulungan kertas sebab kesalahan ia mengganggu orang lain, murid itu sampai harus memukul pelipis gurunya, sampai akhirnya mengalami mati batang otak (MBO) dan meninggal.
Saya bertanya-tanya bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Salah siapa semua ini?
Maka, saya menyimpulkan, benarlah kata Prof Syed Naqib Al Attas bahwa ‘the central crisis of Muslim today is loss of adab.’ Dan akar dari ‘loss of adab’ itu ada pada pendidikan yang salah. Pendidikan lah menjadi kunci nya. Maka kita harus tahu bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memproduksi orang-orang baik atau ‘good man’, dalam artian orang-orang yang mempunyai adab dengan penanaman nilai-nilai kebaikan dan keadilan. Artinya kita pergi ke pesantren bukan hanya untuk menjadi ‘smart person’, tapi untuk menjadi orang yang baik. Dan ini selaras dengan yang Nabi katakan, khayrun nas anfa’uhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama.
Rasul SAW pernah bersabda: “Al insan ma’adinu kama’adin adzdzahabi wal fiddhah.” Maksudnya, setiap manusia itu memiliki potensi yang berbeda beda. Tak peduli apapun pekerjaaannya, asalkan dia menjadi orang baik. Percuma menjadi presiden, gubernur, bupati, Direktur perusahaan internasional, jika menjadi tukang tipu. Lebih baik jadi sopir tapi jujur. Maka inilah yang akan membentuk cara berfikir kita. Dimana kita akan berfikir bahwa seorang kyai kampung yang soleh sejatinya lebih mulia dari yang duduk di kursi jabatan tinggi tapi serakah dunia.
Ingatlah dulu pada masa Nabi, tidak semua sahabat itu adalah orang pintar. Tapi Pada masa itulah orang orang baik berkumpul bersama. Dari mulai bangsawan, para pedagang, para penuntut ilmu, tukang sapu, sampai merbot masjid, semuanya baik. Sebab pendidik mereka faham bahwa yang paling esensi adalah nilai-nilai kebaikan serta keadilan.
Maka ingatlah bahwa kita belajar bukan untuk menumpuk ilmu dan sekedar mencari kerja dan bisa makan. Sebab ustadz kami selalu mengingatkan agar kami tidak menjadi sarjana monyet bahkan lebih hina darinya. Dimana kita belajar dari TK sampai kuliah hanya untuk mencari kerja agar bisa makan. Sebab monyet untuk bisa makan tidak perlu kuliah. Maka hakikatnya kita lebih hina dari monyet. Sebab tujuan terpenting dari belajar adalah menjadi orang baik.
Maka kita mesti tahu bahwa yang paling penting itu bukan kita belajar dimana, tapi kita belajar apa dan kepada siapa. Sebab tujuan utama kita adalah untuk menjadi orang yang beradab dan menjadi seorang pejuang layaknya generasi santri tahun 1945 dulu.
Masyarakat juga akan lebih melihat keelokan adab kita tatkala berhadapan dengan mereka. Itulah mengapa Hamka berkata, bahwa keelokan seseorang itu bukan berdasarkan pakaiannya, tapi berdasarkan adab dan Budi pekerti nya.
Terakhir, kita mesti tahu bahwa kerusakan yang dibuat oleh orang jahil yang beradab jauh lebih kecil dibandingkan orang pintar tapi biadab. Paling-paling orang pertama hanya akan mencuri sepasang sendal di masjid. Tapi orang kedua akan mencuri uang rakyat di singgasana kekuasaan.”
Kurang lebih 10 menit, tibalah giliran Pak Ardi berbicara. Beliau menyampaikan masalah yang sangat urgen bagi penuntut ilmu, yaitu niat menuntut ilmu dengan mengutip satu perkataan Imam Ghazali dalam kitab bidayatul hidayah. Juga mengenai akibat dari niat yang benar, yaitu ilmu Nafi. Dan terakhir adalah mengenai tanda-tanda ilmu nafi’ dalam kitab bidayatul hidayah juga.
Pada kesempatan ini, Ust Ardi menyediakan hadiah 3 buku Catatan Pendidikan dengan 3 pertanyaan kepada 3 santri yang bisa menjawab pertanyaan seputar materinya tadi. Mereka antusias menanggapinya. Dan begitulah yang beliau harapkan dari semua santri agar jangan malas menuntut ilmu termasuk mendengarkan ustadz-ustadz-nya yang sedang mengajar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Az-Zarnuji, bahwa seorang penuntut ilmu itu harus mendengarkan ilmu yang sudah ia dengar selama seribu kali, seperti ia mendengarnya pada kali yang pertama.
Kemudian kami diajak ke ruang khusus untuk berbincang sebentar dengan guru-guru Hidayatullah. Ternyata disitu kami bertemu guru dari Dr. Hidayat Nur Wahid dan Prof. Din Syamsuddin. Beliau-lah yang pernah mengalami pengusiran besar-besaran oleh kyai Gontor kala itu karena aksi demo bersama kawan-kawannya terkait problem pondok. Tapi hebatnya, justru Beliau menjadi orang hebat saat ini.
Saya hanya terpaku diam sambil mendengarkan mereka berdiskusi. Ada 4 orang guru ketika itu. Salah satunya juga kuliah di UIKA dengan tesis pendidikan adab menurut Imam Malik dalam kitab Al Muwattha’. Diskusi terus berlanjut sampai merembet masalah safari dakwah yang pernah dilakukan oleh para pendekar INSISTS saat situasi liberalisasi sedang gencar gencarnya. Beberapa rektor dari kampus Islam liberal juga dibahas, seperti Amin Abdullah, dia yang kata ustadz Ardi sangat tidak bisa lagi menawar hermeneutika. Baginya ilmu tafsir harus digantikan oleh hermeneutika. Dan masih banyak lagi yang dibahas. Sekitar pukul lima sore, kamipun foto bersama dan melanjutkan perjalanan kami ke satu masjid agung bernama at Taqwa sebelum menuju tempat kajian terakhir.
Masjid Nurul Islam, sekitar pukul 19.30, shalat Isya dan dilanjutkan dengan pengajian. Ustadz Ardi kembali menyamapaikan seputar adab, ilmu, dan peradaban. Beliau katakan bahwa peradaban itu tidak bisa dipisahkan dari unsur pendidikan. Sementara pendidikan itu sendiri tidak bisa lepas dari dua elemen, yakni adab dan ilmu.
Kali ini beliau lebih sistematis pembahasannya. Dimana beliau membahas pola baku dalam pendidikan Islam yaitu adab dan ilmu. Sejak masa Nabi, perang salib, dan Al Fatih, juga generasi santri 45. Beliau mengatakan bahwa kemunculan generasi sahabat, Shalahuddin, al-Fatih, dan generasi santri, bukanlah turun dari langit, melainkan mereka semua adalah hasil dari pendidikan. Generasi sahabat punya Nabi Muhammad. Shalahuddin punya Imam al-Ghazali. Al-Fatih punya al-Kurani dan Aaq Syamsuddin. Begitupula dengan generasi santri yang punya ulama-ulama sekaliber KH. Hsyim Asy’ari.
Namun dibalik itu semua, beliau berharap agar para orang tua mulai dari pihak terdekat dulu, yaitu Keluarga. Sebab keluarga adalah pondasi peradaban. Maka dengan begitu kita telah mengamalkan surat at tahrim ayat 6. Dan itulah akhir dari kajian pada hari ini, Wallahu A’lam
Penulis: Fatih Madini
Santri PRISTAC, Ponpes AtTaqwa Depok (www.attaqwa.id)