Masjid Istiqomah Balikpapan, 23 Maret 2019. Inilah hari pertama perjalanan kami dalam rangkaian dakwah ‘NGOPI’, Ngobrolin Pendidikan Islam, di Balikpapan. Ngopi di Balikpapan direncanakan berlagsung sampai tanggal 30 Maret.
Wartapilihan.com, Balikpapan—Dini hari itu, saya dan Ustadz Ardi (Dr. Ardiansyah) sudah bersiap. Mandi dan shalat tahajud sudah pula kami tunaikan. Kami menginap di Guest House Masjid. Guest House ini dikelola Pa Iskandar dan memang disiapkan untuk ustadz-ustadz yang mengisi acara Safari Dakwah di Balikpapan. Pak Rocky, sopir mobil yang kami naiki, mengantar kami ke tempat kajian kedua (setelah sebelumnya pada tanggal 22, sudah diadakan di Masjid As Salam WIKA. Jadwal dadakan sebenarnya. Turun dari pesawat Ust Ardi langsung menyempatkan diri untuk mengisi beberapa materi seputar adab dan peradaban.
Masjid al-Muhajirin adalah tempat kajian pertama hari ini. Kajian dimulai ba’da shalat Shubuh. Ustadz Ardi banyak membahas mengenai tradisi ilmu dalam Islam. Beliau menyesalkan akan umat Islam sekarang, meskipun tidak keseluruhan. Baginya kebanyakan umat Islam justru meninggalkan perintah yang pertama kali turun kepada Rasulullah, yaitu “iqra’”. Sebab kata beliau, menurut para mufassirin, kata iqra’ mengandung unsur tadabbur, menghafal, meneliti, dan lain-lain. Sehingga, ayat inilah yang menjadi landasan bagi umat Islam untuk menghidupkan tradisi ilmu. Apalagi ditambah dengan situasi kejahiliyahan yang sangat mencekam yang hampir terjadi di seluruh peradaban, termasuk Jazirah Arab.
Beliau juga menjelaskan bahwa saat kita hendak membicarakan ilmu dalam Islam, maka jangan sekali-sekali melepaskannya dengan unsur kebenaran, keyakinan, dan juga adab. Sebab Islam bukan seperti orang-orang Barat Sekuler yang punya konsep dikotomisasi ilmu. Dimana tatkala membicarakan ilmu, maka orang akan dibuat semakin jauh dari kebenaran, ragu dari unsur-unsur metafisik, dan semakin biadab. “Makanya di Barat itu, dosen yang siangnya mengajar, malamnya dugem, itu biasa,” tegasnya.
Di akhir kajian, ada yang bertanya seputar pertengkaran Umat Muslim terkait masalah-masalah furu’iyyah. Dimana ada sebagian kita tidak mau bertegur sapa, melengos, sampai mudah mengkafirkan orang lain. Beliau menjawab bahwa orang-orang sekarang itu jangan hanya belajar di kandangnya saja. Jangan hanya lurus saja. Tapi luas dan juga luwes. Sehingga pemahamannya tidak setengah-setengah. “Seharusnya umat Islam malu. Hampir setiap tahun, seakan berantemnya sudah dijadwalkan. Tapi pernahkah kita lihat para pendeta yang ribut? Tentu hampir jarang kita jumpai,” ujarnya.
Pukul enam pagi, kajian pun selesai. Istirahat sejenak, sambil merapikan bahan kajian selanjutnya di Guest House. Pukul delapan kami meluncur lagi ke Sekolah Alam, dalam rangka mengisi acara parenting.
Sebagaimana namanya, sekolah ini tidak banyak mengunggulkan infrastruktur, melainkan lebih condong menggunakan alam sekitar dalam rangka membangun eksplorasi anak didik. Bahkan Sekolah Alam ini satu visi dengan pondok saya (Ponpes AtTaqwa). Sebab ia memiliki empat pilar: Akhlak, kepemimpinan, logika ilmiah, dan kewirausahaan. Sekolah menempatkan akhlak di tempat pertama. Artinya, sekolah ini tahu bahwa masalah yang paling inti dari pendidikan adalah problem adab atau akhlak. Dan inilah yang selalu digaungkan oleh pondok saya, dengan berpijak pada kalam Syed Muhammad Naquib al-Attas: “The central crisis of Muslim today is loss of adab.” (Lebih jauh, lihat www.sekolahalambalikpapan.id)
Sebelum Ustadz Ardi berbicara, saya diberi kesempatan oleh beliau untuk berbicara terlebih dahulu seputar pentingnya adab dalam kehidupan. Di awal saya paparkan terlebih dahulu beberapa kasus, seperti kasus pencekikan bahkan pembunuhan guru oleh muridnya sendiri, pemerkosaan satu siswi oleh bilangan siswa SD dan SMP, sampai pencabulan kasus pelecehan seksual sesama jenis oleh guru laki-laki kepada beberapa siswanya. Disamping itu semua saya senang dengan hadirnya film Karate Kid. Sebab dalam film tersebut sang guru (yang diperankan Jackie Chan) tidak mau memberikan ilmu kungfunya kepada si murid sampai ia bisa meletakkan jaketnya pada tempatnya. Dan itu memerlukan waktu yang sangat lama, sampai-sampai si murid harus marah kepada gurunya.
Maka saya simpulkan bahwa seharusnya pendidikan itu bukan hanya sekedar sarana transfer ilmu. Tapi juga tempat penanaman nilai-nilai kebaikan dan keadilan. Dari situlah nantinya akan muncul orang-orang beradab. Maka guru itu bukan sekedar tukang ngajar, tapi mujahid intelektual. Dimana dia akan dekat dan peduli dengan murid, sehingga ia bisa menanamkan nilai kepada si murid. Tanpa penanaman, niscaya akan lahir a new barbarian. Dan konsekuensi dari orang pintar yang biadab adalah kerusakan yang sangat besar. Maka benarlah kata Umar bin Khttab, “Taaddabu tsumma ta’allmuu.”
Sekitar 10 menit, tibalah giliran Ustadz Ardi tampil. Baliau lebih banyak menyinggung soal landasan pendidikan Islam melalui Qur’an dan Hadits. Sebab menurut beliau, inilah yang tepat dengan tujuan pendidikan nasional juga pendidikan tinggi, yaitu membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Beliau justru merisaukan, mengapa dalam aplikasinya sama sekali tidak selaras dengan tujuannya. Mengapa justru anak-anak itu digiring dan seakan dipaksa untuk bisa menjadi seorang pekerja. Baginya, pendidikan itu bukan pabrik. Setiap anak berbeda, sesuai dengan potensinya masing-masing. Sebagaimana hadits Nabi bahwa manusia itu seperti barang tambang. Anak yang bahan dasarnya besi, jangan dipaksakan menjadi emas. Tapi yang bahan dasarnya emas, jangan dibiarkan menjadi besi karatan.
Yang penting kata beliau anak itu menjadi baik, dalam artian menjadi orang yang beradab. Maka yang penting bukan dimana, tapi apa dan kepada siapa anak itu belajar? Kalau keduanya benar, maka pasti ia akan menjadi orang yang baik, sekalipun hanya sekedar tukang sampah. Maka kata-kata terakhir beliau, “Setelah mendapat pendidikan, yang penting itu bukan apa profesi yang dijalaninya. Yang penting itu apa yang ia lakukan dengan profesinya itu. profesi petugas sampah jauh lebih mulia daripada pejabat tinggi yang korupsi.”
Maka beliau berharap, bahwa sebagai umat Islam, kita harus bangga dengan sekolah kita sendiri dan kita harus percaya diri dengan konsep pendidikan Islam. sebab tren sekolah Islam sedang naik-naiknya sekarang ini. Sekarang ini bukan seperti yang dikatakan oleh Prof. Ahmad Tafsir: “Untuk mencari sekolah Islam yang baik, sama seperti mencari sekolah Katolik yang jelek.” Dan ingat bahwa pendidikan itu bukan sekolah, sebab di zaman Nabi tidak ada sekolah, tapi ada pendidikan. Namun dengan keterbatasan bangunan tidak menghambat kelahiran generasi gemilang. Maka kalau kita yakin dan percaya diri, pasti akan lahir generasi-generasi hebat lewat jalur pendidikan. Sebab jalur pendidikanlah yang menentukan jalur ekonomi, politik, militer, dan lain sebagainya.
Dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan, kemudian saya dengan Ustadz Ardi segera berkeliling sekolah. Sambil menikmati suasana disana, saya melihat begitu sedikitnya bangunan disana. Kalaupun ada, hanya sebatas bangunan yang berbahan dasar kayu. Sekolah itu juga didukung dengan tanah yang luas dan “turun-naik”, juga pepohonan yang begitu banyak. Tanpa sengaja kami bertemu dengan salah satu orang tua santriwati di pondok kami, yang kebetulan orang Balikpapan. Beliau Pun mengajak kami makan siang di WR. Endang Joko yang terkenal dengan sambal Gami-nya. Saat itu waktu menunjukkan kurang lebih pukul 11.45. Sambil makan, saya sempat mendengar sekilas pembicaraan seputar beberapa tokoh seperti: Ustadz Abdul Samad, Khalid Basalamah, Daud Rasyid, Fauzil Adhim, dll. Sampai-sampai tak terasa 3 porsi Gami Cumi dan 2 porsi Nila Bakar, telah habis dilahap.
Masjid Ar-Rahmah di perumahan Permata Gading adalah tujuan kami selanjutnya untuk shalat dzuhur. Dan kebetulan masjid itu dekat dengan orang tua santriwati yang juga adik kelas saya. Ada spanduk yang menarik di pagar luar masjid yang bertuliskan, “Shalat berjamaah di masjid untuk semua laki-laki, bukan cuma aki-aki.” Sebetulnya Ini sindiran keras kepada para pemuda laki-laki yang masih senang dengan hiburan di luar sana dan melupakan masjid. Kalau generasi yang tua ini sudah tidak ada, siapa yang nantinya akan menggantikan mereka? Siapa lagi jama’ahnya?
Ingatlah tatkala ada sahabat Nabi yang lupa shalat berjama’ah di masjid karena kebun kurmanya, saat itu langsung ia berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” dan pada detik itu juga ia sedekah kan semua kebunnya itu tanpa tersisa. Apakah para pemuda sudah merasa cukup tanpa Allah? Merasa bisa melakukan ini itu tanpa berdo’a kepadaNya? Dan ingatlah bahwa salah satu yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat nanti, adalah pemuda yang senantiasa mengaitkan hatinya ke masjid.
Sorenya, kami berdua pergi mengisi kajian “ibu-ibu” di masjid Al-Ikhwan. Melihat objeknya adalah perempuan, maka Ust Ardi banyak membahas sosok teladan Asiah (istri Fir’aun) dan Maryam. Bagaimana keduanya memiliki sifat yang teguh berprinsip, dan pandai menjaga diri. Maka sebagai sosok ummi yang memiliki satu akar kata dengan amaama, imam, dan ummah, sudah semestinya dia bisa menjadi sosok imam yang memberikan keteladanan tatkala suaminya tidak ada di rumah. Dan dari situ diharapkan ia bisa melahirkan khayru ummah. Di akhir beliau berkata, “Paling tidak saat kita di dunia kita harus jadikan mereka qurrata a’yun. Dan saat kita sudah meninggal, mereka telah menjadi waladatun shalihah tad’u laha.” (penjelasan ini bisa dibaca di buku Dr. Muhammad Ardiansyah, Catatan Pendidikan).
Selepas kajian pukul setengah enam, pak Rocky dan pak Iskandar mengajak kami ke warung kopi kenalannya bernama MeraciKopi. Katanya, kalau setiap malam Minggu, yang datang ramai sekali bahkan sampai harus duduk di luar. Kami Pun masuk dan memesan kopi. Saya yang awam dengan kopi, hanya bisa bilang, “Apa saja pak” saat ditawarkan oleh pak Iskandar.
Kemudian kami pun naik ke lantai duanya, untuk menemui si pemilik warung. Ridwan namanya, masih muda dan sedang sibuk membungkus kopi. Diskusi pun terjadi. Awalnya membicarakan seputar kopi. Mendengar saya anak Ustadz Adian dan Ustadz Ardi dari INSISTS, obrolan pun langsung mengalir ke arah sana. Bahkan sampai menyebut Ustadz Syamsuddin Arif, Adnin Armas, Nirwan Syafrin, Hamid Fahmy Zarkasyi, Tiar Anwar Bakhtiar, Adian Husaini, sampai ke ISTAC, pendirinya, Prof. al-Attas dan tangan kanannya, Prof Wan Mohd Wan Daud. Ia mengaku dirinya tidak paham membaca buku al-Attas, padahal sudah beberapa kali. Hal itu diwajarkan oleh Ustadz Ardi, dengan mengatakan, “Ada doktor dari Turki, bilang ke al-Attas bahwa dia tidak faham-faham membaca buku Islam and Secularism selama 10 kali.”
Ia pernah bekerja di salah satu penerbit buku di Yogyakarta, Pro-U Media. Yang kebetulan buku 10 Kuliah Agama milik Ustadz Adian, diterbitkan disana. Sampai-sampai Ridwan bilang, “Saya sempat berfikir, benarkah buku ini akan diterbitkan oleh Pro-U? Sebab biasanya buku yang diterbitkan itu yang berbahasa populer, seperti buku Salim A. Fillah dan kawan-kawannya.” Tiga kopi dan tiga burger (yang dipesankan oleh pak Iskandar tanpa rencana) datang dan kami santap bersama, sambil diskusi terus berjalan.
Pa Ridwan merasa, saat ini lembaga yang paling bagus dalam membahas masalah pemikiran adalah INSISTS. Sebab dengan tidak keluarnya izin pendirian kampus INSIST sejak 2015 sampai sekarang, membuktikan bahwa INSISTS punya kekuatan yang tidak main-main. Bahkan sampai-sampai Ustadz Ardi mengatakan bahwa AILA (Aliansi Cinta Keluarga) ditakuti oleh negara sekelas Amerika. Tidak hanya itu, pendekar-pendekar INSISTS itu disebutkan satu per satu namanya, dalam satu tulisan, dan dicap sebagai orang-orang radikal. Bahkan sempat di bercandakan oleh Ustadz Adian, “Radikal kok belajarnya filsafat.”
Saya sebagai orang yang tidak biasa minum kopi, hanya bisa tersipu malu, saat pak Iskandar memintakan gula kepada pelayan untuk saya. Memang biasanya kopi yang saya minum, adalah kopi sasetan yang kopinya hanya berapa gram, tapi gulanya mendominasi. Tapi alhamdulilah, meskipun gulanya sedikit, dengan paksaan dan penuh kepasrahan, saya bisa habiskan, meskipun dibantu pak Iskandar sedikit, hehe
Pukul 18.00, kami pergi ke tempat kajian terakhir hari itu, Masjid al-Munawwarah. Karena kajiaannya habis Maghrib sampai Isya’, maka kata Ustadz Ardi saya tidak perlu menjama’ shalatnya. Disitu pak Ardi (panggilan akrab saya) kembali mengulang masalah budaya ilmu. Namun ada beberapa tambahan. Beliau mengutip dalam bukunya, Catatan Pendidikan satu perkataan orang Barat “Ilm is Islam”.
Beliau juga membahas seperti yang tadi pagi, terkait kalimat iqra’, semangat menuntut ilmu para ulama, seperti Imam Syafi’i yang meskipun mengedap penyakit Ambien tapi tetap mengajar. Ibn Taymiyah yang tetap membaca kitab meskipun sedang sakit parah. Ibnu Rusyd yang hanya 2 kali meninggalkan aktivitas keilmuan, saat ia menikah dan saat ayahnya wafat. Juga Jabir bin Abdullah dan Imam Ahmad yang rela menjual harta benda dan rela berjalan jauh demi satu hadits.
Tidak lupa, dikotomisasi ilmu yang berujung pada pemisahan unsur metafisika, dan pengarahan mahasiswa kepada satu bidang keilmuan saja. Apalagi, spesialisasi terkadang sempit, sehingga mahasiswa yang tidak kulliyyah tapi juz’iyyah. Tidak universal tapi particular. Mereka menjadi orang dengan spesialisasi sempit. Padahal al-Khawarizmi, Ibnu Haytsam, Ibnu Sina, sampai Ahmad Khatib al-Minkabawi, tidak hanya faham kedokteran, ilmu matematika, geografi, tapi juga aqidah, fiqih dan lain-lain. Jadi pemahaman mereka luas.
Beliau juga menambahkan bahwa kita punya tradisi menghafal, sementara orang Barat tidak. Sebab bagi mereka yang penting itu adalah menganalisis. Padahal itu hanya klaim mereka. Lagi pula apa yang mau mereka hafal, Bible saja selalu berubah-rubah. Sudah tidak ada lagi Bible yang orisinil. Kalau Nabi Isa diturunkan di Palestina kepada bangsa Israil dengan bahasa Ibrani, kenapa Bible tertua sekarang berbahas Yunani? Tapi beliau juga mengingatkan agar tidak hanya berhenti pada hafalan. “Jangan hanya menjadi hafizhul Qur’an, tapi juga hafizhul Islam,” tegas beliau. Dan beliau juga berharap agar masjid ini memperbaiki kualitas manusianya, bukan hanya bangunannya. Sebab apa gunanya bangunan yang megah tanpa adanya manusia?
Adzan Isya pun berkumandang, kamipun shalat dan kemudian melanjutkan perjalanan. Kali ini, Pak Iskandar mengajak kami ke restoran bernama Istana Domba milik kawannya bernama Pak Muchtar. Suasana keakraban menggiring Pak Iskandar dan Pak Ardi bincang-bincang tentang banyak hal, sambil menyantap sate domba dan gulainya. Tapi ada yang menjadi topik utama, yaitu santet. Pak Muchtar menceritakan bahwa warungnya ini pernah sampai tidak bisa dilihat orang, bahkan oleh seorang Ustadz yang ahli ruqiyah.
Pak Iskandar juga menceritakan kawannya bernama Afrizal pemilik warung Padang, yang nasinya selalu basi setiap dimasak. Bahkan sampai saat ini masih sepi, padahal masakannya enak. Sementara Pak Ardi menceritakan bahwa tatkala kakeknya sedang berjualan soto, ada banyak belatung bermunculan di wastafel-nya. Juga seorang anak kecil dari keluarga kawannya, yang pernah melihat ada monyet yang sedang meludahi kuah makanan di salah satu resto. Sampai-sampai pak Muchtar mengatakan, “Demi sesuap nasi, manusia rela berbuat seperti ini, heran saya…”
Perbincangan itu terus berlanjut sampai-sampai mengaitkan dengan seorang yang pernah kesurupan yang bisa memecahkan keramik, lompat dari ketinggian, sampai mengaku bahwa dirinya dajjal (padahal ia seorang ahli tafsir, kenalannya pak Iskandar). Tatkala pukul 22.00, kami pun berpamitan dengan Pak Muchtar dan kemudian kembali ke Istiqomah (setelah sebelumnya mengantar Pak Iskandar ke rumahnya di perumahan Regency.
Wallahu A’lam
Penulis: Fatih Madini
Santri PRISTAC, Ponpes At Taqwa Depok